LIFE

10 Mei 2019

Memahami Prinsip Pelesir Slow Travel


Memahami Prinsip Pelesir Slow Travel

Manusia modern–dengan segala pengertiannya–yang hingga kini masih menikmati tahun 2019, boleh jadi memaknai bepergian sebagai bentuk rekreasi. Sebagai bentuk eskapisme dengan dalih bersembunyi atau melarikan diri sejenak dari kepenatan yang sehari-hari harus ditelan. Yang tadinya berlabel “keinginan”, kini memperoleh cap “kebutuhan”. Mungkin kebutuhan untuk menjaga kewarasan. Terlebih ditambah dengan “kebutuhan” lainnya berupa likes dan comments di feed Instagram. Plus, direct message di Instagram Stories. Kebutuhan untuk berbagi kesenangan dan kebahagiaan dari “Saya sedang apa, pakai baju apa, di mana, dengan siapa”. Tidak mengherankan apabila bepergian dalam format pelesiran menjadi sebuah sumber kebahagiaan era 4.0, yang setidaknya bisa terukur dari jumlah 386 juta postingan yang bernaung dalam tagar #travel di Instagram pada saat tulisan ini dibuat. Orientasi dalam melakukan perjalanan pun telah menjadi begitu beragam. Satu hal yang umum terjadi adalah sebuah perjalanan yang sangat padat dengan berbagai aktivitas sesuai daftar to-do list. Berkunjung ke sebuah daerah atau negara yang diklaim menjadi bucket list, membuat Anda benar-benar tidak mau menyia-nyiakan sedikit pun waktu saat berada di sana. Berpindah-pindah kota untuk menyaksikan sejumlah landmark–yang sebelumnya selalu membuat Anda merapal doa supaya bisa berada di sana–menikmati kuliner khas setempat, dan mencicipi ragam hidangan di berbagai restoran rekomendasi, serta berburu barang-barang menarik baik untuk kepuasan pribadi, karena harga yang lebih murah dibanding di negara domisili, atau permintaan buah tangan. Tentunya, seluruhnya harus diabadikan untuk dibagikan setiap saat kepada para followers. Hasilnya? Pancaran kebahagiaan atas apa yang telah Anda alami, lihat, rasakan selama berada dalam perjalanan. Pengalaman dan kenangan yang akan sulit tergantikan. Saatnya pulang, kembali pada realitas. Anda pun kemudian menyadari bahwa Anda begitu letih. Begitu banyak yang dilakukan dalam waktu yang relatif singkat demi memenuhi hasrat dan memanfaatkan momentum. Apakah memang ini sejatinya sebuah travelling? Atau, Anda bisa pelesiran dengan pendekatan yang berbeda? [caption id="attachment_7610" align="aligncenter" width="685"]slow travel Images: GETTYIMAGES[/caption]

Apa Itu Slow Travel?

Slow travel. Terminologi ini didasar atas sebuah pergerakan yang muncul sebagai solusi atas kelelahan, ketergesaan, dan keriuhan yang didapat dari melakukan perjalanan ala turis pada umumnya. Untuk lebih membantu mendefinisikannya, mari bayangkan Anda berada di sebuah kota kecil. Di pagi hari Anda pergi ke pasar untuk berbelanja bahan makanan lokal, siang harinya Anda makan siang bersama warga setempat di sebuah restoran, sore harinya Anda berjalan santai menyusuri sudut-sudut kota dan berakhir dengan menyeruput kopi lokal. Kalau rangkaian adegan tersebut membuat Anda bergairah, maka Anda patut mencobanya di rencana perjalanan berikutnya. Sebuah perjalanan yang tidak terlalu mengacu pada itinerary dan lebih berfokus pada menikmati apa yang ada di sekeliling secara relaks. Anda mengeksplorasi wilayah, kultur, dan penduduk setempat dalam ritme yang pelan, namun penuh kesan. Slow travel sendiri merupakan perpanjangan dari pergerakan slow food, yang dimulai di Italia pada era 80-an dalam bentuk protes terhadap pembukaan sebuah restoran McDonald’s di Roma. Slow food bertujuan untuk melestarikan kuliner setempat, pertanian lokal, hidangan komunal, dan metode tradisional dalam mempersiapkan hidangan. Inisiatif kultural ini pada akhirnya berkembang menjadi sebuah bentuk gaya hidup bernama Slow Movement, yang menekankan pada keterkaitan; makanan, keluarga, dan dalam konteks bepergian adalah koneksi dengan penduduk dan budaya lokal. Slow travel adalah sebuah pola pikir. Lebih penting untuk mengenal lebih dalam sebuah daerah atau kota kecil ketimbang berupaya untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan berpindah dari satu area ke area lainnya untuk mengejar target tempat-tempat yang ingin ditandai dengan “I was there”. [caption id="attachment_7611" align="aligncenter" width="685"]slow travel Images: GETTYIMAGES[/caption]

Seberapa Santai Anda Mampu Melangkah?

