CULTURE

16 Juli 2025

Malam Sinatra di Jakarta: Ardhito Pramono dan ABar Membalut Jazz dengan Cita Rasa Elegan


Malam Sinatra di Jakarta: Ardhito Pramono dan ABar Membalut Jazz dengan Cita Rasa Elegan

photo courtesy ABar Jakarta

Di tengah gemerlap malam Jakarta, suara yang lembut namun penuh karisma memenuhi ruangan. Bukan dari piringan hitam tua atau kaset analog yang berderit nostalgia, melainkan langsung dari panggung intim ABar Jakarta, Senayan city, di mana Ardhito Pramono membawakan lagu-lagu Frank Sinatra dalam sebuah penghormatan penuh rasa. Malam itu, 11 Juli silam, menjadi momen di mana jazz klasik bertemu semangat muda dalam balutan suasana kontemporer yang tetap berakar pada keanggunan masa lampau.

Dari Sinatra ke Ardhito: Jembatan Waktu yang Penuh Irama
Frank Sinatra, penyanyi yang dijuluki “The Voice”, bukan sekadar legenda musik. Ia adalah simbol era ketika lirik menjadi puisi, dan suara menjadi ekspresi paling personal dari kerinduan, cinta, dan harapan. Dengan lebih dari 1.400 lagu yang direkam sepanjang kariernya, Sinatra mengukir dirinya sebagai ikon tak tergantikan dalam sejarah jazz dan pop Amerika. Ia adalah suara dari era yang penuh glamor, namun juga penuh cerita dan luka.

Dalam repertoar malam itu, Ardhito tak hanya menyanyikan lagu-lagu Sinatra, ia menghidupkan kembali semangatnya. Dikenal lewat karya-karya seperti Bitterlove, Fine Today, dan What Do You Feel About Me, Ardhito adalah potret generasi baru yang menghormati akar sambil menjelajahi ranting. Seorang aktor yang berkecimpung di dunia film sekaligus menemukan panggilannya dalam musik, ia tumbuh besar di tengah pengaruh jazz klasik, dan di atas panggung ABar, ia seperti menari bersama bayangan Sinatra dengan gaya, tanpa imitasi.

Dalam satu momen, saat Ardhito menyanyikan Fly Me to the Moon dengan sentuhan piano yang lembut, beberapa tamu tampak menutup mata, membiarkan diri mereka hanyut dalam kenangan dan mimpi. Jazz, ketika dimainkan oleh jiwa yang benar-benar mencintainya, memang tidak mengenal waktu.


ABar Jakarta: Rumah bagi Nada dan Rasa
Malam tribut ini digelar di ABar, sebuah bar koktail elegan yang tersembunyi di dalam ABSteak by Chef Akira Back di Senayan City. Namun ABar bukan sekadar bar: ia adalah tempat di mana ritme bertemu rasa, di mana setiap sajian minuman dibuat dengan filosofi “roots to fruit” yang menghargai asal mula bahan dan merayakan transformasinya menjadi karya.

Di antara denting piano dan suling saksofon, para tamu menikmati Strawberry Mentha yang segar, Yuzu Sawayaka yang tajam namun bersahabat, dan Apple Cheese Sour yang memadukan manis dan creamy dalam satu tegukan yang memikat. Tak kalah menarik, ABSteak—buah pemikiran kreatif Chef Akira Back dan bagian dari Adhya Group—memadukan semangat steakhouse Korea kontemporer dengan pendekatan kuliner global.

Malam itu, para pengunjung tidak hanya datang untuk mendengar musik. Mereka datang untuk mengalami jazz—melalui suara, rasa, dan suasana.


All That Jazz: Menghadirkan Musik dan Hidangan dalam Satu Napas
“All That Jazz” adalah program live music persembahan ABar yang menyatukan musisi jazz terkurasi, baik dari dalam negeri maupun mancanegara, dengan keahlian gastronomi dalam satu malam yang utuh. Setiap pertunjukan tidak hanya mempersembahkan alunan jazz yang merasuk, tetapi juga pengalaman makan malam berkelas: steak khas olahan Chef William Rusli, dessert kreatif dari tangan Pastry Chef Sharon Augustine, dan koktail eksklusif hasil racikan tim bar.

“Program ini lahir dari semangat kami untuk menciptakan pengalaman yang tak hanya musikal tapi juga kuliner,” ujar Irawan Sukma Nugraha, Chief Operating Officer Adhya Group. “Kami ingin menghadirkan malam yang tidak hanya menghibur telinga, tetapi juga memanjakan indera secara keseluruhan. Jazz dan makanan fine dining—apa lagi yang lebih menggoda dari itu?”


Malam itu, di sela alunan nada dan sorotan lampu yang temaram, terasa ada kedekatan yang tak kasat mata antara panggung dan penonton. Ardhito, dengan pembawaannya yang santai namun penuh rasa, tidak hanya menyanyikan lagu-lagu Sinatra. Ia menjalin hubungan emosional dengan setiap lirik yang dilantunkannya. Dari ekspresinya, dari cara ia menafsirkan ulang lagu-lagu ikonis seperti Fly Me to the Moon atau My Way, tersirat betapa besar pengaruh jazz klasik dalam perjalanannya sebagai musisi.

Bisa jadi, Sinatra hadir lebih awal dalam hidup Ardhito—mungkin lewat piringan lama di rumah masa kecil, atau suara dari radio milik orang tuanya. Yang pasti, malam itu, Sinatra tidak hanya dikenang; ia terasa hidup kembali melalui interpretasi seorang musisi muda yang memahami bahwa musik bukan sekadar soal suara, melainkan soal jiwa.


Menutup Malam dengan Nada Tinggi
Malam di ABar Jakarta itu bukan hanya hiburan. Ia adalah pengingat bahwa musik, seperti cinta atau anggur yang baik, akan selalu menemukan cara untuk tetap hidup dalam kenangan, dalam rasa, dan dalam suara. Dan Ardhito Pramono, dengan gayanya yang santai namun sarat perasaan, membuktikan bahwa jazz tak pernah benar-benar tua. Ia hanya menunggu untuk dibangkitkan kembali dengan semangat baru, di tempat yang memahami betapa berharganya sebuah melodi.

Jika Anda mencari malam yang memadukan nostalgia, rasa, dan suara yang menyentuh, maka All That Jazz bukan sekadar program musik. Ia adalah pengalaman.