FASHION

10 Oktober 2020

Mengenal Sisi Lain Rick Owens


Mengenal Sisi Lain Rick Owens

Richard Saturnino Owens, atau yang kini lebih dikenal lewat nama Rick Owens, lahir di Porterville, sebuah kota agrikultur tak jauh dari Los Angeles, pada tahun 1962. Owens merupakan anak semata wayang kedua orangtuanya. Ayahnya adalah seorang pekerja sosial, sedangkan sang ibu bekerja sebagai seorang guru dan ahli dalam membuat pakaian.  

            Owens kecil tumbuh sebagai anak yang sensitif. Tinggal di kota kecil dan harus berbaur, ia merasa terancam hampir setiap saat. Tumbuh dewasa, ada seperangkat aturan dan ekspektasi konservatif yang mengikat Owens tentang bagaimana seseorang harus bersikap. “Saya harus menjadi lebih maskulin. Saya tidak bisa menjadi flamboyan; I had to butch it up. Sangatlah memalukan,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan Vestoj (2016). Sedikit banyak, kekangan ini menjadi tantangan tersendiri bagi Owens dan membangkitkan sisi pemberontaknya.

Rick Owens.

            Hubungan Owens dengan kedua orangtuanya pun tidak terlalu membantu. “Ibu saya bagaikan pelukan berjalan. Ayah saya sangatlah homofobik. Ia bisa menjadi sangat rasis. Ia seorang anti-aborsi,” ungkap Owens lewat sebuah wawancara dengan Independent (2011). “Saya merupakan sebuah reaksi dari hal-hal itu. Saya membenci ayah saya karena terlalu mengontrol, tetapi ia menjadikan saya seperti ini. Saya mendukung seksualitas dalam bentuk apapun. Saya liberal. Saya anti-konvensional. Dan untuk terus memiliki saya dalam hidupnya, ayah saya telah menutup sebelah mata pada semua hal itu.”

            Ketika Owens akhirnya meninggalkan Porterville dan pindah ke LA untuk bersekolah di Otis College of Art and Design, ia menjadi seflamboyan mungkin. Ia mengenakan sepatu bot ber-platform, jubah, dan full makeup. Ia bahkan tidur dengan sarung tangan. Namun ketika ia pulang ke Porterville untuk mengunjungi orangtuanya, Owens menghapus semua makeup dan cat kuku yang melekat pada dirinya, serta mengenakan pakaian normal. “Apa gunanya pergi ke rumah mereka dan memprovokasi mereka? Apabila saya ingin memiliki hubungan dengan mereka, maka saya harus berkompormi,” ujarnya. Di tahun-tahun belakangan ini, ketika Owens menjadi jujur sepenuhnya dan membiarkan mereka masuk ke dalam hidupunya, mereka pun turut berkompromi dan menerima Owens apa adanya.

PAVING THE RUNWAY

Owens tidak menyelesaikan pendidikannya di Otis College of Art and Design, dan memutuskan untuk berhenti setelah 2 tahun. Ia kemudian mengambil kursus pola dan draperi di Los Angeles’s Trade Technical College. Kursus pola dan draperi inilah yang membentuk Owens sebagai seorang desainer yang begitu fasih dalam urusan pola. Tak seperti desainer kebanyakan, Owens masih membuat polanya sendiri hingga hari ini. Minimnya lapangan pekerjaan saat itu membuat Owens menyanggupi pekerjaan sebagai tukang pola untuk sebuah perusahaan penjiplak busana desainer. Walau ilegal, pekerjaan ini memberikan Owens kemahiran dalam urusan draperi. Ia pun dikenal sebagai seorang desainer yang tidak pernah membuat sketch, namun langsung berkesperimen dengan draperi.

