FASHION

13 Oktober 2023

Edward Hutabarat Mengantar Wastra Nusantara Memasuki Modernitas Lewat Ranah Adibusana


Edward Hutabarat Mengantar Wastra Nusantara Memasuki Modernitas Lewat Ranah Adibusana

photo DOC. Edward Hutabarat; text Indah Ariani

Menjelang dekade kelimanya berkarier sebagai desainer, Edo, begitu biasanya Edward Hutabarat disapa, telah menghabiskan separuh waktu tersebut untuk melakukan perjalanan ke berbagai pelosok Indonesia. Dalam masa tertentu, ia tinggal lama di suatu daerah, berinteraksi dengan masyarakat di tempat-tempat yang dikunjungi, mengamati dan mendalami budaya mereka, mencatat, merekam dan menggali inspirasi dari interaksi tersebut. Inspirasi dari perjalanan itu tak hanya ia tuangkan dalam desain busana rancangannya, tapi juga ia bangun menjadi sebuah gaya hidup yang diterima masyarakat modern. Bagi Edo, “Fashion is a lifestyle.” Gaya hidup. “Di dalamnya,” lanjut Edo penuh semangat, “Mencakup sandang, pangan dan papan. Inilah yang disebut sebagai sebuah peradaban,” katanya.

Dalam peradaban Indonesia, sandang atau wastra dikenakan mulai dari kelahiran, pernikahan hingga kematian. Pangan, selain menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat, juga menjadi bagian dari upacara adat. “Dalam sebuah seremoni adat, akan ada bermacam-macam penganan, wadah makan dan peranti saji. Papan, atau arsitektur tradisional, juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Saya tidak sekadar bikin baju. Ibarat serangkai hidangan untuk makan malam, ada yang namanya entrée, main course dan dessert. Main course saya tetap ada di runway. Sementara wadahan entrée bisa berupa keranjang, tembikar, atau batok kelapa. Demikian pula untuk wadahan untuk dessert. Semua itu adalah penunjang utama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah atau UMKM,” Edo mengungkapkan.

Tak hanya busana, ia memperhatikan pula semua unsur peradaban tersebut dalam karyanya dan mengambil semua nilai-nilai tradisi yang ia dalami ketika berkunjung ke daerah pedalaman serta mengelaborasinya menjadi sebuah inspirasi. “Sebuah imajinasi untuk diangkat ke dalam dunia modern adalah harkat dan hakikat tertinggi dari seorang makhluk hidup yang namanya manusia. Peradaban itu lahir dari sebuah imajinasi yang akan terus bergulir dari masa ke masa,” katanya.


Secara jelas, tampak betapa Edo lebih suka berbicara berdasarkan pengalaman, ketimbang teori semata. Demikian pula lini busana Edward Hutabarat Premium dan lini kedua Part One Edward Hutabarat serta Edward Hutabarat Living yang lahir berdasarkan sebuah ritme, bukan sekadar fenomena “dadakan”. Bila bertandang ke rumahnya, kita dapat dengan segera merasakan kehadiran nuansa Edward Hutabarat Living itu. “Saya tidak mendekorasi diri. Apa yang saya alami dari semua perjalanan itu, mewujud dalam rumah yang saya huni ini. Bukan cuma retorika,” katanya.

Desain busana pun, menurutnya, bukan sekadar tentang proses membuat pakaian. Ada hal yang menurutnya, membutuhkan isi dan cerita untuk dikisahkan. “Dunia membutuhkan konten dan storytelling,” Edo mengatakan. Tentang hal ini, Edo menganalogikannya dengan kue tradisional gethuk lindri. Dengan pengolahan yang baik, bahan berkualitas, cara penyajian yang elegan dan narasi menarik yang menyertainya, kue sederhana yang terbuat dari singkong itu pun, menurut Edo, sangat bisa mendapat kesempatan menjadi penganan berkelas. “Getuk lindri yang dibuat dengan bahan berkualitas, akan menghasilkan tekstur yang lembut dan citarasa yang lezat. Lalu disajikan dalam wadah daun pisang, gerabah, atau piring keramik yang cantik, disajikan bersama teh melati atau kopi Sidikalang dari Sumatera Utara, disertai foto atau film yang bercerita tentang bagaimana proses pembuatan gethuk lindri,” terangnya.


