8 Oktober 2019
Laura Basuki dan Susy Susanti Bicara Biopik Bersama Dion Wiyoko

la
Bermain peran memberikan hak istimewa kepada para pemainnya untuk dapat merasa apa yang dirasa oleh orang lain. Bahkan, memungkinkan seorang pelakon bertukar sepenggal kehidupan secara fiksi atau adaptasi kisah nyata seseorang, sebagaimana pengalaman Laura Basuki lewat film Susi Susanti: Love All.
Di film besutan sutradara Sim F. tersebut, Laura berkesempatan melakoni kehidupan seorang legenda bulu tangkis Indonesia, Susy Susanti. Latar kisah dimulai dari meraih impian masa kecil di Tasikmalaya, Jawa Barat, dan dilanjutkan pelatihan keras di Pelatnas PBSI yang mempertemukan Susy Susanti dengan pujaan hati, Alan Budikusuma, hingga meraih piala Thomas dan Uber tahun 1998 yang menjadi persembahan terakhir untuk Indonesia sebelum gantung sepatu.
Ini bukan pengalaman pertama Laura tampil dalam film biopik. Walau begitu, menghidupkan seseorang berpredikat pahlawan merupakan perkara besar. Terlebih figur yang ia perankan masih hidup. Tekanan datang setiap memikirkan reaksi Susy Susanti saat nanti menontonnya. Sebelum filmnya meramaikan bioskop-bioskop Indonesia mulai 24 Oktober 2019, ELLE ditemani Dion Wiyoko menemui keduanya di Pelatnas PBSI, salah satu tempat syutingnya.

Laura Basuki Menilai Susy Susanti
DION WIYOKO (DW): "Laura, usia berapa Anda mengetahui sosok Susy Susanti pertama kali?"
LAURA BASUKI (LB): “Usia delapan tahun. Saya belum pernah menonton beliau bertanding. Tapi ayah selalu antusias setiap kali ada berita tentang beliau di koran. Saya bertemu mbak Susy pertama kali di rumahnya, sebelum menonton pertandingan Indonesia Open tahun 2018"
DW: "Apa yang meyakinkan Anda untuk akhirnya menerima tawaran peran ini?"
LB: "Saya pikir enggak akan ada pebulutangkis yang mampu menggantikan Susy Susanti. Dan untuk menjadi yang pertama menyampaikan kisah beliau merupakan kesempatan yang hanya datang sekali."
DW: "Ceritakan tentang pelatihan bulu tangkis dan bagaimana Anda menguasai teknik split yang jadi gaya khas Susy Susanti?"
LB: "Setiap hari, selama kurang lebih enam bulan, saya diharuskan berolahraga hingga enam jam. Lari menjadi rutinitas wajib di pagi hari sebelum memulai latihan bulu tangkis. Anda tahu hal pertama yang saya lakukan ketika menerima naskah ini? Mencari adegan split itu, sedikit berharap ditiadakan meskipun tentu saja tidak mungkin. Hahaha. Jadi, selain berlatih fisik dan teknik bulu tangkis, saya juga secara khusus melatih fleksibilitas tubuh. Berlatih dengan kondisi fisik usia yang tidak lagi terbilang muda adalah sebuah perjuangan. Sungguh, lelahnya luar biasa! Di tengah perjalanan itu, jujur saya sempat berniat menyerah. Satu hal yang membuat saya bertahan ialah menunjukkan kepada publik, bagaimana kerasnya perjuangan seseorang untuk menjadi atlet."
DW: "Yeah, saya menyaksikan kerja keras Anda berlatih dengan Chiu Sia (pelatih Susy Susanti dahulu) itu. Tapi bagaimana Anda memisahkan diri berakting main bulu tangkis dan di saat yang sama Anda benar-benar melakukannya?"
LB: "Mengenakan baju olahraga dan berada di lapangan, sangat membantu dalam penghayatan. Ketika merekam scene kejuaraan Olimpiade, dan berdiri di atas podium memandang bendera Indonesia berkibar diiringi lagu Indonesia Raya, saya benar-benar merasa layaknya seorang atlet yang baru membela negara."
DW: Apa pengaruh sosok Susy Susanti untuk Anda pribadi?
LB: "Berkat film ini, saya mengetahui bahwa mbak Susy selalu membuat catatan tentang kelebihan dan kelemahan lawannya, setiap kali pertandingan, untuk kemudian ia pelajari dalam membentuk strategi. Saya pikir sifat beliau yang disiplin, memiliki tekad kuat, dan tekun dalam mencapai keinginannya itu menjadi inspirasi tersendiri buat saya."

