LIFE

10 November 2020

5 Pahlawan Perempuan Indonesia Pencipta Sejarah


5 Pahlawan Perempuan Indonesia Pencipta Sejarah

Sosok pejuang perempuan yang menunjukkan bahwa nyatanya perempuan bisa terdidik, mampu mandiri, dan dapat bersuara.

Tahun 2007, sejarawan Laurel Thatcher Ulrich, menulis buku dengan judul provokatif: Well-behaved Women Seldom Make History. Perempuan baik-baik jarang menciptakan sejarah. Meski mengagetkan, namun pernyataan judul buku itu bukan omong kosong. Ulrich menuliskan kisah riwayat para tokoh perempuan, antara lain yakni Christine De Pizan, seorang penulis terkemuka di abad pertengahan dan perintis tulisan-tulisan feminisme; Elizabeth Cady Stanton, aktivis hak perempuan asal Amerika; serta Virginia Woolf, feminis dan novelis terkenal asal Inggris.

Di saat kebanyakan orang membiarkan kultur yang memperlemah dan mempersempit peran perempuan, perempuan-perempuan ini justru bersuara, berkarya, dan berjuang lewat caranya masing-masing. Dan karena itu, menurut judul buku Ulrich, perempuan-perempuan ini dianggap ‘nyeleneh’ dan menyimpang. Namun karena bersikap seperti itulah mereka akhirnya menciptakan sejarah. Di Indonesia, sejumlah perempuan ikut menciptakan sejarah. Lima pahlawan perempuan berikut menunjukkan bahwa keberadaan ruang-ruang yang tertutup bagi perempuan hanyalah mitos. Bahwa nyatanya perempuan bisa terdidik, mampu mandiri, dan dapat bersuara.

Nyai Khairiyah Hasyim

Khairiyah lahir di Jombang pada 1906 dan merupakan anak kedua dari K.H. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah. Pada usia 27 tahun, ia memimpin Pesantren Seblak, menggantikan suaminya, K.H. Maksum Ali yang meninggal dunia. Khairiyah menjadi perempuan pertama yang memimpin pesantren dimana seluruh muridnya adalah laki-laki. Khairiyah adalah satu dari sedikit tokoh perempuan yang punya pengalaman yang biasanya jadi privilese laki-laki: tinggal di luar negeri untuk belajar dan mengajar.

Tidak main-main apa yang perempuan ini lakukan. Ia pernah tinggal selama 19 tahun di Makkah dan menjadi salah satu pelopor pendidikan untuk perempuan di Saudi Arabia. Setelah 5 tahun memimpin Pesantren Seblak, Khairiyah pindah ke Makkah bersama suami keduanya, K.H. Muhaimmin pada tahun 1938. Di Makkah, Khairiyah juga tidak bisa lepas dari dunia pendidikan. “Belum ada sekolah perempuan saat itu di Makkah. Banyak orang tidak bisa baca tulis, termasuk berhitung sederhana,” seperti dikutip Warta Ekonomi.

Tahun 1942, perempuan ini mendirikan madrasah perempuan pertama di Makkah bernama Madrasah Banat. Tahun 1956, ia pulang ke Indonesia dan diminta Presiden Sukarno untuk membantu mengembangkan pendidikan pesantren di Indonesia. Khairiyah juga aktif menulis. Ia menulis pentingnya sikap toleran dalam mempraktekkan ajaran Islam. Sayangnya, meski kontribusinya amat besar di dunia pendidikan, catatan sejarah mengenai Khairiyah Hasyim masih sangat minim dan sulit ditemukan.

Maria Ulfah

Lahir di Serang, Banten, pada 18 Agustus 1911. Maria Ulfah adalah anak dari Raden Mochammad Achamd, Bupati Kuningan pada tahun 1923. Tumbuh di tengah keluarga priyayi, ia kerap menyaksikan bagaimana perempuan diperlakukan secara tidak adil dan cenderung direndahkan. Ia melihat perempuan yang sudah menikah dipulangkan ke rumah orangtuanya, kemudian dengan semena-mena si suami menjatuhkan talak. Berbagai peristiwa ketidakadilan yang menimpa perempuan itu menggerakkan hati Maria. Ia enggan menjadi dokter seperti keinginan ayahnya. Maria Ulfah memilih belajar ilmu hukum lantaran miris melihat nasib buruk perempuan saat menghadapi perceraian.

