FASHION

18 Oktober 2022

Lewat Permainan Lipit Dan Teknik Lipat, Issey Miyake Menyuarakan Gagasannya Akan Arti Sehelai Pakaian


PHOTOGRAPHY BY Brigitte Lacombe

Lewat Permainan Lipit Dan Teknik Lipat, Issey Miyake Menyuarakan Gagasannya Akan Arti Sehelai Pakaian

Brigitte Lacombe

Dunia mode kehilangan satu lagi sosok penting dan visioner tahun ini. Desainer kelahiran Jepang, Issey Miyake, tutup usia pada tanggal 9 Agustus silam di usia ke-84. Kabar duka yang menggemparkan dunia mode ini pertama kali dibagikan ke khalayak umum oleh Miyake Design Studio dan Issey Miyake Group yang turut mengungkapkan bahwa sang desainer meninggalkan dunia dengan damai, dikelilingi anggota keluarga, sahabat, serta kerabat terdekatnya. 


Tak seperti kebanyakan desainer yang memperlakukan busana rancangan mereka layaknya sebuah karya seni yang kerap indah dipandang mata namun ‘sulit’ untuk dipakai, Miyake merancang dan ‘mendemokrasikan’ mode dengan merancang busana yang dapat dikenakan oleh semua kalangan. Jiwa humanisnya yang berjalan seiring dengan ketertarikannya pada kerajinan tangan dan optimalisasi teknologi melahirkan begitu banyak karya inovatif yang tak jarang mendorong batas-batas kreativitas. Sebut saja lini Pleats Please miliknya serta tas Bao Bao yang mengedepankan permainan teknik lipit dan lipat.



Presentasi koleksi musim gugur/ dingin 2014 Issey Miyake.

Miyake memang bukan desainer pertama yang menemukan atau mempergunakan teknik lipit. Layaknya pendahulunya, desainer asal Spanyol, Mariano Fortuny (1871-1949), Miyake terinspirasi oleh garmen linen Yunani kuno yang berkerut dan memiliki tekstur layaknya kulit kayu. Namun apabila Fortuny menciptakan gaun-gaun delphos miliknya dengan melipitnya satu per satu dengan tangan—menjadikannya berdaya jual tinggi, Miyake membuat gaun-gaun lipit miliknya lebih terjangkau dengan memproduksinya secara massal dan membuat gaun-gaun lipit miliknya lebih terjangkau dengan penggunaan mesin heat-press. Hasilnya, karya-karya Miyake dikenal mampu memberikan pernyataan gaya namun tetap nyaman untuk dikenakan oleh siapa pun. Tak hanya dikenal piawai memadukan budaya timur dan barat, di mana kerajinan tradisional dinikahkannya dengan inovasi teknis; ia pun berjasa dalam membuat kreasi busana yang dapat dinikmati segala kalangan. Tak terbatas oleh gender, usia, dan bentuk tubuh.

 

AHEAD OF HIS TIME

Lahir pada tahun 1938, Issey Miyake baru berusia tujuh tahun ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota kelahirannya, Hiroshima, pada 6 Agustus 1945. Miyake kecil yang sedang berada di sekolah dasar saat menyaksikan kilatan bom atom tersebut melahap kota Hiroshima, segera bergegas pulang ke rumah keluarganya yang berlokasi 2.3 km dari pusat ledakan. Ia menemukan sang ibu terbakar parah di antara begitu banyak orang yang sekarat dan mati tertimbun reruntuhan. 


Ibu Miyake, yang berprofesi sebagai seorang guru, tutup usia tiga tahun kemudian, seusai merawat putranya yang mengidap osteomielitis, sebuah penyakit infeksi tulang yang membuatnya rutin menjalani perawatan di rumah sakit. Tumbuh di sebuah kota melarat yang tengah berusaha untuk bangkit dari dampak peperangan, Miyake menemukan kebahagiaan lewat melukis. Meski terlalu miskin untuk membeli peralatan lukis seperti kuas, hal tersebut tak menghentikannya untuk pergi mengikuti kelas melukis. Miyake pun mempergunakan jari-jemarinya untuk berkarya.


Beranjak dewasa, banyak teman-teman Miyake yang meninggal muda lantaran berbagai penyakit yang berhubungan erat dengan efek radiasi. Miyake berpikir bahwa dirinya tak akan berumur panjang. Hal ini pula yang mendorongnya untuk nekat dan mengambil risiko dengan menjadi seorang desainer mode. 


Menjadi desainer awalnya bukan pilihan pertama Miyake. Ia bercita-cita menjadi seorang penari atau atlet. Namun suatu hari, gambar-gambar di majalah saudarinya membuatnya tertarik pada pakaian. Pada tahun 1950-an, mendesain pakaian bukan lah pilihan lazim bagi murid laki-laki. Untuk menenangkan hati sang ayah yang berprofesi sebagai seorang perwira tentara, Miyake memutuskan untuk mengenyam pendidikan desain grafis di Tama Art University di Tokyo. Saat duduk di bangku kuliah, Miyake sempat mengikuti sebuah kompetisi desain mode. Sayangnya, ia tidak memenangkan kompetisi tersebut karena tak memiliki keahlian memecah pola dan menjahit.


