FASHION

22 April 2020

Perkembangan Mode Berkelanjutan di Indonesia


Perkembangan Mode Berkelanjutan di Indonesia

Kesadaran global akan pentingnya industri fashion yang sustainable semakin meningkat. Bagaimana dengan industri mode di Indonesia? oleh CEMPAKA ASRIANI.

Bicara tentang lingkungan, industri mode tidak memiliki rekam jejak yang baik. Setidaknya di 20 tahun terakhir. Data dari situs Greenpeace.org menyatakan bahwa mode secara global bertanggung jawab 20% sampai 35% dari mikroplastik yang terbuang ke laut, hingga melampaui jejak karbon atau carbon footprint yang dihasilkan oleh gabungan penerbangan international dan kegiatan berbelanja itu sendiri.

Bagaimana di Indonesia?

Pertama, situasinya tidaklah sama. Dari sisi produsen, aplikasi mode yang berkelanjutan tentu lebih mendesak untuk dilakukan di belahan dunia Eropa dan Amerika Serikat, karena di sana mode sendiri sudah established dengan kapasitas produksi yang teramat besar. Sedangkan di Indonesia sendiri, fashion secara umum masih digerakkan oleh pemain di skala kecil (rumahan) dan menengah yang secara dampak tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan label fast-fashion, atau desainer di luar negeri. Keduanya tidak bisa dibandingkan secara langsung.

mode berkelanjutan - perilaku konsumen indonesia - consumption behavior - elle indonesia

Namun Indonesia sebagai salah satu negara yang menyuplai produk untuk label fast-fashion, tetap perlu untuk mengamati kondisi yang terjadi di luar sana. Hanya saja, pengaplikasiannya tetap harus relevan dengan kondisi dalam negeri.

Desainer Felicia Budi menyampaikan pandangannya. ”Buat saya sustainability adalah tentang bagaimana kita mencari keseimbangan dalam beberapa aspek dalam fashion: sosial, ekonomi, ekologi, budaya, intellectual property rights desainer, serta self-expression. Jadi bukan perihal hitam-putih: apakah kita pakai material ramah lingkungan atau tidak atau apakah kita sudah menghitung carbon-footprint produksi kita atau belum.”

Lebih lanjut, Felicia menambahkan bahwa (sayangnya) sustainability maknanya sudah sangat samar di masyarakat. ”Saya sendiri sangat berhati- hati dalam menggunakan kata tersebut. Tidak semestinya seorang desainer atau sebuah brand mengklaim dirinya sustainable.”

elle indonesia - felicia budi collection

Etisnya memang status tersebut disematkan oleh pihak eksternal dengan terlebih dulu melihat pengaruh yang label atau desainer dalam beberapa tahun ke depan apakah benar sudah mendukung keberlanjutan atau belum. “Menjadi sustainable adalah sebuah ide konsep yang ingin kita capai namun ini bukanlah sebuah nama, sebutan apalagi marketing tools untuk mendorong tercapainya penjualan yang lebih banyak lagi,” imbuh Felicia lagi.

Felicia lewat labelnya, fbudi, dari awal berdiri berkomitmen untuk menerapkan produksi yang zero-waste. Bukan berarti tidak ada sampah, namun meminimalkannya. Siluet dan desain dari fbudi memang dikenal telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat menggunakan semua kain yang ada dan tidak membiarkannya terbuang sia-sia. Sejak 2019, fbudi juga telah menggeser model bisnisnya dari yang awalnya berorientasi produk menjadi berorientasi jasa.

Menurut Felicia, salah satu solusi fashion yang sustainable adalah dengan mengaplikasikan circular fashion; jadi tidak dengan membuat koleksi siap pakai baru, namun mengolah material yang sudah ada, dalam hal ini bereksperimen membuat kain ‘baru’ dengan memanfaatkan stok kain kami dan menyediakan jasa pembuatan baju yang custom sesuai dengan permintaan konsumen. “Saya percaya bahwa custom-made adalah the future of fashion,” ujar Felicia lagi.

elle indonesia - felicia budi collection

Hal ini juga diamini oleh Sheila Pansatya pengajar Fashion Business dari Lasalle College Jakarta yang percaya bahwa salah satu aspek esensial dari sustainable fashion bukan sebatas (misalnya) kain atau apa yang dipakai, namun bagaimana desainer memakai stok kain atau produk yang sudah ada dan mengubahnya menjadi ‘baru’ sehingga tidak perlu membeli atau memproduksi virgin material. Ini yang disebut dengan upcycle.

Pemberitaan yang luas di media membuat konsumen semakin sadar akan pengaruh mode terhadap lingkungan. Sejumlah 66% responden dari survei McKinsey New Age of the Consumer US di tahun 2019—dengan 75% di dalamnya adalah responden milenial—mengaku bahwa mereka mempertimbangkan faktor berkelanjutan atau sustainability ketika akan membeli produk-produk mewah. Para konsumen tersebut tentu tidak selalu mengaplikasikan apa yang mereka katakan. Lebih lanjut, survei yang sama juga melansir data jika hanya minoritas yang mau merogoh kocek lebih dalam untuk membeli produk yang berkelanjutan—hanya 31% dari Gen-Z dan hanya 12% yang merupakan generasi baby boomers.

