LIFE

14 April 2024

Menilik Peran Perempuan sebagai Pelestari Bumi


Menilik Peran Perempuan sebagai Pelestari Bumi

Eliza (Amor Models) photography by Ifan Hartanto for ELLE Indonesia January 2020; styling Ismelya Muntu

Dalam buku Pembangunan Berwawasan Lingkungan yang ditulis Emil Salim, ekonom yang pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia Antara 1978 hingga 1993 yang diterbitkan perdana pada 1986 oleh LP3ES, terdapat sebuah artikel berjudul Wanita dan Pengembangan Lingkungan yang menjadi bab penutup buku tersebut. Di dalamnya, Emil menyebutkan bahwa perempuan merupakan kelompok masyarakat yang akan secara langsung merasakan dampak bila terjadi kerusakan lingkungan. “Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, kentaralah bahwa wanita merupakan kelompok masyarakat yang paling peka terhadap masalah lingkungan. Wanita dalam kedudukannya selaku ibu rumah tangga segera bisa merasakan kesulitan air minum, buruknya fasilitas mandi-cuci-kakus, sulitnya memperoleh energi seperti kayu bakar-arang, dan gangguan sampah serta kesulitan lingkungan rumah tangga lain.”


Kendati istilah dan contoh kasus yang digunakan Emil dalam tulisan tersebut sesuai dengan kondisi pada dekade ‘80-an dan ‘90-an, persoalan lingkungan yang disebut serta dampak bagi perempuan yang ia bicarakan hampir empat dekade silam itu, hingga kini masih kontekstual, relevan dan bahkan tengah mulai mengejawantah menjadi persoalan amat serius yang dihadapi seluruh manusia di dunia, termasuk kaum perempuan. Masalah lingkungan yang kala itu barangkali masih lebih menyerupai nubuat yang tak dipahami bagaimana akan terjadi oleh masyarakat Indonesia, bahkan juga masyarakat dunia. Prediksi Emil tersebut, saat ini telah datang sebagai “monster” bernama perubahan iklim yang mulai menggulung bumi dengan berbagai anomali dan bayangan kehancuran.

Eliza (Amor Models) photography by Ifan Hartanto for ELLE Indonesia January 2020; styling Ismelya Muntu

Sama seperti Emil, para pejuang lingkungan yang berusaha menyadarkan manusia di berbagai belahan bumi untuk menyadari bahaya perubahan iklim juga meyakini keterlibatan aktif perempuan bisa menjadi sebuah bantuan besar bagi upaya-upaya mengatasi kondisi tersebut. Dalam tulisan berjudul Five Reasons Why Climate Action Needs Women yang dilansir United Nation Climate Change (UNCC) pada hari perempuan sedunia 8 Maret 2023 lalu, disebutkan peran penting yang dapat diambil perempuan untuk turut serta mengatasi perubahan iklim. Meski dinyatakan bahwa perubahan iklim sejatinya berdampak pada semua orang, namun skala dampak tersebut tidak sama pada semua orang. Kerentanan terhadap perubahan iklim umumnya akan diperburuk oleh ketidakadilan dan marjinalisasi yang terkait dengan gender, etnis, pendapatan rendah, dan faktor sosial dan ekonomi lainnya. Aksi pencegahan perubahan iklim, menurut artikel tersebut, membutuhkan 100 persen populasi manusia penghuni bumi, di mana separuhnya terdiri atas perempuan dan anak perempuan. Namun meski berjumlah besar, Kaum perempuan acapkali tidak dilibatkan dalam pembicaraan mengenai perubahan iklim. Padahal upaya mitigasi perubahan iklim ini, membutuhkan lebih banyak keterlibatan perempuan dan anak perempuan yang berdaya.

Dunia membutuhkan perempuan, dengan segala keberagamannya, untuk terlibat dalam berbagai upaya penyelamatan bumi di semua tingkatan dan lini–mulai dari perundingan iklim, dewan direksi, hingga kehutanan dan ladang, terutama di sektor dan wilayah yang terkena dampak paling parah akibat perubahan iklim.

Eliza (Amor Models) photography by Ifan Hartanto for ELLE Indonesia January 2020; styling Ismelya Muntu

Menariknya, menurut UNCC, perempuan adat, khususnya, telah berada di garis depan dalam pelestarian lingkungan dan memiliki pengetahuan serta keahlian sangat berharga yang dapat membantu membangun ketahanan dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Pelibatan lebih banyak perempuan dalam aksi iklim, diyakini UNCC dapat menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi semua orang. UNCC juga percaya bahwa langkah pemberdayaan bagi kaum perempuan, bisa membawa masyarakat pada jalan penemuan solusi iklim yang lebih baik, meski tak lantas boleh membebankan semua tugas dan tanggung jawab pelestarian pada pundak perempuan sempat. UNCC pun menyebutkan hasil penelitian yang menunjukkan signifikansi kemungkinan melakukan gratifikasi perjanjian lingkungan hidup di negara-negara dengan keterwakilan perempuan yang tinggi di parlemen.

