LIFE

19 Maret 2024

Melly Goeslaw Mengharmonisasikan Idealisme dengan Telinga Pendengar Sebagai Prinsip Bermusik


Melly Goeslaw Mengharmonisasikan Idealisme dengan Telinga Pendengar Sebagai Prinsip Bermusik

Melly Goeslaw photograph by Andre Wiredja for ELLE Indonesia March 2024; styling Alia Husin; fashion Dior, Rinaldi Yunardi; makeup Dhirman Putra

Tidak bisa tidak melibatkan Melly Goeslaw jika berdiskusi tentang perempuan di industri musik Indonesia. Ratusan lebih single dalam berbagai genre, album musik, dan soundtrack film (di antaranya Ada Apa Dengan Cinta?, Eiffel I’m in Love, Heart, Habibie & Ainun, dan Ayat-Ayat Cinta) lahir dari gagasan kreatif perempuan kelahiran Bandung tahun 1974 tersebut. Ia adalah salah satu penulis lagu paling berpengaruh di akhir abad ke-20, dan masih sangat bereputasi sampai hari ini.

Usia saya baru sekitar enam tahun kali pertama mendengar lagu Terbujuk yang dirilis Potret (band rintisan Melly bersama suaminya, Anto Hoed, dan Arie Ayunir) di tahun 1995. Pada masa itu, saya tentu saja tidak memahami liriknya; namun musik Potret yang selalu diputar oleh kakak-kakak saya tersebut terngiang sangat mengasyikkan di telinga. Lalu Salah dan Mak Comblang mengudara di radio-radio; video musiknya pun menjadi tayangan populer saluran televisi MTV. Saya—yang sudah cukup besar—mulai melihat mengapa Potret begitu digandrungi. Lagunya merupakan narasi bercerita yang lugas, sejumlah bahasa liriknya—pada masa itu—bahkan dipandang ‘vulgar’ (contoh: “Yang kumau hanya isi di balik kantongmu,” atau “Kentut siapa mengaku saja” atau keseluruhan narasi jenaka Mak Comblang yang berbicara menusuk teman dari belakang atas nama kasmaran); dikemas alunan indie pop begitu catchy. Dan di atas segalanya, presensi vokalis perempuan yang bernyanyi mengomandani band beranggotakan laki-laki merupakan formula eksentrik yang semakin menguatkan posisi Potret selaku kesegaran sensasional di arus utama jagat musik Indonesia. “Di Indonesia pada masa itu, barangkali sampai sekarang, jarang ada band yang memasang perempuan sebagai vokalis. Pun kalau ada enggak banyak jumlahnya,” kenang Melly berkisah.

photography by Ryan Tandya; styling Alia Husin; fashion Recto at Masari Shop (blazer), Rinaldi Yunardi (topi); makeup Dhirman Putra.

Beberapa tahun setelahnya—usai meluncurkan tiga album cult bersama Potret, serta memenangkan piala Anugerah Musik Indonesia untuk karya Lagu Alternatif Terbaik—Melly Goeslaw mengguncangkan panggung hiburan dengan tampil solo. Album debutnya, Melly, rilis di tahun 1999, dan segera menjadi rekaman populer lewat lagu-lagu hit seperti Menghitung Hari, Kupu-Kupu, serta Jika yang menuai pujian kritis sebagai Lagu Pop Progressive Terbaik tahun 2000 dari Anugerah Musik Indonesia. Albumnya pun masuk daftar 150 Album Indonesia Terbaik kurasi majalah Rolling Stone Indonesia tahun 2007. “Menariknya, saya menyadari kalau karakter asli Melly paling lepas—lebih bebas secara artistik—dalam bermusik adalah saat bersama Potret. Tampil solo malah saya cenderung mengerem,” akunya. Ada kegelisahan yang tebersit ketika Anda mencoba keluar dari zona nyaman. Terlebih berdiri seorang diri di luar nama sebesar Potret; berbagai hal tak luput dari perhitungan Melly dalam meramu musik autentiknya. Salah satunya, “Lebih mempertimbangkan selera pasar, oleh karena ada harapan dari kebutuhan bisnis pihak label,” tuturnya lugas.

