LIFE

3 Agustus 2020

Herawati Sudoyo: Memajukan Dunia Penelitian Dan Ilmu Pengetahuan


Herawati Sudoyo: Memajukan Dunia Penelitian Dan Ilmu Pengetahuan

Mengenal sosok peneliti, penganalisis DNA, sekaligus petinggi perempuan di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Di jalur sains, Herawati Sudoyo memajukan dunia penelitian melalui kecintaannya pada ilmu pengetahuan.

Prof. dr. Herawati Sudoyo, M.S, Ph.D., lahir di Pare, Kediri, Jawa Timur. Ia meraih gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada 1977. Ia kemudian menjadi pengajar di Departemen Biologi Kedokteran di FKUI. Herawati lantas menyelesaikan studi pascasarjana program Magister Biomedik di fakultas yang sama tahun 1985. Ia menikah dengan Prof. dr. Aru Wicaksono Sudoyo, Sp.PD-KHOM, FACP, seorang dokter onkologi sekaligus kakak kelasnya di FKUI. Tahun 1985, Herawati meneruskan studi pascasarjana di Universitas Monash, Australia. Kegiatan sebagai mahasiswa S3 ia lakoni bersamaan dengan aktivitasnya sebagai ibu dari dua orang anak. “Kedua anak saya yang waktu itu berusia 13 dan 8 tahun ikut ke Australia. Setiap pagi, saya pergi ke laboratorium usai mengantar anak-anak ke sekolah. Sore harinya saya jemput mereka, kemudian masak di rumah, lalu kembali ke laboratorium. Begitu terus setiap hari,” kisahnya. Kerja kerasnya tidak sia-sia. Tahun 1990, ia menyelesaikan studi S3-nya lalu kembali ke Jakarta. 

Kini Herawati Sudoyo menjabat sebagai Wakil Kepala Lembaga Eijkman dalam bidang Penelitian Fundamental. Ia memimpin Laboratorium Keanekaragaman Genom dan Penyakit, sekaligus Kepala laboratorium DNA forensik. Perempuan ini merupakan salah satu sosok penting yang turut menghidupkan kembali Lembaga Eijkman setelah sebelumnya lembaga tersebut sempat ditutup di tahun 1960 akibat pergolakan ekonomi dan politik di Indonesia.

Lembaga Eijkman merupakan lembaga penelitian di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Republik Indonesia yang bergerak dalam bidang biologi molekuler dan bioteknologi. Gerak Lembaga Eijkman tidak sebatas pada wilayah kedokteran, meski tak bisa terlalu jauh dari isu kesehatan. Topik risetnya yakni di antaranya genetika, bioinformatika, kedokteran forensik, dan emerging virus. Tahun 2012, Herawati Sudoyo ikut berperan dalam mengembangkan laboratorium Emerging Virus Research Unit yang fokus pada penelitian virus-virus endemik yang baru muncul di Indonesia yang kini ikut serta mempelajari virus korona baru penyebab pandemi Covid-19.  

Tahun 2004, Lembaga Eijkman mencuri perhatian dunia ketika berhasil mengungkap identitas pelaku bom bunuh diri yang meledak di depan Kedutaan Besar Australia, di Jakarta. Herawati Sudoyo dan timnya berada di balik kesuksesan pengungkapan ini. “Ini merupakan suatu contoh bagaimana penelitian fundamental yang kami lakukan dapat diaplikasikan untuk keperluan yang langsung menyentuh kemanusiaan”, ujarnya. Lembaga Eijkman dan ilmu biologi molekuler langsung naik daun.

Begitu pun dengan Herawati yang kemudian diganjar banyak penghargaan di antaranya Wing Kehormatan Kedokteran Kepolisian Republik Indonesia (2007), Australian Alumni Award of Scientific and Research Innovation (2008), serta Habibie Award untuk bidang Ilmu Kedokteran dan Teknologi. Atas berbagai pencapaiannya, The Lancet edisi September 2012, sebuah jurnal medis asal Inggris, menyebut Herawati Sudoyo sebagai “The Champion of Basic Science in Indonesia”.

elle indonesia - interview Herawati Sudoyo - photography AGUS SANTOSO styling SIDKY MUHAMADSYAH
photography AGUS SANTOSO styling SIDKY MUHAMADSYAH

Lembaga Eijkman turut melakukan uji pemeriksaan terhadap virus SARS CoV-2 penyebab Covid-19. Bagaimana kisahnya?

“Kami memiliki Eijkman Emerging Virus Research Unit, suatu laboratorium yang melakukan penelitian terhadap virus-virus baru. Termasuk meneliti HIV-Aids, flu burung (H5N1), SARS-1 (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome), yang kala itu termasuk ‘emerging virus’. Pada 31 Desember 2019 silam, saat mengetahui adanya virus korona baru (SARS-CoV-2) di Wuhan, Tiongkok, sebetulnya kami telah berjaga-jaga di laboratorium. Sebagai lembaga penelitian, kami sifatnya tidak menunggu tetapi mengantisipasi apa yang terjadi jika virusnya masuk ke Indonesia.

Kami segera membuat tes berdasarkan informasi apa pun yang ada. Pada 16 Maret 2020, pemerintah secara resmi mengumumkan bahwa kami jadi bagian dari upaya percepatan diagnostik pandemi Covid-19 dengan melakukan pengembangan vaksin Covid-19, mempelajari virus SARS-CoV-2 lewat proses whole genome sequencing, melakukan uji PCR (Polymerase Chain Reaction) pada terduga Covid-19 untuk mendeteksi keberadaan materi genetik sel, bakteri, dan virus korona.”