Membuat konsumen benar-benar bisa mempraktekkan nilai yang mereka anggap penting juga bukan perkara sepele. “Konsumen masih belum benar- benar memahami apa itu sustainable fashion. Banyak yang merasa sudah berkontribusi dengan memakai produk recycle atau yang berbahan dasar katun organik, namun sebenarnya praktek sustainable fashion harus diaplikasikan di seluruh supply chain dan itu yang tidak banyak diketahui oleh konsumen di sini,” ujar Sheila lagi.

Mengapa meningkatkan pemahaman konsumen akan apa itu sustainable fashion menjadi perkara penting? Karena penyebab utama dari fashion yang tidak sustainable adalah konsumsi yang berlebihan yang membuat tingginya persediaan.

mode berkelanjutan - perilaku konsumen indonesia - consumption behavior - elle indonesia

Satu cara yang efektif untuk menekan persediaan adalah dengan mengubah permintaan. Masih ingat kan dengan teori ekonomi klasik akan supply dan demand? Jika ingin benar-benar membuat pelaku industri mode mengubah caranya berbisnis, coba dengan mengubah kebiasaan pola konsumsi.

Menurut buku The Sustainable Fashion Handbook yang ditulis oleh Sandy Black, mode berkelanjutan membutuhkan kerjasama dari seluruh internal perusahaan; seluruh supply chain yang meliputi semua langkah dari produksi hingga distribusi, hingga keikutsertaan konsumen. Sekali lagi ditekankan bahwa konsumen harus berpartisipasi aktif terutama dalam mendobrak siklus mode yang sudah sangat terkonstruksi.

Tak hanya dari sisi konsumen, untuk membuat mode berkelanjutan ini terjadi dengan konsisten di Indonesia, harus didukung oleh semua pemain dalam ekosistem mode termasuk di antaranya akademisi dan pemerintah. Ya, ketika sumbangan polusi oleh industri mode sudah terlalu banyak, tentu dibutuhkan langkah nyata lebih jauh lagi dari sekadar memberikan transparansi akan proses kerja di industri ini.

Pertama, bukukan target konkrit dan turunkan dalam roadmap yang dilansir ke publik sehingga konsumen dan investor dapat ikut mengawasi. Tentu membuat roadmap bukan perkara yang mudah dikerjakan. Di sinilah pemerintah ikut andil. Para pelaku industri berdampingan dengan para pemangku kekuasaan dalam hal ini di antaranya Kementrian Perdagangan, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah serta Bekraf yang bertugas menjaga supply chain lewat regulasi yang mengikat, namun tidak membunuh para pelaku industri kecil dan menengah. Sinergi antara konsumen, pelaku industri serta pemerintah akan benar-benar membawa langkah nyata yang berkelanjutan.

Bicara seputar regulasi, setidaknya di tataran global, pada Agustus 2019 saat pertemuan G7 di Biarritz, Prancis; 150 brand dan rumah mode di antaranya para pilar mode seperti Chanel, Ralph Lauren, dan Prada, hingga label fast-fashion H&M Group dan Zara, mengumumkan penandatanganan Pakta Mode.

opinion elle indonesia - januari 2020 - indra herlambang - styling Ismelya Muntu
photography IFAN HARTANTO styling ISMELYA MUNTU | Aksesori tumbler dan busana: CHANEL.

Apa isi kesepakatan itu? CEO Kering Group, François- Henri Pinault, inisiator Pakta Mode atas perintah Presiden Prancis, Emmanuel Macron, lebih lanjut mengungkapkan jika pakta tersebut mengatur target yang terukur di tiga area: pemanasan global (objektifnya menekan emisi gas rumah kaca hingga nol di 2050 untuk memastikan peningkatan suhu global akan berada di bawah 1.5 derajat Celsius sampai 2100), memulihkan biodiversitas (dengan fokus mengembalikan ekosistem alami dan menjaga spesies langka), serta menjaga lautan dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.

Masih ada keraguan apakah pakta tersebut, dengan objektif yang samar dan terkesan mengawang-awang, benar-benar akan membawa dampak positif di dunia mode. Sekali lagi, sebenarnya “Fashion dan lingkungan itu adalah satu paradoks. Sebuah kontradiksi,” ujar Sheila lagi. Tren silih berganti yang menjadi ‘nyawa’ mode serta konsumerisme global adalah dua hal yang mengutuk lingkungan.

mode sustainable di Indonesia - elle indonesia - Vivienne westwood

Tak perlu menunggu pemerintah, mulailah dari diri sendiri, sebagai konsumen yang mengambil langkah serius dengan mempraktikkan apa
yang disebut dengan mindful consumption alias konsumsi yang berkesadaran. Karena bicara tentang mode yang ‘hijau,’ juga bicara tentang sampah. Semakin cepat konsumen membuang barang yang mereka beli, berarti semakin polutif industri mode. “Buy less, choose well,” begitu sabda desainer Inggris Vivienne Westwood.

Ketika kita sebagai konsumen mulai benar-benar sadar dan mengaplikasikan mode yang berkelanjutan, maka hanya tinggal menunggu waktu untuk seluruh pelaku industri mengikuti pakta mode tersebut.