Dengan formula tersebut, desainer yang tekun mengeksplorasi kekayaan wastra nusantara ini berhasil menghadirkan kain-kain peradaban Nusantara seperti batik, lurik, songket dan tenun ikat dalam napas yang lebih modern. “Kalau mau dandan ala Indonesia, tidak musti ndeso, kok. Sangat memungkinkan untuk tampil smart,” tukasnya. Edo yang memberi nilai dan penghormatan amat tinggi pada Wastra Nusantara memang sangat ingin menghadirkan tekstil tradisi yang disebutnya sebagai kain peradaban itu menjadi busana berskala dunia. “Ketika merancang sebuah busana, saya selalu membayangkan busana itu akan bisa melebur modern dengan brand-brand mode dunia,” katanya.

Desain minimalis dan bersih dengan potongan yang cermat memang menjadi ciri utama busana-busana rancangannya. Garis tersebut bisa dengan mudah kita lihat pada koleksi busana yang dirancang Edo. Pada 1996, Edo, melalui jenama fesyennya, Part One Edward Hutabarat, berhasil mempopulerkan tren busana cocktail yang menggunakan padanan batik dengan lis lurik halus di ujungnya. Desain serupa karyanya kemudian menjamur di berbagai pusat pertokoan. Begitu pula ketika ia mengeksplorasi lurik, tenun ikat, dan songket. Namun Edo tak pernah merisaukan tindakan plagiarisme yang amat biasa terjadi dalam dunia mode. “Ketika usai meluncurkan sebuah koleksi, saya akan segera beranjak menyiapkan koleksi lain yang prosesnya selalu panjang karena selalu saya awali dengan serangkaian perjalanan riset. Maka saya merasa baik- baik saja kalau ada orang yang terinspirasi dan meniru karya saya,” katanya.


Namun sebenarnya, ada satu hal yang ia harapkan terkait sontek menyontek dalam dunia mode itu. “Saya berharap, mereka pelan-pelan juga mulai melakukan eksplorasi dan melihat desain busana melampaui sekadar komoditi, melainkan sebuah cinderamata peradaban,” ungkap Edo. Kesadaran itu memang melandasi hampir semua koleksi yang ia rancang. Kisah dan pemikiran tentang wastra yang diketengahkan, senantiasa mendampingi kebaruan yang menjadi napas yang Edo tiupkan dalam koleksi-koleksi busananya. Tiap kali, ia tak hanya membuat sekadar peragaan busana, namun menyertakan serangkaian pertanyaan untuk memantik diskusi tentang masa depan wastra beserta para artisan yang membuatnya tetap lestari.

Narasi selalu juga menjadi elemen penting dalam busana rancangan Edo. Misalnya ketika ia mengetengahkan kisah para penenun lurik berusia lanjut dalam pameran foto yang disertai peragaan busana bertajuk Tangan-tangan Renta di Hotel Indonesia Kempinski Jakarta pada 2017 atau menghadirkan para inang penenun ulos menarikan tor-tor, tarian khas Tapanuli, sembari memakai ulos karya mereka sendiri di peragaan busana menutup rangkaian Festival Tenun Nusantara yang diadakan di Tapanuli Utara pada 2018 silam.


Dalam dua kesempatan itu, Edo meneriakkan keprihatinan dan kekhawatiran mendalam terhadap kelestarian masa depan lurik dan ulos melalui busana-busana dan narasi yang dibangunnya. “Bagaimana bila tidak terjadi regenerasi dalam pembuatan lurik dan ulos? Apakah kain-kain peradaban ini harus punah karena tidak ada lagi generasi muda yang mau menerima tongkat estafet sebagai penenun karena proses menenun yang lama sementara pendapatan yang dihasilkan memang sangat tidak sepadan?” katanya kerap.