Maria Ulfah merupakan sarjana hukum perempuan pertama Indonesia lulusan Universitas Leiden, Belanda. Pada era 1940an, Maria banyak berkecimpung dalam gerakan perempuan. Ia juga berperan dalam penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia. Tahun 1946, ia menjadi Menteri Sosial. Jabatan itu menjadikannya sebagai menteri perempuan pertama di Indonesia.

Maria Ulfah mendirikan organisasi Isteri Indonesia dan menerbitkan majalah bulanan berisi gagasan tentang gerakan perempuan di Indonesia, sekaligus menyorot berbagai persoalan perempuan seperti pernikahan paksa dan buruh perempuan. Ia juga memperjuangkan ide tentang perlunya perempuan Indonesia duduk di kursi parlemen. Maria Ulfah turut mengupayakan adanya undang-undang perkawinan dengan membatasi praktek poligami. Di kalangan gerakan perempuan saat itu, ia dikenal sebagai penentang keras poligami dan diskriminasi terhadap perempuan.

SK Trimurti

Soerastri Karma Trimurti (SK Trimurti) memiliki tempat khusus dalam sejarah pergerakan perempuan. Dilahirkan di Solo 11 Mei 1912, Trimurti bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia) ketika usianya 20 tahun. Ia tertarik pada politik dan masuk ke dunia aktivis usai menyimak pidato-pidato Bung Karno. Selama tahun-tahun tersebut, Trimurti menjadi pejuang militan dan terlibat dalam berbagai pergerakan anti kolonial hingga akhirnya ia harus masuk penjara Belanda di Semarang selama 9 bulan pada 1936 akibat menyebar pamflet antipenjajah.

Trimurti masuk dunia jurnalisme setelah ia dibebaskan dari penjara. Sikap kritisnya membuat ia menjadi sangat terkenal di kalangan jurnalistik. Tulisan-tulisannya yang kritis tentang pemerintah Belanda membuat ia harus menyamarkan namanya agar tidak ditangkap. Ia menggunakan nama samaran Karma dan Trimurti secara bergantian. Selama kariernya sebagai wartawan, Trimurti pernah bekerja untuk sejumlah surat kabar Indonesia, antara lain Genderang, Bedung, dan Pikiran Rakyat. Ia bersama suaminya, Sayuti Melik, mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu. Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan-tulisannya yang tajam mengritik pemerintah Hindia Belanda. Pada Maret 1942 saat pendudukan Jepang, koran Pesat diberedel Jepang dan Trimurti ditangkap Kempeitai.

Trimurti juga gencar memperjuangkan hak-hak buruh. Ia diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja Indonesia pertama periode 1947-1948 di bawah Perdana Menteri Amin Sjarifuddin. Sebagai Menteri Perburuhan, Trimurti mendorong organisasi-organisasi buruh untuk memperkuat diri agar siap menghadapi segala kemungkinan dalam suasana kemerdekaan yang masih rapuh. Terutama jika suatu saat penjajahan kembali menghampiri Indonesia. Tahun 1956, ia memimpin Gerakan Wanita Sedar, cikal bakal dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). SK Trimurti wafat 20 Mei 2008 dalam usia 96 tahun di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta.

Rohana Kudus

Perempuan pertama yang menjadi jurnalis di Hindia Belanda. Rohana Kudus memulainya dari kebiasaan membaca dan menulis. Lahir 20 Desember 1884 di Kotogadang, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya, Moehammad Rasjad Maharaja Soetan, seorang kepala jaksa, ikut berkontribusi dalam perkembangan intelektual Rohana. Ayahnya sengaja berlangganan koran dan menyediakan berbagai buku politik, sastra, dan hukum untuk dibaca anak perempuannya. Rohana punya kebiasaan yakni membaca buku dengan suara keras yang dilakukannya di tempat umum maupun teras rumahnya. Awalnya dianggap aneh, namun lama-lama suara lantangnya membuat banyak orang ikut belajar membaca dan menulis. Rohana kemudian mendirikan sekolah di rumahnya.