Eijkman sedang mengembangkan vaksin dan menguji penggunaan plasma darah pasien yang sudah sembuh untuk terapi plasma konvalesen. Apa yang dapat Anda ceritakan dari vaksin Indonesia dan terapi ini?

“Jika bicara soal penyakit baik itu menular ataupun tidak, sebisa mungkin kita mencegahnya ketimbang mengobatinya. Termasuk apa yang kita alami saat ini dengan Covid-19.  Jumlah orang yang positif terinfeksi virus masih terus bertambah. Penyebarannya pun kian luas. Kini, lebih dari 120 vaksin dilaporkan sedang dikembangkan oleh berbagai lembaga di dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Saya kira, kita harus mengembangkan vaksin demi kemandirian. Sebab seandainya satu vaksin ditemukan, tentu yang pertama memanfaatkannya adalah negara yang menemukannya. Maka itu, Indonesia juga harus membuat vaksin untuk virus SARS-CoV-2.   Semua ilmuwan saat ini sedang melakukan studi untuk mencari pengobatan yang paling tepat untuk Covid-19. Dan belum ada obat yang ditemukan. Kendati demikian, ada satu pendekatan yang sedang diujicobakan yakni terapi konvalesen plasma. Sebetulnya pengobatan tersebut bukan sesuatu yang baru, pernah diuji coba untuk kasus Ebola.

Caranya dengan mengambil darah pasien positif Covid-19 yang telah dinyatakan 4 minggu sembuh, dan memberikan plasma darahnya ke tubuh pasien Covid-19 yang mengalami kondisi sakit dengan jumlah virus yang masih banyak namun antibodinya belum bekerja. Di mana Lembaga Eijkman berperan? Bukan di rumah sakit, melainkan di laboratorium yang didesain khusus untuk bekerja dengan patogen berbahaya seperti SARS-CoV-2. Kami melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan plasma yang diberikan memenuhi persyaratan. Mudah-mudahan terapi konvalesen plasma ini bisa menjadi alternatif untuk menaikkan tingkat kesembuhan dari penderita Covid-19, sampai obatnya dapat ditemukan suatu hari nanti.”

elle indonesia - interview Herawati Sudoyo - photography AGUS SANTOSO styling SIDKY MUHAMADSYAH
photography AGUS SANTOSO styling SIDKY MUHAMADSYAH

Bagaimana kisah ketertarikan Anda pada bidang penelitian dan biologi molekuler?

“Lulus kuliah kedokteran, saya justru tidak meneruskan karier sebagai dokter tetapi menjadi staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan berkecimpung dalam bidang praklinis yang memberikan pengetahuan dasar seperti biologi, patologi, mikrobiologi dan biokimia. Saya diterima di Departemen Biologi Kedokteran yang waktu itu sangat kuat dalam Ilmu Genetika dan Imunologi. Mengapa saya mengambil jalan hidup demikian? Sebab saya punya anak. Suami memilih jalur klinis dan berprofesi sebagai dokter yang mengharuskannya sering berada di luar rumah. Saat itu anak-anak masih kecil dan saya ingin hadir dalam masa pertumbuhan mereka. Jadi saya pikir, sebaiknya pilih jalur praklinis dan jadi pengajar di kampus agar punya waktu lebih untuk anak-anak.

Di tengah jalan, profesor Sangkot Marzuki, senior saya sekaligus alumni FKUI yang bekerja di Universitas Monash, sedang mencari orang-orang Indonesia yang tertarik belajar biologi molekuler, cabang ilmu yang kala itu tahun 1990 belum populer. Maka terbukalah peluang saya untuk meneruskan pendidikan di Universitas Monash, Australia. Saya belajar banyak pemikiran-pemikiran baru dan mendalami berbagai bacaan yang berguna saat ‘troubleshooting’ di laboratorium. Ilmu yang dipelajari pada awal studi yakni biologi molekuler. Ilmu ini mempelajari keunikan makhluk hidup dalam skala molekul, seperti DNA (asam deoksiribonukleat), RNA (asam ribonukleat), dan protein. Saya langsung jatuh hati untuk mendalaminya. Kendati waktu itu biologi molekuler belum dikenal banyak orang, namun saya yakin ilmu ini akan sangat diperlukan di masa depan.”

Bagaimana kisah keterlibatan Anda di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman?

“Sewaktu saya sekolah di Australia, B.J. Habibie, yang saat itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi, ingin Indonesia membangun pusat penelitian serta membuka kembali Lembaga Eijkman. Beliau mencari peneliti-peneliti Indonesia yang mau mengembangkan biologi molekuler di Indonesia. Salah satunya ialah profesor Sangkot yang mengajak saya ikut serta. Dibantu oleh Profesor Pratiwi Sudarmono, astronot perempuan pertama di Indonesia, kami bersama membahas perencanaan dan mematangkan konsep, termasuk mengembalikan arsitektur asli gedung Eijkman yang ada di Jl. Diponegoro, Jakarta, yang saat itu sebagian masih digunakan oleh beberapa departemen dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Suatu kesenangan tersendiri saya bisa ikut melakukan restorasi bangunan Eijkman yang kuno menjadi laboratorium modern. Saya jadi bisa menyalurkan hasrat seni setelah sebelumnya cita-cita menjadi arsitek harus di kandas di tengah jalan. Pada April 1993, Lembaga Eijkman kembali beroperasi dan dipimpin oleh Profesor Sangkot Marzuki sedangkan saya ditempatkan sebagai Deputi Direktur Riset Fundamental.”