7 November 2025
Arsitek Antonius Richard Menjadikan Desain Sebagai Cara Memahami Kehidupan
PHOTOGRAPHY BY LIANDRO SIRINGORINGO
Photography LIANDRO SIRINGORINGO
Pagi selalu datang lebih dulu di rumah Antonius Richard. Sinar matahari menembus jendela besar yang menghadap timur, menelusup lembut ke ruang tidur tanpa perlu bantuan alarm. “Kulit manusia itu punya mata,” katanya sambil tersenyum. “Saat matahari terbit, tubuh tahu bahwa hari sudah dimulai.” Tidak ada suara bising, tidak ada kilau mewah, hanya ritme alam yang mengatur keseharian sang arsitek.
Rumah tiga lantai yang kini ia tinggali bersama istri dan kedua anaknya ini dulunya hanyalah gudang tua di dalam kompleks perumahan Jakarta. “Harganya murah karena memang bukan rumah,” ujarnya. “Tapi justru itu menarik karena saya bisa mengubahnya tanpa menambah beban baru.” Ia berbicara bukan sekadar tentang biaya, melainkan tentang beban ekologis: carbon footprint yang dihindari dengan memilih merestorasi alih-alih membangun dari nol. “Bangunan paling sustainable adalah bangunan yang tidak perlu dibangun,” katanya tegas. Kalimat itu menjadi prinsip utama yang menuntun proses renovasi selama dua setengah tahun, dari 2023 hingga selesai pada awal 2025.

Di tangan Antonius, gudang kusam itu bertransformasi menjadi ruang hidup yang fungsional dan jujur pada materialnya. Permukaan dinding yang rusak ia biarkan telanjang, menjadi tekstur kejujuran. Tidak ada lapisan cat untuk menutupi usia, tidak ada keinginan memoles demi kesempurnaan visual. “Kami tinggal menambahkan lemari, menggantung AC dengan struktur kawat baja, dan memperkuat fondasi bawah tanpa menambah beban di lantai atas,” ujarnya.

Hampir semua elemen dalam rumah ini berbicara tentang logika dan kesadaran: jendela lantai rendah berfungsi sebagai ventilasi alami agar udara dingin masuk dari bawah, sementara bay window yang menjorok keluar membawa cahaya tanpa panas. Lapisan dinding diisi rockwool dan aluminium foil untuk menghalau hawa terik tropis, dan di sela taman kecilnya, udara mengalir menyegarkan kamar mandi serta ruang baca. “Kami sengaja tidak pakai lampu sorot dari atas, hanya indirect lighting,” katanya. “Cahaya di sini lebih lembut, tidak menekan.” Di rumah ini, kesederhanaan bukan kompromi estetika, tapi keputusan sadar. Ia menata ruang tanpa pintu, tanpa sekat berlebihan, menyerahkan sirkulasi udara dan cahaya sebagai batas alami antar-fungsi. “Baju kami juga sedikit, warnanya dasar: hitam dan putih saja,” katanya. “Supaya hidup lebih cepat, lebih ringan.”

Dalam pandangan Antonius Richard, arsitektur bukanlah perkara benar atau salah, melainkan baik dan buruk. “Estetika itu subjektif, tapi ada satu hal yang objektif: sesuatu yang bagus karena benar,” ujarnya. “Kalau menambah dinding di bangunan lama berarti menambah beban struktur, maka itu tidak benar, dan kalau tidak benar, bagaimana bisa disebut bagus?”. ‘Bagus karena benar’ menjadi prinsip moral sekaligus estetika bagi sang arsitek. Ia menolak gagasan desain yang lahir dari ego, dari keinginan membangun demi prestise atau gaya hidup. Sebab baginya, kemewahan dalam arsitektur di negara berkembang seperti Indonesia adalah ilusi yang hanya bisa dinikmati segelintir orang.

“Di sini, arsitektur masih dianggap luxury, sesuatu yang hanya bisa diakses orang kaya,” katanya. “Padahal arsitektur bisa jadi inspirasi perubahan, bukan hanya untuk klien, tapi untuk masyarakat luas.” Itulah mengapa, dalam setiap proyek RAD+ar (Research Artistic Design + architecture), ia mengutamakan desentralisasi keberlanjutan. Ia percaya arsitektur berkelanjutan bukan milik metropolitan, melainkan harus menjalar hingga ke daerah-daerah kecil, ke kota yang belum tersentuh narasi green design. “Kalau satu proyek di Makassar atau Banyuwangi bisa jadi contoh, itu sudah cukup,” ujarnya. “Kita hanya perlu satu titik api untuk menyalakan kesadaran kolektif.”

Lulusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan ini sempat bekerja di WOHA, biro arsitektur besar di Singapura yang dikenal dengan proyek eco-architecture-nya. Namun pengalaman itu justru membuka matanya pada ketimpangan fundamental: arsitektur hijau di kota maju seringkali bergantung pada investasi besar dan berlangsung selama bertahun-tahun. “Saya berpikir, ironi sekali, kenapa saya harus jadi minoritas di negara berkembang, padahal akar saya ada di sini?” ujarnya.