DW: "Apakah lebih mudah bermain film biopik ketimbang memerankan tokoh fiksi? Terlebih lagi figur yang Anda perankan masih hidup."
LB: "Saya cukup beruntung karena figur yang diperankan masih hidup, sehingga bisa bertemu dan bicara langsung untuk mengenal sosoknya. Hal itu memudahkan. Tetapi sebenarnya tidak jauh lebih sulit, jika membayangkan reaksi beliau saat nanti menonton filmnya."
Catatan Sang Legenda
DW: "Mba Susy, bagaimana Anda mendeskripsikan diri sebagai seorang juara?"
SUSY SUSANTI (SS): "Saya hanya merasa menjadi seorang juara saat berdiri di atas podium. Begitu turun, perasaan itu langsung hilang. Saya tidak ada bedanya dari pebulutangkis lain, yang harus terus berlari mengejar kok agar tak menyentuh tanah. Hal ini yang kemudian memotivasi saya untuk selalu belajar, berbuat lebih baik, dan meraih gelar di setiap pertandingan."
DW: Apakah Anda selalu tahu bahwa Anda ingin menjadi seorang atlet?
SS: "Sebenarnya, masa kecil saya bercita-cita ingin menjadi seorang insinyur karena melihat sepupu yang tampak sangat hebat sekali mampu mendirikan bangunan setinggi itu. Tapi kemudian, bapak saya seringkali mengajak ke lapangan dan mengajarkan bermain bulu tangkis. Lalu ketika diajak menonton pertandingan Verawaty dan Liem Swie King, cita-cita saya langsung berubah ingin menjadi pemain bulu tangkis. Saya ingat waktu itu masih umur enam atau tujuh tahun. Bapak saya bertanya, ‘Apa saya mau bermain bulu tangkis?’ dan saya dengan sepenuh hati bilang kepadanya, ‘saya ingin jadi juara dunia’."
DW: "Judul film ini mengubah sedikit penulisan nama Anda. Apa yang membuat Anda tidak keberatan?"
SS: "Nama saya Susy, menggunakan huruf Y, begitu pemberian orangtua. Tapi sepanjang perjalanan hidup ini, seringkali orang-orang salah menuliskannya menggunakan huruf I. Saya tidak heran, sebab pelafalan hurufnya memang terdengar sama saat diucapkan. Hahaha. Coba saja Anda cari nama saya di Google, pasti ada dua variasi. Buat saya kebiasaan ini bukan suatu persoalan besar."

DW: "Untuk film ini, Laura mendapatkan berlatih bersama Chiu Sia, pelatih mbak Susy dahulu."
SS: "Buat saya, beliau bukan hanya seorang pelatih tetapi juga orangtua dan sahabat. Saya masuk PELATNAS (Pemusatan Latihan Nasional) pada usia 15 tahun, kemudian dilatih oleh Chiu Sia mulai menginjak 17 tahun hingga berhenti bertanding di usia 27 tahun saat hamil. Beliau adalah orang yang menemani saya di setiap pertandingan, di setiap kekalahan, dan di setiap kemenangan."
DW: "Film ini juga mengisahkan hubungan asmara Anda dengan Alan Budikusuma. Bagaimana kehidupan personal memengaruhi karier dan prestasi Anda?"
SS: "Setiap kali menuai kekalahan, kehidupan pribadi kami kerap dijadikan kambing hitam. Mereka berasumsi kami tidak fokus bertanding karena isi kepala tertutup perkara asmara… yang pasti, hal itu bukan alasan. Ketika turun ke lapangan, saya hanya fokus memikirkan lawan yang ada di depan mata. Tidak ada yang lain. Buat saya, memiliki pasangan dengan profesi yang sama justru memberi dukungan tersendiri. Adakalanya kami bersinggungan dan saling diam. Tetapi, kami sadar bahwa urusan personal tidak lebih besar dari nama baik negara. Kami paham tanggung jawab masing-masing dan tetap meprioritaskan prestasi."
photography NORMAN FIDELI styling ISMELYA MUNTU makeup ENGELINA INEZ assistant photography GERARLDY JASSON