Tahun 1908, ia menikah di usia 24 tahun dengan seorang notaris bernama Abdul Koeddoes. Sejak itu ia dikenal dengan nama Rohana Koeddoes. Tahun 1911 Rohana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia di Kotogadang. Selain mengajar, ia juga gemar menulis. Ia pun menulis di surat kabar Poetri Hindia, hingga akhirnya Rohana melahirkan surat kabar sendiri, Soenting Melajoe. Pada 10 Juli 1912, Soenting Melajoe menerbitkan edisi perdana. Rohana Kudus menerbitkan surat kabar perempuan pertama di Indonesia, meskipun gagasan tentang Indonesia sendiri belum ada saat itu. Soenting Melajoe memiliki pemimpin redaksi, redaktur, dan penulis, yang semuanya adalah perempuan. Surat kabar ini tidak hanya membahas gagasan dan masalah perempuan, tapi juga isu politik dan kriminal yang terjadi di ranah Minang.

Perjuangannya tak selalu berjalan mulus. Beberapa kali dia mendapat cibiran dan fitnah, bahkan dari kaumnya sendiri. Rohana dianggap melawan adat dan menyalahi kodrat perempuan. 17 Agustus 1972, Rohana Kudus meninggal dunia di usia 88 tahun. Jasadnya dimakamkan di pemakaman umum Karet, Jakarta.       

Laksamana Malahayati

Keumalahayati, namun lebih dikenal dengan Malahayati. Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah, adalah keturunan Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri Kesultanan Aceh Darussalam. Berbeda dengan perempuan kebanyakan, Malahayati sejak kecil tidak terlalu suka merias diri. Ia lebih senang berlatih ketangkasan yang membawa pada perjalanan menuju cita-citanya: menjadi panglima perang. Hasratnya itu barangkali mengalir turunan dari ayah dan kakeknya yang dulu pernah menjabat sebagai laksamana angkatan laut Aceh. Malahayati merupakan hasil didikan Mahad Baitul Makdis, akademi ketentaraan Kesultanan Aceh Darussalam.

Ia pernah menjadi Kepala Pengawal sekaligus Panglima Protokol Istana. Tidak hanya memimpin tentara yang didominasi laki-laki, Malahayati juga mengumpulkan kekuatan kaum perempuan, terutama para janda yang ditinggal mati suaminya dalam perang di Teluk Haru. Menurut Damien Kingsbury dalam Peace in Aceh (2006), barisan perempuan janda pemberani pimpinan Malahayati dikenal dengan nama Inong Balee. Dengan 2.000 personel, Malahayati menjadikan Teluk Lamreh Krueng Raya sebagai pangkalan militernya sekaligus membangun benteng dan menara pengawas.

Juni 1599, rombongan Belanda yang dipimpin Frederick dan Cornelis de Houtman merapat ke dermaga milik Aceh kemudian terjadi pertempuran di tengah laut. Awalnya kedatangan mereka disambut baik. Namun pada akhirnya, Cornelis justru mati di tangan seorang perempuan tangguh. Malahayati dengan rencong di tangannya, sementara kapten Belanda dengan senjata pedang. Di tengah pertarungan, Malahayati berhasil menikam Corneslis hingga tewas.

Lebih dari 400 tahun kemudian, Presiden Joko Widodo menyematkan gelar Pahlawan Nasional untuk Malahayati pada 6 November 2017. Kini orang-orang tahu bahwa Aceh bukan hanya punya Cut Nyak Dien dan Cut Meutia, tapi juga sosok perempuan lain yang tangguh dan berani, laksamana perempuan pertama di dunia, Malahayati.