Idealisme adalah perihal krusial bagi seorang seniman. Ketika kreativitas terbentur tuntutan, apakah hal tersebut mematikan daya berkesenian? “Tidak. Harapan label datang sejalan dengan kebutuhan, saya bisa memakluminya. Pun saya tidak bilang hal itu menyenangkan; tentu kadang-kadang juga terasa menyebalkan. Tapi mengesampingkan emosi, justru harapan dan batasan tersebut saya rasakan selayaknya tantangan agar saya mampu berkembang menjadi musisi yang serbabisa,” kata Melly.


Melly mengawali kiprah bermusiknya dari menjadi penyanyi latar musisi-musisi besar. Ia pernah naik-turun panggung bersama God Bless, Armand Maulana, dan Katon Bagaskara— yang mengantarkan langkahnya kepada Anto Hoed. Kendati demikian, putri tunggal Ersy Sukaesih bersama musisi Melky Goeslaw itu mengaku tidak suka gempita panggung hiburan. “Saya tidak pernah berambisi untuk menjadi seorang penyanyi. Sebagai pribadi yang introver, saya tidak suka tampil di hadapan orang banyak. Sedari kecil bergabung dengan sanggar musik, mengikuti festival perlombaan, bahkan sampai sekarang pun saya masih merasa tidak nyaman setiap kali tampil menyanyi. Satu-satunya yang saya senangi dari bermusik adalah bagian membuat lagunya. Tapi kan dua kegiatan itu, mencipta dan menampilkannya, saling bersinergi,” kisahnya menceritakan awalan berkiprah. Mencipta lagu menjadi candu yang mendamaikan hati bagi Melly, di mana ia bisa membebaskan diri dari segala emosi melalui tulisan. Keterbatasan tidak bisa bermain alat musik pun tak menghentikan hasratnya mencipta. “Setiap manusia memiliki kepekaan harmoni dalam dirinya. Kita bergumam saja ada melodinya. Begitulah cara saya memproses musik. Tentu saya butuh bantuan untuk menerjemahkannya ke dalam rangkaian not balok, tapi bukan berarti saya tidak bisa bermain melodi,” ujarnya. Sejumlah rekan musisi pun mengagumi keterbatasan Melly sebagai keunikan yang membuat musiknya autentik. “Mereka bilang, ketaktahuan saya merangkai nada justru membuat komposisi melodi saya menjadi tidak terduga,” ceritanya. Alhasil, tak sedikit pula penyanyi-penyanyi papan atas, mulai dari Agnez Mo, Krisdayanti, Rossa, hingga BCL, yang kerap menggandeng Melly untuk bekerja sama. Tangan dingin Melly juga sempat membidani proyek musik yang menyatukan lima aktor Indonesia dalam sebuah grup vokal bernama BBB (Bukan Bintang Biasa) di tahun 2006.

Selama tiga dekade berkiprah, kontribusi Melly Goeslaw dalam memajukan industri musik Indonesia tak pernah surut. Ketakterdugaan teranyar hadir berupa single kolaboratif bersama Nike Ardilla. Berjudul Bertemu Kembali, lagunya mengombinasi karya baru Melly dengan vokal Nike dari master lagu Duka Pasti Berlalu rilisan tahun 1993. Peluncuran single tersebut disertai video musik yang mengadaptasi teknologi kecerdasan buatan deepfake, demi menampilkan kembali sosok penyanyi legendaris era ‘90-an itu sebagai rekan duetnya. “Sebagai musisi kita perlu berjalan beriringan dengan zaman. Teknologi bukan untuk dihindari, tapi dimanfaatkan untuk meningkatkan daya cipta kita. Saya berharap karya ini dapat memberikan warna dalam kemajuan industri musik di Indonesia,” ujarnya. Jika tak sedang berkarya atas nama sendiri, ia sigap mendampingi musisi-musisi lain, hingga menjaga stabilitas iklim dunia musik Tanah Air dari balik layar layar lewat perannya sebagai salah satu Wakil Ketua Umum pengurus Fesmi (Federasi Serikat Musik Indonesia) periode 2023/2026. “Dengan segala kemudahan di zaman serba teknologi, kita juga perlu hati-hati agar jangan sampai menomorduakan kualitas. Kualitas dan orisinalitas tetap esensi utama yang membuat rasa dalam karya musisi,” pesannya mengakhiri diskusi.