CULTURE

18 November 2025

Desainer Produk Menyoroti Dampak Ekologis dan Kualitas dari Pemanfaatan Al dalam Proses Kreatif


Desainer Produk Menyoroti Dampak Ekologis dan Kualitas dari Pemanfaatan Al dalam Proses Kreatif

Jika desain telah begitu lama berperan sebagai bahasa yang menjembatani antara teknik dan emosi, industri dan seni, serta bentuk dan fungsi–-apa yang terjadi manakala bahasa tersebut berhadapan dengan teknologi yang mampu menghasilkan konten secara otonom, meniru pengambilan keputusan, dan mempelajari dari data? Bagaimana hubungan kita dengan objek fisik, tubuh, juga proses kreatif mulai bergeser? Untuk mengeksplorası pertanyaan-pertanyaan tersebut, kami berbicara dengan para sosok berpengaruh dari lanskap desain kontemporer—termasuk desainer, direktur kreatif, seniman, dan wirausahawan—untuk menanyakan bagaimana mereka memandang kecerdasan buatan akan membentuk masa depan desain, dan apakah kedekatan kita yang semakin meningkat dengan berikut lingkungan virtual akan mengubah cara pandang serta konektivitas kita terhadap objek, terutama dalam kaitannya dengan tubuh dan ruang fisik. 


Jawaban-jawaban mereka yang, beragam dan sering kali tak terduga, mengungkap bahwa Al dipandang bukan sekadar alat, melainkan cerminan dari zaman, yang memunculkan serangkaian pertanyaan baru. Apa yang mendefinisikan autentisitas di dunia di mana konten semakin banyak dihasilkan oleh algoritma? Apa dampak ekologis dan kualitas dari Al dalam budaya yang didominasi oleh kecepatan serta volume? Dan apa yang hilang dari tangan kita dalam hal keterampilan, kepekaan, dan keunikan ketika sebagian proses kreatif diserahkan kepada mesin?


Meskipun Al beroperasi melalui bahasa, logika, dan prediksi, banyak desainer yang menegaskan kembali pentingnya dimensi fisik, intuitif, dan emosional dalam proses penciptaan. Kesalahan manusia, materialitas, sentuhan, ketaksempurnaan, dan ritme penemuan yang lambat, untuk saat ini, tetap tak tergantikan. Di dunia yang jenuh akan gambar yang sering kali diratakan ke dalam layar-pengalaman fisik terhadap objek kembali menjadi sesuatu yang mendesak: bobotnya, eksistensinya, caranya berinteraksi dengan tubuh kita. Mungkin, alih-alih bertanya apakah Al akan menggantikan kita, pertanyaan yang lebih mendasar adalah: kemanusiaan seperti apa yang ingin kita pertahankan di pusat praktik desain?


Charlotte Macaux Perelman & Alexis Fabry

Charlotte Macaux Perelman & Alexis Fabry, Direktur Artistik, Hermès Maison

Hermès memperkenalkan koleksi rumah terbarunya di La Pelota di dalam kotak-kotak putih yang menggantung dan memancarkan cahaya lembut berwarna. Instalasi minimalis nan etereal ini dirancang oleh Direktur Artistik Charlotte Macaux Perelman dan Alexis Fabry, menciptakan lanskap bak mimpi di mana objek-objek perlahan muncul dari potongan dan relung ditampilkan layaknya artefak museum yang berharga.

Koleksi tahun ini mengeksplorasi teknik kerajinan tangan, dengan fokus khusus pada tekstur, transparansi, dan kedalaman kaca-yang terlihat pada meja-meja berlapis penis, kendi yang dibuat dengan proses pelelehan kaca metode tiup, dan vas. Koleksi ini juga mencakup peralatan makan porselen, objek kayu, serta tekstil kasmir. "Subjek perihal Al tidak dipungkiri memang krusial, baik di dunia desain maupun bidang lain. Namun bagi kami, yang lebih menggairahkan adalah bobot kerajinan tangan para seniman, yang membentuk 'objek berkualitas' yang ingin kami wujudkan."


Laurence Leenaert


Slow Roads karya Laurence Leenaert untuk LRNCE.

Desainer asal Belgia, Laurence Leendert, pendiri studio LRNCE yang berbasis di Marrakesh, terkenal akan bahasa visual intuitif dan perpaduan puitis antara kerajinan tradisional dengan desain kontemporer, Selama dekade terakhir. Ia membangun praktiknya secara perlahan dan penuh kesengajaan berlandaskan niat, ritme, dan kedalaman emosi dengan para pengrajin.

