21 November 2022
Garin Nugroho dan Reza Rahadian Berdiskusi Tentang Kemajuan Ekosistem Perfilman Indonesia
PHOTOGRAPHY BY Chris Bunjamin
styling Ismelya Muntu; grooming Aktris Handradjasa; location Flix Cinema Ashta District 8
Sebagai bagian dari ekosistem film, penyelenggaraan sebuah festival film adalah signifikan untuk membaca peta dinamika perfilman, mendapatkan pengetahuan sinema, menjalin jejaring, serta menjadi wadah pertemuan para pembuat film dengan para penontonnya. Festival Film Indonesia merupakan ajang penghargaan tertinggi bagi dunia perfilman Tanah Air. Kali pertama diselenggarakan tahun 1955 kemudian berlanjut pada 1960 dan 1976, sampai akhirnya diselenggarakan secara rutin dan teratur mulai tahun 1973. Sebagai festival terbesar dan tertinggi di dunia perfilman, penyelenggaraan Festival Film Indonesia bertujuan memajukan kualitas film Indonesia sekaligus mengembangkan ekosistem perfilman agar bertumbuh dan berjaya.
Garin Nugroho disebut sebagai pelopor kebangkitan sinema Indonesia di tengah krisis dekade 1990-an. Ia sutradara pertama di era itu yang mampu menembus Cannes, Berlin, Venice, hingga berbagai festival film internasional. Sutradara ini menempuh pendidikan Sinematografi di Fakultas Film dan Televisi di Institut Kesenian Jakarta. Garin memulai karier sebagai kritikus film dan pembuat film dokumenter. Ia telah menyelesaikan sedikitnya dua puluh film panjang, film pendek, belasan dokumenter dan tayangan komersial, video musik, pertunjukan seni tari, serta teater musikal. Sedangkan Reza Rahadian dikenal sebagai aktor yang telah malang melintang di dunia seni peran sejak 18 tahun silam. Kiprah keaktorannya dapat ditelusuri di berbagai medium yakni layar lebar, panggung teater, serial web, hingga video musik. Dalam perhelatan Festival Film Indonesia 2022, Reza Rahadian menjabat sebagai Ketua Komite dan Garin Nugroho menjawat posisi Ketua Bidang Penjurian. Bersama anggota Komite FFI 2022-2023 lainnya, kedua pimpinan ini bertugas memastikan keberhasilan penyelenggaraan Festival Film Indonesia 2022 melalui serangkaian program yang melibatkan elemen ekosistem perfilman Indonesia agar Festival Film Indonesia senantiasa dekat di hati masyarakat pencinta film Tanah Air.
Empat dekade menekuni perfilman, bagaimana Anda melihat perkembangan film lokal dari dalam pusaran industrinya?
Garin Nugroho: “Suatu produktivitas sangat tinggi tengah terjadi di industri perfilman Indonesia. Terlebih usai dua tahun pandemi, ada lebih dari 70 judul film baru menandakan industri ini sedang bertumbuh sangat pesat. Jadi memang pasca 1998, lima tahun pertama kita berupaya menata ulang kemudian setelah tahun 2000 terjadi percepatan pertumbuhan film Indonesia, baik dari segi ekonomi yang dilihat dari meningkatnya jumlah film dan penonton, maupun aspek artistik yang ditelisik dari keberhasilan film-film lokal memasuki kompetisi bergengsi festival film luar negeri. Yang juga menarik dari perkembangan ini adalah sutradara-sutradara perempuan menjadi sutradara unggulan. Kita bisa lihat itu dari apa yang dikerjakan Mouly Surya dan Kamila Andini.”
Bagaimana Anda melihat film Indonesia saat ini?
Reza Rahadian: “Melihat jumlah film yang mendaftar di FFI tahun ini menunjukkan bahwa potensi film Indonesia sangat kuat. Senang sekali melihat karya-karya yang kami terima memiliki keberagaman tema, gagasan, dan latar belakang budaya. Kita bisa menyaksikan keberagaman itu di film Mencuri Raden Saleh, Ngeri-Ngeri Sedap, Before Now & Then, Autobiography, dan Pengabdi Setan 2. Para pemain dari lintas generasi yang film-filmnya sedang tayang di bioskop, platform digital, hingga festival internasional juga memberikan warna tersendiri. Dengan beragamnya karya yang mendaftar ke FFI 2022, semoga bisa menjadi langkah awal yang baik untuk kemajuan dan kemajemukan perfilman Indonesia.”