            Pada tahun 1994, Owens mendirikan labelnya eponimnya, yang ia jual secara eksklusif pada Charles Gallay, salah satu butik avant-garde paling hip di LA. Awalnya, Owens menawarkan koleksi debutnya pada Maxfield terlebih dahulu, namun para buyer dari butik luksuri tersebut tak dapat menyempatkan waktu untuk melihat koleksinya. Sebuah kesalahan besar, tentunya. Setelah Gallay tutup, Maxfield menyadari keunikan Owens dan menawarkan kontrak eksklusif dengan sang desainer. Pada saat inilah, Owens mulai menciptakan busana-busana yang nantinya akan menjadi estetika gothic grunge khas miliknya. Di Maxfield juga, sang desainer mulai beralih pada materi lebih high-end dan rancangan lebih ‘tortured’, menyampirkan kulit, kasmir, dan bulu, serta menciptakan berbagai kaus-kaus mengagumkan.

            Owens kemudian memasuki jajaran figur tertinggi industri mode ketika Vogue Prancis menerbitkan foto Kate Moss mengenakan salah satu jaket kulit rancangannya. Ia pun turut mendapat perhatian editor in chief  Vogue Amerika, Anna Wintour, yang kemudian mensponsori debut runway pertamanya di New York.

Rick Owens Spring/Summer 2017.

            Kaus-kaus androgini, serta jaket kulitnya yang memeluk tubuh masih menjadi favorit para ikon mode hingga saat ini. Kerap dijuluki ‘desainer bagi para desainer’, karya-karya Owens menjadi pilihan berbagai figur mode dunia seperti Mary-Kate dan Ashley Olsen (keduanya pernah dituduh mencontek kreasi Owens untuk koleksi mereka, The Row), Kanye West, Rihanna, hingga Michelle Obama, sekalipun.

REFINING THE RAW

Rick Owens  menjadi label paling diburu para fashion insider. Dahulu hingga sekarang, koleksinya selalu habis dalam waktu instan. Ketika para desainer independen berlomba menjual bisnis mereka pada grup luksuri raksasa seperti LVMH (Louis Vuitton Moët Hennessy), ataupun Kering, Owens lebih memilih untuk mengembangkan labelnya dengan menandatangani kontrak distribusi dengan sales agency Italia, Eo Bocci Associati (EBA). EBA sendiri, pada saat itu, telah merepresentasikan beberapa desainer kenamaan Eropa seperti Olivier Theyskens dan Ann Demeulemeester. Kesepakatan ini berbuah pada kepindahan pusat produksi mereka ke Italia pada tahun 2001, dan Owens beserta sang istri sekaligus mitra bisnis, Michèle Lamy, ke Paris. Di Paris, Owens menjadi satu-satunya desainer Amerika yang konsisten menampilkan koleksi busana perempuan dan laki-lakinya tiap musimnya.

            Kini, saat kehidupan menerima dirinya sepenuhnya, Owens mengaku bahwa ‘history of the damage’ masih menjadi pusat output kreatifnya. Perasaan malu, pengalaman menjadi outsider, dan penolakan di kota kecil, bercampur menjadi suatu ketakutan tersendiri bagi Owens. Seiring bertambahnya usia, ia kini mampu menerima dirinya sendiri. Ia tidak menyalahkan dirinya sendiri atas segala keputusan dan kesalahan yang telah ia perbuat. “Saya tidaklah sempurna dan saya tidak perlu menjadi sempurna. Begitu pula dengan semua orang,” katanya.

            Ambisius namun tak pernah arogan, liar namun begitu beradab, Rick Owens, sang desainer, mungkin adalah ciptaan terbaik dirinya. Kini di usianya yang hampir menginjak angka 58, Owens adalah seorang laki-laki berambut keriting kelabu yang telah diubah secara kimia menjadi hitam, lurus, dan panjang. Ia telah pergi ke gym selama lebih dari 20 tahun, mengubah proporsi tubuhnya melalui olahraga dan steroid. Aktivitas ini disebut Owens sebagai suatu kebiasaan sehari-hari seperti menggosok gigi. Suatu kebiasaan yang ia lakukan sebagai bagian dari grooming habit. Ia tidak mengandalkan pakaian untuk menyembunyikan kekurangannya atau untuk membuatnya terlihat lebih menarik dari kenyataannya. “Saya kini merasa sangat nyaman dengan sisi feminin saya. I’m definitely an old queen.”