Koleksi furnitur pertamanya, Slow Roads, yang dipresentasikan di Milan Design Week 2025, merupakan wujud etos kerja Leenaert yang selalu berpraktik langsung. "Saya tidak menggunakan Al dalam karya saya. Al memerlukan pendekatan linguistik dalam desain—sedangkan saya hanya membuat barang-barang kerajinan tangan, dan saya ingin mempertahankannya seperti itu," ujarnya.

Proses kreatif Leenaert sangat personal, spontan, dan taktil. "Karya saya ibarat buku harian—saya tidak mendelegasikannya pada komputer. Saya merasa tak ada yang menyenangkan dari melakukan tindakan tersebut. Proses kreatif saya bersifat spontan, tanpa tekanan. Dengan Al, Anda terlalu memikirkan hasilnya, sementara proses saya berorientasi praktik langsung," jelasnya. Di era percepatan digital, Leenaert menawarkan sudut pandang yang berbeda. Karyanya menolak otomasi demi sentuhan, permainan, dan kebahagiaan—kualitas-kualitas yang terus membentuk suara khas dari label independennya yang terus berkembang.


Oki Sato


Kasumi karya Oki Sato (Pendiri Nendo) untuk ALPI.

Dalam eksplorasinya mengenai dialog antara teknologi dan emosi, Oki Sato merenungkan potensi Al sebagai alat pendukung dalam proses kreatif dari riset hingga pengembangan visual. “AI adalah alat yang diperlukan bagi para desainer-mempercepat riset dan pembuatan moodboard tapi masih sangat sulit untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar orisinal,” jelas sang pendiri Nendo. "Pertanyaan sebenarnya adalah bisakah Al menangis? Bisakah Al merasakan emosi yang nyata? Sampai hal itu terjadi, saya pikir kita para desainer masih punya tempat." 

Namun Sato menekankan bahwa desain lahir dari ketidaksempurnaan, dari kebetulan yang menyenangkan, dan kecerdasan emosional-kualitas-kualitas yang belum bisa dipahami oleh mesin. Menurutnya, “Desain selalu tentang emosi, bukan hanya teknik atau pemecahan masalah keindahan datang dari ketaksempurnaan, serta kesalahan yang menyerangkan. Itu adalah sesuatu yang masih belum bisa ditiru oleh Al.” 

Dengan Kasumi, Sato menerjemahkan filosofi tersebut ke dalam bentuk material. Diberi judul sesuai kata Jepang untuk "kabut", veneer ini menampilkan pola serat kayu yang halus, yang dicapai dengan melapisi dua rona veneer yang telah diwarnai dan memprosesnya melalui teknik inovatif. Bagi Nendo, ranah digital bukanlah pengganti, melainkan pendamping kepekaan manusia.


Renzo Rosso & Andrea Rosso

Iron Maiden Couch karya Renzo Rosso & Andrea Rosso untuk Diesel Living

Dalam pop-up store Diesel yang immersive di San Babila selama Salone del Mobile 2025, sebuah instalasi perak mencolok yang dikenal sebagai Iron Maiden Couch—diciptakan bekerja sama dengan Moroso—menonjol di antara tumpukan limbah denim, merepresentasikan estetika berani dan pendekatan visioner khas Diesel.

Pengusaha dan desainer mode Renzo Rosso, pendiri Diesel, telah lama memanfaatkan kecerdasan buatan sebagai alat untuk meningkatkan operasional bisnisnya. "Saya penggemar Al," ujarnya. Selama delapan tahun terakhir, Rosso telah mengintegrasikan Al ke berbagai aspek perusahaannya. Menurut Rosso, "Saat ini, Al membantu manajer saya mengurangi waktu untuk tugas-tugas repetitif. Ini memungkinkan mereka untuk fokus pada aspek kreatif lainnya dan bekerja secara sinergis, meningkatkan energi dan kreativitas mereka dalam prosesnya."

Sistem Al internal Diesel memfasilitasi komunikasi yang lancar antar departemen, memastikan akses informasi yang konsisten dan kolaborasi yang lebih efisien. Meski demikian, Rosso menyadari keterbatasan Al saat ini, terutama dalam riset kreatif dan konteks hukum. Namun, ia tetap yakin bahwa Al tidak mengurangi kreativitas. "Proses kreatif ditentukan oleh pertanyaan yang kita ajukan pada Al—ini soal bagaimana kita menyunting responsnya dan menentukan hasil akhirnya."


Cristián Mohaded


Armchair Aventura, Throw, dan Bantalecho karya Cristián Mohaded untuk koleksi signature Louis Vuitton.

Desainer asal Argentina, Cristián Mohaded, menyumbangkan serangkaian karya untuk Objets Nomades dari Louis Vuitton—termasuk meja, kursi berlengan, sofa, dan karpet–-yang menjembatani kerajinan tradisional dan modernitas. Mengenai pengaruh Al yang semakin meningkat dalam desain, ia mengamati adanya pergeseran generasi dalam cara kita memandang produk buatan tangan.