Pengalaman menonton kini tidak terbatas pada ruangan bioskop tapi terjaring pula ke platform digital. Bagaimana Anda menyikapi pergerakan ini dalam upaya menyajikan sebuah karya sinema?
Reza Rahadian: “Kehadiran platform streaming ibarat angin segar dimana sebelumnya akses ke bioskop sempat terbatas akibat pandemi. Kemunculannya sangat positif bagi keberlangsungan ekosistem perfilman karena membuka ruang yang lebih luas bagi para sineas. Baik platform streaming maupun ruang bioskop, sudah seharusnya kita lebih gencar mengangkat film-film lokal. Bahkan di masa pandemi, film-film box office dengan jutaan penonton bukanlah film asing melainkan film Indonesia yakni KKN di Desa Penari, Miracle in Cell No.7, dan Ngeri-Ngeri Sedap. Ketahuilah bahwa konten-konten lokal punya tempat spesial di hati para penontonnya dan platform streaming yang besar di Indonesia justru yang menghadirkan banyak konten-konten lokal.”
Garin Nugroho: “Teknologi adalah sebuah keniscayaan. Bahkan televisi dan radio pun sudah beberapa kali berubah bentuk. Berbagai macam transformasi ini menuntut para pelakunya untuk menyadari bahwa kita akan hidup dalam ekosistem yang berkembang dengan cara apresiasi yang berbeda-beda. Tingkat konsentrasi orang dalam membaca berita di majalah dan di portal online berbeda, tidak sama pula cara orang menonton film di handphone dan di layar bioskop. Mengikuti perkembangan teknologi dan memahami karakteristik audiens adalah bagian dari bentuk adaptasi kita atas lahirnya ekosistem baru.”
Garin Nugroho mengenakan Sapto Djojokartiko (outer).
Apa peran Anda sebagai Ketua Bidang Penjurian Festival Film Indonesia 2022?
Garin Nugroho: “Melahirkan sebuat sistem penjurian yang kami anggap terbaik dari berbagai sistem yang ada di Indonesia maupun di dunia. Kami menggabungkan sistem penjurian dengan melibatkan partisipasi asosiasi dan partisipasi para peraih Piala Citra sebelumnya yang disebut Akademi Citra. Sistem ini akan menjadikan perfilman Indonesia bertumbuh sehat karena ada pergerakan dari berbagai kalangan, unsur-unsur ekosistem, budayawan, pendidik, dan sebagainya.”
Seperti apa proses penjuriannya?
Garin Nugroho: “Kami melanjutkan sistem hybrid yang sudah dilakukan sebelumnya dengan menggabungkan sistem juri nominasi dan sistem dewan juri akhir. Sistem penjurian FFI 2022 juga disempurnakan dengan pembentukan Akademi Citra FFI yang akan bertugas sebagai Juri Nominasi. Komite FFI 2022-2023 turut bekerja sama dengan Bioskop Online untuk membuat laman khusus Ruang Penayangan FFI yang akan digunakan dan diakses oleh para juri selama proses penjurian. Terdapat 30 film cerita panjang yang lolos tahap seleksi awal. Selanjutnya, film-film yang lolos seleksi awal akan melewati tahap film rekomendasi dari asosiasi profesi perfilman. Setiap asosiasi perfilman mengirimkan anggota-anggotanya yang telah ditunjuk untuk menonton dan merekomendasikan film-film. Mereka adalah Asosiasi Casting Indonesia, Asosiasi Dokumenteris Nusantara, Asosiasi Industri Animasi Indonesia, Asosiasi Pengkaji Film Indonesia, Asosiasi Perusahaan Film Indonesia, Asosiasi Produser Film Indonesia, Coordination for Film Festival in Indonesia, Indonesian Cinematographer Society, Indonesian Film Directors Club, Indonesian Film Editors, Indonesian Motion Picture and Audio Association, Indonesian Production Designer, Karyawan Film dan Televisi Indonesia, Penulis Indonesia untuk Layar Lebar, Perkumpulan Artis Film Indonesia, Persatuan Artis Film Indonesia, Persatuan Artis Film Indonesia 56, dan Rumah Aktor Indonesia. Maka lahirlah 20 film rekomendasi asosiasi untuk kemudian memasuki tahap nominasi untuk 17 kategori yang ditentukan oleh 109 anggota Akademi Citra FFI 2022. Tahun ini Komite FFI juga kembali melibatkan masyarakat pencinta film untuk ikut memeriahkan pelaksanaan FFI dengan berpartisipasi memilih langsung untuk kategori Film, Aktor, dan Aktris Pilihan Penonton.”
