LIFE

10 Mei 2021

Nilai Keluarga Sebagai Fondasi Bangsa


Nilai Keluarga Sebagai Fondasi Bangsa

Sewaktu saya kecil, isu kesetaraan gender tidak pernah dibicarakan di dalam rumah. Namun nyaris selalu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Ibu saya pernah bercerita, ketika saya bayi dan tiba-tiba menangis di tengah malam, maka yang bangun dari tidur lalu merespons tangisan saya adalah bapak. Ya, ayah saya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, akan mengambil Yenny kecil dari boks bayi dan membawanya ke tempat ibu agar diberikan susu. Ketika selesai, bapak pula yang menaruh si bayi kembali ke tempat tidurnya. Saya kemudian sering menyaksikan bagaimana bapak tidak akan segan-segan mencuci piring di dapur atau membantu ibu membungkus es yang akan dijual di warung dekat sekolah tempat bapak mengajar. Bagi kami, keempat anaknya, kesetaraan hubungan dalam rumah tangga adalah norma dan kebiasaan. Suatu budaya yang mengakar dan berlaku dalam keluarga kami. Dan pada akhirnya menjadi prinsip dasar yang kami berlakukan ketika kami menikah dan berumah tangga.

Al Ummu madrasah al-ula, mother is the first school. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Namun sesungguhnya, peran ayah juga sangat besar dalam membentuk nilai dan karakter seorang anak. Sebagaimana hal tersebut tercermin dalam kisah keluarga saya. Bapak memperlakukan ibu dengan rasa hormat, menanamkan rasa ‘self worth’ atau kebanggaan dalam diri seorang anak perempuan. Rasa hormat pada diri sendiri yang membuat kami mencari pasangan yang juga memberikan hal yang sama. Bahwa laki-laki sepatutnya memperlakukan istri dengan penuh cinta, kasih sayang, dan kelembutan agar tercipta keluarga yang harmonis.

Profile Yenny Wahid - elle indonesia styling SIDKY MUHAMMADSYAH photography MICHAEL TIMOTHY - writer rianty rusmalia
Yenny Wahid for ELLE Indonesia February 2020 photography MICHAEL TIMOTHY styling SIDKY MUHAMMADSYAH

Banyak penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga, maka anak-anaknya cenderung akan melakukan hal yang sama atau kelak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangganya. Kecenderungan ini menjadi lebih besar dibanding anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang rukun. Anak laki-laki yang ayahnya melakukan poligami, maka cenderung juga akan berpoligami. Dan anak perempuan yang ayahnya berpoligami akan lebih menoleransi dirinya untuk juga dipoligami. Hal itu terjadi sebab anak menyerap pola hubungan rumah tangga orangtuanya. Anak-anak melihat, menyaksikan, dan menganggap apa yang terjadi sebagai kewajaran yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Karena itulah, saya dan suami bersepakat untuk menata pola hubungan kami sejak sedini mungkin. Termasuk cara bertingkah laku, agar anak-anak kami menyerap sebanyak mungkin hal positif dalam kesehariannya.

Saya dan suami menanamkan nilai-nilai dalam diri anak-anak kami. Salah satunya nilai penghargaan terhadap diri sendiri. Lahir sebagai digital native yang fasih berekspresi lewat platform media sosial, saya dan suami menyadari betul bahwa anak-anak rentan terhadap cyber bullying. Dan karena itu, harus ada filter dalam memproses seluruh informasi yang masuk. Bagaimana caranya? Salah satunya dengan menanamkan kecintaan pada diri sendiri sekaligus rasa penghargaan terhadap perbedaan yang dimiliki orang lain.

elle indonesia photography HONG JANG HYUN styling LEE JAE HEE
photography HONG JANG HYUN for ELLE Indonesia November 2019 styling LEE JAE HEE

Kami menekankan kepada anak-anak bahwa setiap manusia dan makhluk Tuhan lainnya adalah sosok yang harus dihormati. Apa pun latar belakang, status sosial, tingkat ekonomi, suku atau ras, serta agama dan keyakinannya. Bahwa kita manusia tidak pernah menjadi unggul dan lebih hebat dengan cara mengecilkan orang lain. Sebaliknya, justru kita menjadi hebat ketika mampu menolong orang lain secara tulus dan ikhlas.

Kami tekankan pula konsep sebab akibat atas semua tindakan. Untuk menghindari sikap menghakimi orang lain, saya dan suami mengajari anak-anak bahwa selalu ada perspektif yang berbeda dalam memahami setiap tindakan. Apa yang dianggap positif oleh satu orang dapat dianggap negatif oleh orang lain, karena itu kita tidak perlu mencoba menyenangkan semua orang. Yang harus ditekankan, setiap langkah harus dimulai dari niat baik dan selalu berpijak pada kebenaran, sehingga ketika muncul konsekuensi, maka secara moral kita punya kekuatan untuk menghadapinya.

Satu hal yang kerap dilakukan orangtua adalah menyepelekan perasaan anak. Seolah anak adalah makhluk yang tidak punya hak atas emosinya. Ketika anak menangis, orangtua seringkali merespons dengan cara menegasikan emosinya. Misalnya dengan mengatakan, “Sudah diam ya, jangan menangis” sambil ‘menyogok’ dengan insentif berupa material: “Kalau kamu diam, Mama belikan es krim”. Jarang ada orangtua yang mencoba memvalidasi perasaan anaknya, misalnya dengan mengatakan, “Oh kamu sedih ya, temanmu tidak mau berbagi mainan?” Ketika anak diakui perasaannya, maka akan tercipta rasa dimengerti oleh orangtuanya, yang selanjutnya menghadirkan trust atau rasa percaya anak terhadap orangtuanya. Dan ketika anak merasa nyaman, ia akan tumbuh optimal sesuai potensinya. Begitulah peran keluarga yang sesungguhnya. Keluarga menciptakan landasan bagi terbentuknya karakter mulia dalam diri manusia sekaligus terciptanya tatanan dunia yang baik bagi semua orang.