CULTURE

21 November 2022

Indonesian Cinema…Rolling…Action!


Indonesian Cinema…Rolling…Action!
film "Ngeri-Ngeri Sedap" doc. Netflix Indonesia

film "Ngeri-Ngeri Sedap" doc. Netflix Indonesia

Film "Mencuri Raden Saleh" doc. Jozz Felix

Film "Mencuri Raden Saleh" doc. Jozz Felix

Film "Miracle in Cell No.7"

Film "Miracle in Cell No.7"

Lebih dari sekadar platform yang bertutur dan menghibur, karya sinema turut menjadi penanda zaman yang berkontribusi terhadap identitas dan pertumbuhan bangsa. Inilah sekelumit perjalanan film Indonesia.

Ada kabar menyenangkan terkait rekor baru yang tertoreh pada sejarah perfilman Tanah Air, yaitu keberhasilan film lokal untuk mengungguli film asing dalam hal market share di bioskop. Untuk pertama kalinya film Indonesia memiliki jumlah penonton yang lebih banyak dibandingkan film luar negeri. Perbandingannya pun bisa dibilang signifikan; 61% untuk film lokal vs 39% untuk film asing.

Menurut data filmindonesia.or.id per September 2022, ada 10 film nasional yang sukses meraup jutaan penonton. Berikut daftarnya:

1. KKN di Desa Penari – 9.233.847
2. Pengabdi Setan 2: Communion – 6.391.982
3. Miracle In Cell No 7 – 3.543.856
4. Ngeri-Ngeri Sedap – 2.886.121
5. Ivanna – 2.793.775
6. Sayap-Sayap Patah – 2.414.405
7. Mencuri Raden Saleh – 2.248.931
8. Kukira Kau Rumah – 2.220.180
9. The Doll 3 – 1.764.077
10. Kuntilanak 3 – 1.313.304

Pencapaian yang digenggam KKN di Desa Penari berupa jumlah penonton lebih dari 9 juta orang, menjadikan film ini sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa. Perolehan ini melampaui rekor yang sebelumnya dipegang oleh Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 (2016) selama 6 tahun, yaitu 6.858.616 penonton. Tidak hanya itu, KKN di Desa Penari juga tercatat sebagai film kedua terlaris di Indonesia, setelah Avengers: Endgame (2019) yang ditonton 11.245.000 penonton.

Sementara film lainnya, Ngeri-Ngeri Sedap, telah diumumkan terpilih menjadi perwakilan Indonesia di ajang Academy Awards ke-95 dalam kategori Best International Feature Film. Ngeri-Ngeri Sedap juga menjadi film Indonesia kedua bergenre komedi yang mewakili Tanah Air dalam ajang Piala Oscar setelah Nagabonar (1986), sekaligus mengikuti jejak film-film perwakilan Indonesia ke Oscar sebelumnya, yaitu Yuni (2021), Perempuan Tanah Jahanam (2019), Kucumbu Tubuh Indahku (2018), Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), dan Turah (2016).

Setelah pandemi Covid-19 melanda dunia sejak awal 2020, kehidupan manusia pun berubah drastis, termasuk cara kita menikmati film. Bioskop ditutup dan penonton harus menyesuaikan diri untuk menyaksikan film hanya melalui layanan streaming atau TV kabel. Tahun 2022 merupakan tahun yang menjadi titik balik dari keterpurukan. Para penonton akhirnya kembali memenuhi kursi-kursi bioskop. Mereka kembali tertawa, menitikkan air mata, menjerit ketakutan, bersenang-senang di dalam bioskop.

Hal positif tersebut tentunya langsung direspons dengan baik oleh rumah produksi dan para sineas lokal. Permintaan (demand) kembali merangkak naik, bahkan mungkin bisa melebihi masa sebelum pandemi yang harus disikapi dengan penawaran (supply) yang memadai. Penonton terpuaskan dengan ragam film dari berbagai genre, sementara rumah produksi dan bioskop pun kembali mendulang keuntungan.

Bicara film, memang tidak bisa hanya dari aspek ekonomi saja. Tidak sekadar jumlah penonton. Film lebih dari itu. Dalam ruang lingkup nasional, film menjadi medium penangkap dan pengekspresian apa yang tengah terjadi dalam suatu masa. Tidak hanya menggulirkan cerita yang memanjakan mata, telinga, pikiran, dan perasaan, tetapi juga memperkaya peradaban dan memperkuat identitas bangsa.

 The Long and Winding Road

Sejarah panjang perfilman Indonesia berawal dari berdirinya bioskop pertama, Gambar Idoep, pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia (nama Jakarta ketika itu). Bioskop ini menayangkan berbagai film bisu.