Reza Rahadian mengenakan Iwan Tirta Private Collection (kemeja dan outter)
Apa tugas Anda sebagai Ketua Komite Festival Film Indonesia 2022?
Reza Rahadian: “Memastikan terselenggaranya FFI dengan tiga agenda pokok yakni penjurian, malam nominasi, dan malam penganugerahan. Saya selalu berusaha memastikan terjadinya diskusi antarpara stakeholder. Dari tahun pertama, hal utama yang harus dilakukan adalah perbaikan komunikasi dengan para asosiasi. Proses penjurian juga mengalami pembaruan. Dan di tahun kedua ini, kami mulai membentuk Akademi Citra yang beranggotakan orang-orang yang pernah meraih Piala Citra dari berbagai latar profesi. Mereka bertugas memberikan hak suara dalam menentukan nominasi.”
Apa landasan di balik pemilihan tema FFI tahun ini, ‘Perempuan: Citra, Karya & Karsa’?
Reza Rahadian: “Tema ini diambil sebagai bentuk apresiasi terhadap para perempuan yang berada di industri perfilman dengan performa yang luar biasa terhadap karya-karyanya. Sejak awal sejarah film Indonesia, perempuan sudah hadir mengisi peran. Tahun 1937, Roekiyah menjadi bintang film perempuan pertama di Indonesia. Fifi Young dan Dahlia adalah para perempuan yang berhasil meraih Piala Citra di FFI tahun pertama yang digelar pada 1955. Mira Lesmana yang berjasa atas upaya membangkitkan kembali perfilman Indonesia usai lama mati suri lewat film Petualangan Sherina. Shanty Harmayn mendirikan Jakarta International Film Festival (JiFFest). Kita juga punya sederet nama perempuan yang menempati posisi sutradara, sinematografer, editor, penulis, astrada, penyunting gambar, termasuk di lapisan-lapisan teknis yang cenderung biasanya didominasi laki-laki. Maka sudah tidak relevan apabila masih ada pertanyaan, ‘Mana peran perempuan di perfilman?’ karena nyatanya peran perempuan selalu signifikan dalam sejarah perjalanan film Indonesia. Dan sesungguhnya kita semua sedang merayakan partisipasi peran perempuan dalam perfilman Indonesia.”
Garin Nugroho mengenakan Sapto Djojokartiko (outer); Reza Rahadian mengenakan Iwan Tirta Private Collection (kemeja dan outter)
Bagaimana Anda melihat peran sebuah festival film?
Garin Nugroho: “Festival film menjadi tolok ukur pencapaian prestasi para pelaku sinema, namun tak sekadar proses kompetisi. Festival film juga bagian dari ekosistem film yang menjadi suatu peta untuk membaca dinamika perkembangan film Indonesia.”
Reza Rahadian: “Dengan adanya festival film, kita memiliki tempat untuk mengapresiasi para pekerja di industri film. Perayaan festival film turut mempertemukan insan perfilman dengan masyarakat para penonton film. Kita bisa mengenal lebih jauh siapa orang-orang di balik pembuatan sebuah karya sinema. Buat saya, festival film menjadi sangat penting sebab menyangkut kontribusi dan prestasi yang patut kita hargai. Dengan segala hiruk-pikuknya, Piala Citra tetap menjadi simbol supremasi tertinggi perfilman Indonesia. Dan sebagai generasi penerus, saya merasa bertanggung jawab untuk terus melakukan evaluasi dalam komite FFI. Kami bersama-sama mengambil keputusan, mengajukan masukan, dan memberi kritik agar selalu ada perbaikan dari apa yang kami kerjakan.”
FFI merupakan barometer perkembangan industri film. Di bawah kepemimpinan Anda, apa hal penting yang Anda tekankan?
Reza Rahadian: “Menjaga netralitas dan menghindari konflik kepentingan. Tidak ada yang elitis dalam industri film, semua orang sama-sama ingin melakukan yang terbaik untuk perfilman Indonesia. Selain juga perlu menghargai keputusan-keputusan yang tidak mencederai hukum dan pentingnya menerapkan mekanisme yang terbuka, jujur, dan adil. Tahun depan adalah tahun terakhir saya menjadi Ketua Komite FFI, tentu saya berharap akan banyak hal-hal baik terjadi di perfilman Indonesia. Semoga kita bisa terus membuat karya-karya sinema terbaik, menciptakan keberagaman dari segi tema dan genre, melanggengkan regenerasi, dan mudah-mudahan jaringan bioskop semakin meluas ke daerah-daerah pelosok di Indonesia karena seharusnya setiap orang punya akses yang sama untuk menonton film di bioskop.”