Sadar akan keterbatasan menimba ilmu adibusana di Jepang, Miyake bertolak ke Paris seusai lulus pada tahun 1965 dengan anggaran seadanya. Di Paris, ia belajar di Chambre Syndicale de la Haute Couture dan berkesempatan untuk magang di Guy Laroche dan Hurbert de Givenchy. Tak hanya belajar soal adibusana, Miyake turut belajar peranan penting busana dalam iklim sosiopolitik. Sebuah demonstrasi mahasiswa yang pecah di Paris pada tahun 1968 membuka pikiran Miyake akan busana-busana yang ingin ia rancang. Ia memilih untuk berpihak dengan para mahasiswa, yang berdemonstrasi melawan kalangan borjuis—dan merupakan klien utama industri couture. Miyake pun terinspirasi untuk mendesain busana bagi banyak orang alih-alih hanya untuk segelintir orang. Ia ingin karya-karyanya dapat dinikmati banyak orang tanpa melihat usia, ukuran, jenis kelamin, dan bentuk tubuh.


A-POC (A Piece of Clothing) kreasi Issey Miyake dan Dai Fujiwara, sebuah sistem busana yang menghasilkan pakaian yang dirancang sendiri melalui produksi massal.

Miyake kemudian hijrah ke New York pada tahun 1969 dan menjadi asisten salah satu desainer ternama Amerika saat itu, Geoffrey Beene. Bersamanya, Miyake belajar banyak mengenai produksi massal. Satu tahun kemudian, serangan penyakit terkait radiasi memaksanya untuk kembali pulang ke Tokyo dan menjalani pengobatan. Pada tahun yang sama, Miyake mendapatkan sokongan dana dari kerabat dan sahabatnya untuk mendirikan perusahaan mode miliknya sendiri, Miyake Design Studio. 

 

DANCING IN PLEATS

Rancangan Issey Miyake yang kaya spektrum warna dan menawarkan inovasi desain menjadikannya salah satu desainer Jepang yang begitu diperhitungkan di kancah internasional. Bagaimana tidak, Miyake merupakan salah satu desainer Jepang pertama yang menampilkan koleksinya di Paris. Sang desainer meluncurkan koleksi pertamanya di New York pada tahun 1971 dan mulai mempresentasikan karya-karyanya pada gelaran Paris Fashion Week pada musim gugur/dingin 1973. Karyanya yang begitu unik bahkan mencuri perhatian dunia ketika ditampilkan di sampul majalah ELLE France edisi September tahun itu.


Miyake kemudian dikenal lewat kreasi khasnya yang kerap didominasi dengan permainan teknik lipit. Di akhir tahun 1980-an, Miyake bereksperimen dengan sebuah teknik lipit pada sehelai pakaian yang telah dipotong. Dengan menggunakan mesin heat press, ia menyusutkan pakaian tersebut hingga mencapai ukuran, bentuk, dan tekstur yang ia inginkan. Pakaian yang telah jadi tersebut bahkan dapat dicuci dan dikeringkan tanpa kehilangan bentuknya. Teknik ini menjadi cikal bakal lini Pleats Please yang ia luncurkan pada tahun 1993 dan menjadi favorit banyak orang hingga hari ini.


Koleksi musim semi/panas 2020.


Koleksi musim semi/panas 2020.

Koleksi musim semi/panas 2020.


Koleksi musim semi/panas 2020.

Ia mempergunakan metode yang sama ketika ditunjuk sebagai desainer kostum para penari balet dari Frankfurt Ballet. Inovasi Miyake ini tentunya memberikan keleluasaan bergerak lebih bagi para penari untuk berputar, melompat, dan menggerakan tubuh mereka di atas panggung. Dunia seni tari memang begitu dekat dengan sosok Miyake. Tak hanya sempat bermimpi untuk menjadi seorang penari, Miyake kerap melibatkan sejumlah penari dan seniman untuk turut serta dalam helatan show miliknya. 



Presentasi koleksi Issey Miyake yang menampilkan seorang model melipat dan mengenakan busana rancangan sang desainer.


Presentasi koleksi musim gugur/ dingin 2014 Issey Miyake.


Gelaran show Miyake dikenal kontroversial pada masa itu, tak hanya menampilkan penari dan seniman yang menari dalam balutan rancangannya, para peraga ini bahkan dapat memakai dan melepas pakaian, serta mendorong batas-batas kreatif sebuah gelaran mode konvensional. Berbekal keindahan alam sebagai ilham utamanya, Miyake memvisikan sebuah mode yang ‘layak huni’ lewat gerakan. Ia memperlakukan pakaian layaknya arsitektur tubuh, memadankan teknologi dengan metode pemintalan khas Jepang, dan mempopulerkan materi kain yang lebih ringan dan bersifat bak kulit kedua. Pemahaman ini dapat terlihat jelas bahkan di toko-toko Miyake, di mana ia turun tangan langsung dalam desainnya dan kerap berkerja sama dengan teman-teman arsiteknya. Bersama Yohji Yamamoto dan Rei Kawakubo, Issey Miyake pun dikenal sebagai salah satu desainer penting Jepang yang mampu melawan arus mode di Paris pada tahun ‘90-an. Ketiganya berhasil mencipatakan siluet baru yang membebaskan mereka dari pakem desain pola ala barat.