Perubahan iklim berdampak pada semua orang dengan skala yang berbeda dan sudah jadi Sudah menjadi rahasia umum bahwa perubahan iklim mempunyai dampak yang lebih besar terhadap masyarakat yang paling rentan di dunia, baik di negara maju maupun berkembang, dan memperburuk kesenjangan yang ada. Perempuan seringkali menghadapi risiko dan beban yang lebih besar akibat dampak perubahan iklim dalam situasi kemiskinan dan karena peran, tanggung jawab, dan norma budaya yang ada.

Eliza (Amor Models) photography by Ifan Hartanto for ELLE Indonesia January 2020; styling Ismelya Muntu

Misalnya, di banyak masyarakat, perempuan bertanggung jawab atas energi rumah tangga, makanan, air, dan perawatan bagi kaum muda dan lanjut usia. Khususnya di negara-negara berkembang, dampak perubahan iklim dapat meningkatkan beban bagi perempuan dan anak perempuan, misalnya menyebabkan mereka harus melakukan perjalanan lebih jauh untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari, memberikan lebih sedikit waktu untuk melakukan pekerjaan berbayar dan berpotensi membuat mereka menghadapi risiko yang lebih besar terhadap keselamatan pribadi mereka.
Ini yang membuat mengapa kesadaran dan kehadiran negara menjadi amat penting dalam mendukung terjaminnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan karena manfaat yang dapat diperoleh ketika perempuan di sebuah negara menjadi berdaya begitu luas.Misalnya, di banyak masyarakat, perempuan bertanggung jawab atas energi rumah tangga, makanan, air, dan perawatan bagi kaum muda dan lanjut usia. Khususnya di negara-negara berkembang, dampak perubahan iklim dapat meningkatkan beban bagi perempuan dan anak perempuan, misalnya menyebabkan mereka harus melakukan perjalanan lebih jauh untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari, memberikan lebih sedikit waktu untuk melakukan pekerjaan berbayar dan berpotensi membuat mereka menghadapi risiko yang lebih besar terhadap keselamatan pribadi mereka. Ini yang membuat mengapa kesadaran dan kehadiran negara menjadi amat penting dalam mendukung terjaminnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan karena manfaat yang dapat diperoleh ketika perempuan di sebuah negara menjadi berdaya begitu luas.

Pemberdayaan perempuan dapat memberi pengaruh signifikan di berbagai bidang seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan, dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dengan upaya mitigasi perubahan iklim yang dilandaskan pada sudut pandang keadilan gender, kita juga dapat menangani hak-hak perempuan dan mendorong kesetaraan gender yang lebih besar. Dalam proses Perubahan Iklim PBB, banyak negara telah berbagi bagaimana mereka mengintegrasikan gender di berbagai sektor prioritas ke dalam rencana aksi iklim nasional (Kontribusi Nasional) dan Rencana Adaptasi Nasional. Kabar baiknya adalah perempuan dan anak perempuan kini semakin berdaya untuk berkontribusi dan mendapatkan manfaat dari aksi iklim.

Eliza (Amor Models) photography by Ifan Hartanto for ELLE Indonesia January 2020; styling Ismelya Muntu

Ekofeminisme
Hubungan perempuan dan lingkungan hidup kini banyak disuarakan melalui ekofeminisme. Ekofeminisme merupakan cabang dari feminisme yang menekankan pada lingkungan dan hubungan antara perempuan dan bumi sebagai dasar analisis dan praktis. Pada tahun 1968, Paul Ehrlich menerbitkan buku yang berjudul The Population Bomb yang membahas mengenai kerusakan bumi akibat dari populasi manusia yang terlalu banyak dan solusi yang ditawarkan adalah menghentikan reproduksi seksual. Françoise d’Eaubonne kemudian mengkritik buku tersebut dalam bukunya yang berjudul Le Féminisme ou La Mort.

Ia menjelaskan bahwa perempuan tidak diberi hak untuk mengatur reproduksinya dan sistem patriarki menginginkan agar reproduksi terus berlanjut. Dalam keterbatasannya, perempuan masih dapat meraih emansipasi dengan cara menentang sistem patriarki melalui tindakan aborsi dan kontrasepsi. Buku Le Féminisme ou La Mort yang ditulis pada 1974 ini juga memperkenalkan Istilah "ekofeminisme" untuk pertama kalinya.  Dalam hal ini, gerakan ekofeminisme menjadi pelestari bumi dengan membuatnya menjadi lebih baik dengan cara mengembalikan keadaannya seperti semula. Konsep ini merupakan sebuah ajakan tegas pada masyarakat di negara-negara yang kental patriarkinya untuk tidak lagi melihat perempuan dan lingkungan sebagai sekadar  properti.

Meski saat ini kesadaran akan kesetaraan sudah sangat jauh membaik, namun akibat dari sistem patriarki yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan manusia, maka masih banyak yang beranggapan bahwa peran mengurus rumah tangga atau domestik menjadi tanggung jawab perempuan, sehingga ketika kerusakan lingkungan terjadi, perempuan yang akan paling banyak merasakan dampaknya. Kecenderungan eksploitasi yang berakar dari sistem patriarki membuat lingkungan semakin rusak akibat dari konflik agraria membuat produksi pertanian berkurang, sumber mata air rusak, identitas budaya hilang, dan kualitas kesehatan keluarga memburuk.