Film pertama yang dibuat di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng (1926), sebuah film bisu yang digarap dua sutradara Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp. Loetoeng Kasaroeng diproduksi oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan dibintangi oleh aktor lokal. Film ini ditayangkan pertama kalinya pada 31 Desember 1926 di teater Elite and Majestic di Bandung.


Kiprah sineas lokal mulai menggeliat pada 1931. Ada film Boenga Roos dari Tcikembang (1931) yang dibuat oleh The Teng Chun dan Indonesia Malaise (1931) yang diproduksi oleh Halimoen Film. Pada 1934, Terang Boelan yang digarap oleh Albert Balink, Wong bersaudara, dan Saeroen, sukses menjadi film pertama dengan cerita lokal yang mendapat sambutan positif.

Memasuki era tahun 1940-an, seiring dengan masa penjajahan Jepang di Indonesia, film yang dibuat tidak lain dijadikan sebagai alat propaganda politik Jepang. Film yang ditayangkan di bioskop dikhususkan untuk film-film propaganda Jepang, sehingga hal ini menyurutkan produksi film nasional.

Tanggal 30 Maret 1950 menjadi tonggak sejarah tersendiri bagi perfilman Indonesia. Tanggal tersebut adalah hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Menjadi film lokal pertama yang bercirikan Indonesia, disutradarai oleh orang Indonesia asli, dan diproduksi oleh perusahaan film milik orang Indonesia asli bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Akhirnya, 30 Maret pun diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Film Nasional.

Beranjak ke dekade 1960-an, perfilman Indonesia diwarnai gejolak politik, seperti aksi pengganyangan film-film yang dianggap mewakili imperialisme Amerika Serikat dan juga peristiwa G30SPKI. Belum lagi inflasi yang sangat tinggi. Hal ini membuat jumlah bioskop menurun secara drastis dan melumpuhkan industri film.

Sinema Tanah Air sempat mengalami mati suri dalam kurun waktu 1991 hingga 1998. Saat itu, hanya ada 2-3 film yang diproduksi setiap tahunnya, yang didominasi oleh tema seks. Redupnya industri film lokal juga dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan televisi swasta dan maraknya medium baru untuk menonton film, yakni LD, VCD, dan DVD.

Perfilman nasional mengalami kebangkitan mulai tahun 1999. Hal ini terlihat dari pertumbuhan jumlah produksi film hingga awal 2000-an. Penonton disuguhkan karya-karya sinema yang berkualitas, yaitu Petualangan Sherina (2000), Jelangkung (2001), dan Ada Apa dengan Cinta? (2002). Selain itu, pada 2005, hadir jaringan bioskop baru, Blitzmegaplex (kini CGV), yang sekaligus mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh Group 21.

Dari 2010 hingga kini, kancah sinema nasional terus bertumbuh dari segi kuantitas dan kualitas. Mulai dari tema, penceritaan, penyutradaraan, hingga aspek marketing, perfilman Tanah Air terus bergerak dan menciptakan terobosan. Apresiasi masyarakat terhadap karya-karya film lokal pun semakin meningkat.

Contribution to the Nation

Sebagai salah satu bentuk industri, sinema tidak hanya berkutat di area kreativitas, tetapi juga bagaimana industri ini mampu menghidupi para pelakunya dan memberikan kontribusi bagi roda perekonomian negara. Inilah yang kemudian disebut sebagai ekonomi kreatif.

Tahun 2019 dianggap sebagai masa kejayaan industri film. Saat itu, tercatat ada sekitar 51 juta penonton film Indonesia yang menyaksikan lebih dari 130 film nasional, berdasarkan pernyataan dari Deputi Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Muhammad Neil El Himam. Menurut beliau, film menjadi salah satu pilihan untuk percepatan pemulihan ekonomi. Selain karena produk subsektor ekonomi kreatif ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, multiplier effect-nya juga relatif besar serta berkontribusi terhadap perekonomian.

Sementara menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, pada 2019, kontribusi industri film terhadap PDB nasional sebesar Rp15 triliun. Di akhir 2021, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah mengucurkan dana stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) subsektor film sebesar Rp136,5 miliar. Tujuannya memperbaiki ekosistem perfilman nasional dan membuka lapangan kerja kreatif bagi para sineas muda.

Meski sempat dihantam pandemi, perfilman Indonesia menunjukkan bahwa ia hanyalah beristirahat sejenak agar bisa melaju lebih kencang. Menjadi tuan rumah di negeri sendiri sudah selayaknya tidak hanya bergaung sebagai jargon belaka.



text HERMAWAN KURNIANTO

photography DOC. Netflix Indonesia, doc. Jozz Felix