"Bagi generasi muda, bertemu dengan objek yang sepenuhnya dibuat dengan tangan-tanpa komputer sebagai perantara-merasa luar biasa," ujarnya, menyoroti bagaimana jauhnya jarak dari proses manual mengubah apresiasi kita terhadap kerajinan.

Apabila anggota muda di studionya semakin mengandalkan Al, Mohaded memilih pendekatan yang lebih lambat dan taktil dalam riset, lewat proses desain yang berlandaskan fotografi sebagai praktik yang konstan dan intuitif. Baginya, keaslian dalam penciptaan tetap menjadi pusat perhatian. "Segala sesuatu yang kita masukkan ke dalam Al hanyalah input-tapi itu tidak pernah benar-benar menjadi ide asli kita," ia mengingatkan, menentang godaan untuk mengutamakan efek visual semata dibandingkan konten yang bermakna.

"Sering kali ada pengejaran efek 'wow' dengan mengorbankan keaslian. Kita sedang dalam masa transisi, masih mencari tahu mana yang palsu dan mana yang riil. Barangkali, dalam waktu singkat, akan sangat sulit untuk membedakannya.” Karya-karyanya menjadi pengingat akan pentingnya intuisi, materialitas, dan kehadiran manusia di dunia yang semakin terdigitalisasi. 


Rebekka Bay & Laila Gohar


All The Things You Do In Bed karya kolaboratif Laila Gohar & Rebekka Bay untuk Marimekko.

Rebekka Bay, Direktur Kreatif Marimekko, berkolaborasi dengan seniman Laila Gohar untuk menghadirkan All the Things You Do in Bed—sebuah instalasi immersive yang mengubah sebuah teater menjadi kamar tidur besar nan dreamy. Para pengunjung diajak untuk berbagi sepotong kue, berbaring, mengobrol, beristirahat, dan kembali terhubung dengan keintiman kehadiran fisik. Instalasi ini menjadi penyeimbang yang taktil dan emosional terhadap kejenuhan digital dalam kehidupan kontemporer.

Baik Bay maupun Gohar secara kritis merefleksikan keterbatasan kecerdasan buatan, khususnya dalam bidang kreatif yang sangat berakar pada emosi dan materialitas. "Al adalah alat, seperti alat lainnya. Saya tidak berpikir Al akan menggantikan apa pun. Al tidak mampu memahami rasa taktil, bentuk, atau rupa yang dimiliki manusia-bagaimana mungkin bisa menggantikan keahlian tangan manusia?" ujar Bay.

Bagi Gohar, dampak Al yang mempersempit pengalaman manusia sangat mengkhawatirkan. "Dunia kita semakin menyempit. Kita memiliki akses ke sumber daya tanpa batas, tetapi justru cakrawala kita mengecil. Segalanya terasa sudah dikurasi sebelumnya, membunuh rasa ingin tahu," jelasnya la memperingatkan bahwa Al tidak memperluas imajinasi—justru mengonfirmasi bias. "Al dan algoritma hanya mengembalikan apa yang ingin Anda lihat-mengukuhkan versi dunia yang Anda yakini. Ini bisa membuat Anda terisolasi dan teradikalisası dengan cara yang merugikan." Sebaliknya, instalasi mereka menjadi pengingat puitis akan kekuatan abadi desain untuk menciptakan momen-momen bersama yang bersifat sensoris-berakar pada kehidupan nyata, bukan hasil ciptaan layar.


Christian Pellizzari & Nina Yashar


Phisophorum Floating Lamp karya Christian Pellizzari & Nina Yashar untuk Nilufar Gallery

Di Nilufar Gallery, Christian Pellizzari mempersembahkan Phisophorum Floating, sebuah patung bercahaya dari kaca Murano yang melayang di antara seni dan desain. Karyanya mengeksplorasi hubungan antara alam dan tangan manusia, membentuk dunia botani di mana batas antara objek fungsional dan instalasi artistik menjadi kabur

Meskipun mengakui potensi Al, Pellizzari melihatnya sebagai alat yang masih berada pada tahap awal, dan menyatakan, "Saya percaya Al akan diterapkan di setiap proses kreatif, Tapi saya tidak melihat masa depan di mana inti dari desain tidak lagi bersifat sangat manusiawi." la juga merefleksikan bagaimana karyanya dipersepsikan: "Orang sering berkata bahwa karya saya terlihat seperti dirancang oleh Al—tapi sebenarnya tidak."

Bagi Pellizzari, sentuhan manusia tetaplah esensial, karena ia meyakini bahwa "Ketaksempurnaan dan kesalahan manusia adalah elemen penting dalam pencarian akan keindahan."