Edo pun tak hanya berhenti dalam retorika dengan keprihatinan dan kekhawatirannya. Secara soliter, ia ulet bergerak, menjelajahi sentra-sentra wastra di seluruh pelosok negeri, menggali berbagai kemungkinan yang bisa dilakukannya untuk membantu melestarikan wastra. “Saya tidak terlalu suka membaca, tapi sangat suka pada fakta. Maka saya senang mencari fakta dengan datang ke sebuah tempat, melihat dan mengalami langsung untuk mencari tahu, apa yang menarik untuk dikembangkan,” ungkap Edo.

Ia acap berkolaborasi dengan para artisan wastra untuk mencoba menemukan inovasi baru terkait teknik pembuatan, pewarnaan atau motif wastra yang ingin ia gubah dalam busana rancangannya. Seperti saat ia mulai membuat batik bermotif garis untuk mengganti katun impor bermotif garis untuk ia gunakan sebagai pelisir (bis, kain atau pita untuk hiasan pada tepi baju) pada gaun-gaun batik koleksi Part One Edward Hutabarat, atau ketika ia memesan tenun yang seluruh bagiannya hanya terdiri dari motif Kabakil atau ujung tenun yang biasanya bermotif garis untuk pergelaran busana autumn/winter 2023 dan pameran wastra dari Sumba Nusa Tenggara Timur, bertajuk Kabakil yang diadakan di kaki Candi Borobudur pada 30 November 2022 lalu.


Mempelajari dan menyelami khazanah Wastra Nusantara dalam jangka waktu lama, membuat Edo memahami bahwa sebagian besar kain tradisi yang ada di Indonesia, merupakan bagian tak terpisahkan dari berbagai upacara agama dan keyakinan, yang membuat beberapa wastra menjadi benda sakral yang tak bisa sembarangan diterapkan dalam desain. Hal itu yang antara lain menggerakkan Edo untuk menciptakan motif-motif khusus yang tak melanggar kesakralan tapi tetap meruapkan keindahan wastra tersebut, seperti yang ia lakukan untuk koleksi Kabakil.

Itu sebabnya, menurut Edo, kesadaran akan kesetaraan, cinta, dan keinginan tulus untuk bertransaksi secara adil merupakan kunci yang perlu dimiliki oleh siapa pun yang ingin berpartisipasi dalam upaya pelestarian kain-kain peradaban. “Kenapa harus ada cinta? Karena, dalam kasus saya yang kerap mencoba membuat motif-motif khusus, saya harus tetap membeli karya yang saya pesan pada para artisan, sekalipun karya tersebut gagal, dalam arti, hasilnya tak sesuai dengan apa yang saya bayangkan. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak bisa memakai hitungan untung rugi. Cinta yang besar akan membuat kita menerima kondisi tersebut sebagai biaya membangun peradaban,” katanya.

Melalui laku yang dijalani dan karya yang tercipta, ia mencoba memberi contoh dan ingin memprovokasi para desainer muda untuk berbuat sesuatu untuk bangsa. “Saat ini, saya tak terlalu tertarik untuk membicarakan awal karier atau hal apa yang menarik saya menjadi seorang desainer. Soal itu, sudah sering sekali ditanyakan dan saya jelaskan. Tinggal cari saja di internet, banyak sekali tulisan mengenai itu. Hal yang penting bagi saya sekarang adalah bagaimana membuat karya, konten dan narasi yang berisi tentang apa yang saya lakukan, supaya banyak desainer muda mengikuti langkah tersebut,” katanya. Ia selalu ingin memberikan semangat dan inspirasi bagi generasi muda tentang bagaimana mencintai negeri, bagaimana mengejar orisinalitas, bagaimana mengejar kreativitas, bagaimana mengejar kualitas, dan bagaimana membuat segala sesuatu menarik dengan kesederhanaannya. “Bagi saya, simplicity itu adalah identitas modern,” Edo memungkas.