Ia pun pulang, dengan tekad membawa filosofi keberlanjutan yang tidak elitis. Ia mendirikan RAD+ar pada 2017, sebuah biro yang menggabungkan riset dan artistik dalam arsitektur. Melalui proyek-proyek seperti Tanatap Coffee Garden, Sanctuary Tunnel Garden, dan Chicken Hero Pavilion, Antonius dan timnya berusaha menanamkan pemahaman sederhana: keberlanjutan tidak harus mewah. “Kita tunjukkan saja bahwa yang sederhana pun bisa nyaman dan sustainable,” ujarnya. “Tidak perlu kaca mahal, tidak perlu teknologi tinggi, cukup kesadaran.” Konsep Tanatap Coffee Garden misalnya, muncul dari keprihatinan bahwa kota besar di Indonesia kekurangan taman publik yang layak. “Bahkan RPTRA pun sering rusak, sehingga tidak bisa digunakan,” katanya getir. Maka ia menciptakan “taman publik kecil” dalam wujud kafe. Dengan ruang semi-terbuka dan vegetasi rimbun, Tanatap menghadirkan kenyamanan tropis yang alami dan inklusif. “Sejak dibuka, seluruh cabangnya sudah dikunjungi dua juta orang,” ujarnya. “Mungkin kecil, tapi itu satu persen dari populasi Indonesia. Artinya, satu persen sudah pernah merasakan arsitektur yang sustainable tanpa sadar.”

Hunian pribadinya, yang dahulu gudang, kini menjadi laboratorium hidup dari prinsip-prinsip yang ia bicarakan. Di sini, keberlanjutan diterjemahkan bukan lewat jargon, tapi praktik: ventilasi silang yang mengalir lembut, pencahayaan alami yang efisien, serta sistem resapan yang diisi cacing untuk mengolah sampah organik. “Saya enggak bisa pelihara ayam karena aturan kompleks, padahal niatnya untuk mengolah sisa makanan,” ujarnya sambil tertawa. “Tapi prinsipnya sama: bagaimana setiap rumah bisa sedikit lebih peduli.”
Baginya, sustainability memiliki dua dimensi: proses pembangunan dan proses penggunaan. Yang pertama menyoal efisiensi energi saat konstruksi; yang kedua berkaitan dengan bagaimana rumah berfungsi sehari-hari tanpa boros energi. “Kalau rumah tetap nyaman tanpa AC dan tanpa lampu menyala, itu sudah sustainable,” ujarnya. “Artinya kita memberi dampak sekecil mungkin pada alam.” Ia juga menyinggung hal yang jarang disadari: kualitas udara dalam ruangan. Banyak rumah, katanya, tidak “bernapas”. “Jendelanya kecil, bukaan tanpa tujuan, sirkulasi udara tidak ada,” ujarnya. “Akhirnya jamur tumbuh di pojok, di dinding, di kamar mandi dan itu kita hirup setiap hari.” Rumah yang sehat, menurutnya, bukan rumah yang dingin oleh pendingin udara, tapi rumah yang memiliki udara baru yang terus berganti. “Makanya kalau bikin rumah, bukaan kecil pun penting. Dua sentimeter saja bisa menyelamatkan udara segar,” katanya.

Bagi Antonius, keberlanjutan bukan konsep baru. Ia menyebut arsitektur Islam dan arsitektur vernakular Nusantara sebagai contoh awal gagasan ramah lingkungan. “Dalam Islam, dua prinsip utama adalah kesederhanaan dan tidak mubazir,” ujarnya. “Dan itu sangat sustainable.” Ia menganggap banyak arsitektur masa kini kehilangan nilai itu karena terlalu mengejar estetika visual tanpa memahami kebenaran fungsional di baliknya. Di rumahnya, segala hal kembali pada fungsi, pada kebutuhan riil manusia untuk bernapas, berpikir, dan hidup selaras dengan ritme alam. Tidak ada “showcase” kemewahan, tidak ada estetika yang dipaksakan. “Estetika bisa macam-macam, tapi bagi saya, yang paling indah adalah yang benar,” katanya pelan. “Dan kebenaran itu sederhana: tidak mubazir, tidak berlebihan, dan tidak menambah beban pada dunia.”
Di akhir kunjungan, ia menatap dinding berlumut di halaman sampingnya. “Orang lain mungkin akan menutupnya, tapi saya biarkan,” ujarnya. “Itu bagian dari waktu.” Bagi Antonius Richard, arsitektur bukan tentang menantang alam, melainkan berdialog dengannya. Ia tidak membangun untuk melawan entropi, tetapi untuk hidup berdampingan dengan perubahan yang tak terelakkan. Rumahnya bukan sekadar tempat tinggal, melainkan pernyataan tentang bagaimana manusia bisa hidup baik tanpa merusak. Sebuah bentuk arsitektur yang bukan soal benar atau salah, tapi tentang baik dan buruk; tentang bagus karena benar. Dan dalam kesunyian pagi yang berembus dari jendela timur itu, filosofi tersebut terasa nyata: sederhana, tulus, dan sepenuhnya manusiawi.