Anda bisa memilih pergi ke destinasi yang dituju dengan menggunakan kereta api untuk menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan. Tinggal di hostel atau bahkan rumah penduduk selama seminggu, kemudian mengeksplorasi lingkungan sekeliling dengan berjalan kaki atau bersepeda. Apapun yang Anda lakukan, kuncinya adalah memperlambat ritme dan meresapi sepenuhnya apa yang Anda alami selama berlibur. Ritme yang lebih lambat akan mempermudah Anda dalam membentuk ikatan yang kuat dengan tempat yang Anda kunjungi, dan mengurangi ketergesaan. Dengan itinerary yang cenderung laid-back, Anda dapat terhindar dari stres akibat tuntutan untuk memenuhi apa yang disarankan di buku panduan. Anda pun dapat lebih membaur secara alami dengan budaya baru di destinasi tempat Anda berada. Slow travel bisa dibilang juga ramah terhadap budget. Menginap di satu tempat selama beberapa hari hingga seminggu tentunya lebih hemat ketimbang harus berpindah-pindah area yang berarti membutuhkan ekstra pengeluaran untuk transportasi. Pilihan tempat menginap berupa apartemen kecil di mana Anda dapat memasak makanan sendiri juga akan lebih efisien dari segi biaya ketimbang bermalam di hotel yang membuat Anda lebih sering makan di luar. Perlu diingat bahwa meski slow travel adalah pilihan bagi mereka yang ingin memperkaya pengalaman dalam melakukan perjalanan, ini bukanlah sesuatu untuk semua orang. “Slow” di sini bisa jadi memang benar-benar lambat. Apabila aktif bepergian dan melihat berbagai hal setiap harinya membuat Anda senang dan bersemangat, boleh jadi menikmati keseharian dengan tempo yang lambat dan santai akan membuat Anda frustrasi. Terlebih dengan moto tak resmi dari slow travel, “There’s always another trip”, tentunya ini tidak berlaku bagi seluruh traveler, terutama mereka dengan anggaran terbatas. Jika Anda melakukan perjalanan ke London, Italia, atau Eslandia, yang mungkin adalah pengalaman sekali seumur hidup, maka Anda perlu memutuskan mana yang lebih penting bagi Anda: menjadi turis pada umumnya, atau sebuah pengalaman kultural yang intim. Satu hal yang perlu selalu diingat, slow travel adalah pola pikir, bukan destinasi. Dengan perencanaan yang matang, Anda dapat menerapkan pendekatan slow travel di mana saja. slow travel

Esensial Slow Travel

Jika Anda tertarik untuk mencoba prinsip pelesir ini, pasti perhatikan beberapa hal berikut:
  1. Jangan terlalu terpaku pada to-do list, biarkan semuanya mengalir, dan bersikap fleksibel. Slow travel bukanlah tentang berapa banyak tempat yang Anda kunjungi, tetapi bagaimana Anda bisa benar-benar menikmati pengalamannya.
  2. Tinggal di sebuah daerah atau kota selama mungkin yang Anda bisa. Dengan demikian, Anda akan memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap budaya lokal.
  3. Pelajari bahasa lokal. Bukan berarti menjadi fasih, tetapi dengan mengucap kata atau kalimat yang umum digunakan di daerah setempat akan membuat Anda lebih menyatu dengan penduduk lokal.
  4. Jangan takut untuk tersesat saat Anda berjalan kaki atau bersepeda menyusuri desa atau kota yang Anda singgahi. Karena ini berarti sebuah petualangan yang mendebarkan.
  5. Ambil bagian dalam aktivitas bersama warga setempat, misalnya pertandingan olahraga atau upacara adat, akan membantu Anda untuk menyelami kultur lokal secara lebih dalam.
  6. Menjalani keseharian layaknya penduduk lokal; pergi ke pasar tradisional, menyantap hidangan khas buatan warga setempat, bersosialisasi.
  7. Memilih tempat bermalam dari Airbnb atau Couchsurfing menawarkan pengalaman lokal yang lebih otentik ketimbang hotel.
  8. Tetap luangkan waktu untuk bersantai dan menikmati waktu yang berjalan, misalnya dengan mengamati para warga melakukan berbagai kegiatannya.
(Photo: DOC. ELLE Indonesia; photography YOHAN LILIYANI-NPM PHOTOGRAPHY, styling CHEKKA RIESCA)