2 September 2025
Venice Film Festival 2025: Antara Layar Perak dan Pesona Mode di Lido

Text by Rumaishah Farisi (photo by La Biennale di Venezia)
Di kota laguna yang tak pernah kehilangan magisnya, layar perak dan mode bertemu dalam sebuah perayaan tahunan yang nyaris tak tergantikan: Venice Film Festival. Memasuki edisi ke-82, festival film tertua di dunia ini kembali menegaskan dirinya bukan hanya sebagai panggung utama bagi sinema global, melainkan juga sebagai panggung megah bagi narasi budaya dan mode internasional. Diselenggarakan oleh La Biennale di Venezia pada 27 Agustus hingga 6 September 2025, festival ini dibuka dengan La Grazia, film terbaru karya maestro Italia Paolo Sorrentino—sebuah penghormatan tersendiri kepada negeri yang melahirkan festival ini pada 1932.
Berpusat di Palazzo del Cinema dan Sala Grande, perhelatan di Lido menghadirkan ritme yang khas: deretan pemutaran perdana, diskusi industri, hingga ruang alternatif yang mendobrak batas medium. Sala Darsena dan Palazzo del Casinò menjadi wadah percakapan para sineas, sementara PalaBiennale dan Sala Giardino memperluas akses publik terhadap film independen. Tak ketinggalan, Lazzaretto Vecchio mengajak penonton melintasi batas realitas melalui pengalaman sinema imersif berbasis realitas virtual, dan Sala Web Theatre menyatukan festival dengan audiens global yang tak sempat hadir di Venezia.
Cate Blanchett. Photo by Getty Images
Namun, selain layar, yang selalu menyulut imajinasi publik adalah bentangan karpet merah di Palazzo del Cinema. Di situlah festival seakan bertransformasi menjadi catwalk tak resmi—tempat di mana sutradara, aktor, dan aktris papan atas bukan hanya menampilkan film terbaru, tapi juga menjadikan mode sebagai bagian dari narasi personal mereka. Nama-nama seperti Cate Blanchett, Timothée Chalamet, Tilda Swinton, hingga Emma Stone kerap menjadikan Venice sebagai ajang fashion statement yang tak kalah dinanti dari karyanya di layar. Tidak berlebihan jika banyak pengamat menyebut Venice sebagai “runway musim gugur” sebelum New York, London, dan Paris Fashion Week.
Photo by La Biennale di Venezia (No Other Choice)
Tahun ini, di bawah arahan Direktur Artistik Alberto Barbera, festival menghadirkan spektrum yang luas: dari Luca Guadagnino, Jane Campion, Park Chan-wook, hingga Chloé Zhao. Kompetisi utama juga diramaikan oleh kehadiran kuat sinema Asia. Park Chan-wook membawa No Other Choice, satir gelap tentang pengangguran dan kompetisi kerja yang dibintangi Lee Byung-hun dan Son Ye-jin. Cai Shangjun dari Tiongkok mempersembahkan The Sun Rises on Us All, sementara Taiwan mengejutkan publik lewat debut penyutradaraan aktris Shu Qi dengan Girl. Di jalur Orizzonti, wajah-wajah baru Asia bersuara melalui karya seperti Divine Comedy (Ali Asgari), Lost Land (Akio Fujimoto), dan Songs of Forgotten Trees (Anuparna Roy).
Seperti tradisi tahun-tahun sebelumnya, festival ini juga merawat warisan sinema dengan menghadirkan kembali karya klasik Asia: dari Odd Obsession dan Kwaidan – Ghost Stories asal Jepang, Two Acres of Land dari India, hingga Vive L’Amour dari Taiwan. Sebuah pengingat bahwa sinema bukan hanya tentang masa kini, melainkan juga arsip perasaan dan wacana yang melintasi generasi.
Di tengah riuhnya layar dan sorot lampu kamera, Venice Film Festival selalu berdiri sebagai ruang di mana seni, mode, dan sejarah saling berkelindan. Di Lido, para sineas dan bintang besar tidak sekadar merayakan film, tetapi juga menorehkan bab baru dalam hubungan panjang antara sinema dan gaya hidup. Sebuah hubungan yang menjadikan festival ini bukan hanya sebagai pesta film tertua di dunia, tetapi juga sebagai barometer estetika global.