CULTURE

11 Agustus 2025

Tinggal Meninggal: Ketika Kesepian dan Haus Validasi Diracik Jadi Komedi


Tinggal Meninggal: Ketika Kesepian dan Haus Validasi Diracik Jadi Komedi

doc. IMAJINARI

Pernahkah Anda merasa menjadi tokoh sampingan di hidup sendiri? Duduk di pojok ruangan, melihat orang lain bercakap, dan menyadari tidak ada satu pun yang benar-benar memperhatikan Anda? Rasa seperti itu yang sunyi, dingin, dan perlahan membuat dada mengerut adalah sesuatu yang tak kasat mata tapi bisa membentuk cara kita memandang dunia.

Film Tinggal Meninggal karya perdana Kristo Immanuel sebagai sutradara (ditulis bersama Jessica Tjiu, diproduksi Imajinari) membalut rasa getir itu dalam bungkus dark comedy yang unik. Imajinari, yang sebelumnya menghadirkan Jatuh Cinta Seperti di Film-Film dan Harta Tahta Raisa, kali ini mengajak penonton tertawa di atas panggung duka, lalu tiba-tiba membekukan tawa itu hingga berubah menjadi momen hening yang memaksa kita berpikir keras.


KETIKA PERHATIAN MENJADI CANDU
Kisahnya berpusat pada Gema (Omara Esteghlal), laki-laki muda yang nyaris seumur hidup menjadi latar di cerita orang lain. Ia tidak pernah benar-benar memiliki teman, jauh dari kasih sayang orang tua, dan terbiasa berada di luar lingkar kehangatan sosial. Ironisnya, perhatian baru datang saat ayahnya meninggal. Rekan-rekan kantor yang sebelumnya nyaris tak menoleh, tiba-tiba mengucapkan belasungkawa, mengirim pesan, bahkan menepuk pundaknya.

Namun, perhatian yang datang dari kematian itu ternyata candu. Begitu pudar, Gema mulai bertanya: Siapa lagi yang harus meninggal? Dari pertanyaan itu lahir rentetan kebohongan. Tak semua kebohongan besar, tapi cukup untuk menjerat dirinya dalam simpul yang makin kencang.


DUKA, VALIDASI, PSIKOLOGI KESEPIAN
Secara psikologis, duka sering memunculkan coping mechanism yang tak selalu rasional. Sebagian orang menarik diri, sebagian mencari pelarian, sebagian lagi—seperti Gema—menemukan rasa “hidup” justru saat menjadi pusat perhatian. Studi tentang kesepian menunjukkan bahwa rasa keterasingan sosial dapat memicu perilaku impulsif atau manipulatif demi mendapatkan validasi. Dalam kasus ekstrem, seseorang bahkan rela memelintir realitas hanya agar tidak kembali ke ruang sunyi tempat ia terbiasa dibuang.

Kristo menangkap ini dengan cerdas melalui pendekatan naratif yang meta: Gema kerap menatap langsung ke kamera, mengajak penonton menjadi konspirator sekaligus saksi. Teknik ini, yang dikenal sebagai breaking the fourth wall, di sini terasa seperti undangan personal, seolah Gema tahu kita juga pernah, diam-diam, haus akan pengakuan.


KEKUATAN DAN KELEMAHAN
Namun, tidak semua berjalan mulus. Di balik premisnya yang segar dan keberanian bermain di wilayah abu-abu antara tawa dan duka, film ini kadang terjebak dalam nada yang kurang konsisten. Ada momen ketika humor yang diselipkan terlalu ringan untuk menahan bobot temanya, sehingga ketegangan emosionalnya tereduksi. Beberapa dialog terasa repetitif dalam menegaskan kesepian Gema, padahal bisa dieksplor lebih subtil lewat gestur atau visual.

Selain itu, beberapa karakter pendukung, meski diperankan jajaran nama kuat seperti Nirina Zubir, Mawar De Jongh, Mario Caesar, Ardit Erwandha, dan Shindy Huang, tidak sepenuhnya diberi ruang berkembang. Kehadiran mereka cenderung berfungsi sebagai penggerak plot ketimbang tokoh yang memiliki kehidupan emosional sendiri. Akibatnya, dunia Gema terasa agak steril, tidak seramai atau sesemrawut dunia nyata yang menjadi sumber absurditasnya.

Pun, di beberapa titik, film terlalu cepat melompat dari satu titik emosi ke titik berikutnya. Perpindahan antara tawa dan lirih duka memang menjadi kekuatan film ini, namun tanpa transisi yang matang, penonton bisa merasa kehilangan momen untuk mencerna pesan yang sebenarnya tajam.


MENGHIBUR, MENGGELITIK, MENGGUGAH
Meski begitu, film Tinggal Meninggal tetap menjadi karya yang menawarkan pengalaman menonton tak biasa: membuat kita tertawa sambil mempertanyakan mengapa kita tertawa, menghibur sambil memantik rasa bersalah, dan, yang terpenting, menyadarkan bahwa di balik topeng humor, ada banyak wajah kesepian yang hanya ingin dianggap ada.

REFLEKSI YANG TERTINGGAL
Mungkin, itu sebabnya film ini membekas. Karena pada akhirnya, entah di kantor, lingkar pertemanan, atau bahkan keluarga sendiri, setiap dari kita pernah menjadi Gema yang menunggu seseorang bertanya kabar, lalu takut saat perhatian itu pergi.

Kesepian adalah salah satu rasa sakit paling sunyi di dunia—ia jarang terlihat, tapi bisa mengikis seseorang perlahan dari dalam. Tidak seperti luka fisik yang membekas di kulit, kesepian membekas di cara kita memandang diri sendiri, menentukan berapa harga yang kita pasang untuk dianggap ada.


Film Tinggal Meninggal mungkin dikemas sebagai komedi getir, tapi di lapisan terdalamnya ia adalah kisah tentang kebutuhan purba manusia untuk diakui. Kebutuhan itu sama tuanya dengan peradaban, sama rapuhnya dengan selembar benang. Dari gua-gua purba hingga ruang kantor modern, manusia selalu mencari tatapan yang mengatakan: aku melihatmu, aku mendengarmu, aku menganggapmu penting.

Di titik ini, film ini bukan hanya tentang Gema—ia adalah refleksi kita semua. Tentang bagaimana kehilangan bisa menjadi pintu masuk ke perhatian, bagaimana validasi bisa terasa seperti oksigen, dan bagaimana rasa takut ditinggalkan bisa membuat kita nekat mengatur ulang kebenaran.

Dan mungkin, pelajaran terbesarnya adalah ini: jangan biarkan seseorang merasa harus berbohong, berlebihan, atau bahkan memalsukan tragedi, hanya demi mendapatkan pelukan yang seharusnya kita berikan tanpa syarat. Karena di balik tawa, ada jiwa yang mungkin hanya butuh diyakinkan bahwa keberadaannya cukup.