Ekofeminisme menjadikan kenyataan sosial sebagai dampak dari adanya proses sosial dalam masyarakat dan menetapkan bahwa kerja sama, kepedulian, cinta dan toleransi merupakan cara untuk melestarikan alam yang di dalamnya manusia berada. Hubungan ini, diyakini akan dapat membentuk etika manusia terhadap pengelolaaan lingkungan dan dan menciptakan kesetaraan gender manusia dalam kaitannya dengan alam semesta.

Di Indonesia, perjuangan ini juga diupayakan di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah menyuarakan, bahwa kesetaraan gender telah menjadi salah satu tujuan dalam pembangunan berkelanjutan yang harus diwujudkan pada tahun 2030. Hal ini melibatkan akses pendidikan dan pemberdayaan perempuan menjadi elemen penting dalam mencapai target kelima pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs), yaitu Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Perempuan. Dalam mengevaluasi hasil pembangunan yang berperspektif gender digunakan beberapa indikator diantaranya Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).

Langkah Kecil Berdampak Besar

Dalam praktiknya, perencanaan makro yang dirancang negara dan lembaga-lembaga konservasi lingkungan dunia, akan selalu membutuhkan langkah-langkah kecil yang dilakukan dengan penuh kesadaran oleh kaum perempuan. Di Indonesia, cukup banyak perempuan yang terlibat, baik ke dalam proses perencanaan keberlanjutan besar bersama negara dan berbagai pihak yang melakukan aksi-aksi afirmatif, maupun yang merupakan gerakan kesadaran baik yang dilakukan sendirian maupun bersama komunitas.


Intan Anggita Pratiwie - peneliti fesyen berorientasi lingkungan dan Pendiri Setali Indonesia


Intan merupakan seorang peneliti fashion, seniman recycle, dan pegiat seni dan juga biasa menyebut dirinya sebagai seorang mom-preneur. Sejak masih berkuliah  pada 2004, Intan telah memulai aktivitasnya mendaur ulang pakaian. Namun kala itu, ia mengaku, praktik daur ulang pakaian yang ia lakukan tidak berangkat dari landasan keberlanjutan, melainkan lebih karena merasa sayang bila pakaian-pakaian yang tidak lagi digunakan terbuang begitu saja. Pada 2012, ia meluncurkan jenama busana yang menggabungkan denim dengan tenun, Sight from The East. Label fesyen ini digagas untuk menjadi sumber dana bagi pembuatan situs yang menyiarkan cerita-cerita inspirasional tentang masyarakat di kawasan Indonesia Timur yang dinamai, Eastern Indonesia: Menuju Timur. Jenama busana Sight from East itu membawakan penghargaan Kartini Next Generation Award 2014 baginya. Pada 2019, ia menggagas Setali Indonesia  yang merupakan sebuah perusahaan sosial yang berusaha mengisiasi upaya memperpanjang usia dan daur hidup sebuah pakaian sebagai bagian dari usaha untuk menyelamatkan bumi.     


Tiza Mafira - praktisi hukum dan Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik


Perempuan kelahiran 21 Januari 1984 ini merupakan seorang spesialis hukum, kebijakan publik dan peraturan dengan pengalaman substansial dalam pemerintahan, sektor swasta dan LSM. Tiza juga memiliki keahlian dalam kebijakan dalam perubahan iklim, sumber daya alam, penggunaan lahan, energi terbarukan dan pengelolaan limbah di Indonesia. Tiza juga merupakan Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Selain itu, Tiza juga dinobatkan sebagai UN Ocean Hero pada tahun 2018 untuk aktivisme dalam advokasi kebijakan pengurangan kantong plastik.


Ukke R. Kosasih


Pada dekade 90an, sebuah penerbitan independen berformat zine bernama Aikon, berbahan kertas daur ulang berisi kabar-kabar tentang lingkungan dan penyelamatannya, menyeruak, masuk ke kampus-kampus di Jakarta. Ukke Kosasih, menjadi salah seorang yang berada dibelakang penerbitan tersebut. Kerja-kerja yang ia lakukan, selalu memiliki kaitan dengan persoalan lingkungan. Ia pernah beberapa tahun bergabung bersama The Body Shop sebagai Manajer Urusan Sosial dan Lingkungan  sebelum akhirnya berhenti dan mengagas Circa HandMade, rumah produksi kriya yang membuat boneka-boneka yang mewakili berbagai macam suku bangsa di Indonesia. Senyampang mengembangan Circa Hand Made yang hingga hari ini masih aktif berproduksi, Ukke yang kemudian memutuskan pindah ke Bandung dan menerapkan gaya hidup slow living, kini membuka Kabin Kebun, sebuah penginapan berbasis slow living di mana para pengunjungnya bisa mengenal tentang gaya hidup slow living itu dan belajar langsung dari Ukke dan keluarga untuk bisa menerapkannya.