21 April 2021
5 Sosok Perempuan yang Memperjuangkan Kesejahteraan Perempuan

Perjuangan melawan kolonialisme tak cuma digerakkan oleh RA Kartini. Sejumlah pejuang perempuan Indonesia mati-matian memperjuangkan kehidupan yang bermartabat.
Kemajuan bangsa Indonesia tidak lepas dari peran perempuan. Tidak sebatas melawan penjajahan, tapi juga mendobrak konsep patriarki dan mengupayakan terpenuhinya hak-hak perempuan. Suatu perjuangan yang dilakukan kaum perempuan dengan lantang berani. Tanpa keraguan dan ketakutan, perempuan turut berada di garis terdepan ketika bangsa ini tengah berusaha memerdekakan dirinya. RA Kartini, pahlawan perempuan yang hari kelahirannya dirayakan oleh bangsa Indonesia, adalah salah satu sosok pahlawan paling populer di negeri ini. Bicara soal perjuangan perempuan, maka beramai-ramai kita membahas Kartini. Kepopuleran Kartini seakan-akan menenggelamkan nama-nama perempuan lainnya yang jika dibahas perjuangannya, maka terkagum-kagum kita dibuatnya. Seperti misalnya lima sosok perempuan berikut, yang menegaskan pada kita semua bahwa di mana pun dan kapan pun, perempuan akan selalu bersuara, berkarya, dan berjuang lewat caranya masing-masing.
Laksamana Malahayati

Keumalahayati, namun lebih dikenal dengan Malahayati. Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah, adalah keturunan Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri Kesultanan Aceh Darussalam. Berbeda dengan perempuan kebanyakan, Malahayati sejak kecil tidak terlalu suka merias diri. Ia lebih senang berlatih ketangkasan yang membawa pada perjalanan menuju cita-citanya: menjadi panglima perang. Hasratnya itu barangkali mengalir turunan dari ayah dan kakeknya yang dulu pernah menjabat sebagai laksamana angkatan laut Aceh. Malahayati merupakan hasil didikan Mahad Baitul Makdis, akademi ketentaraan Kesultanan Aceh Darussalam.
Ia pernah menjadi Kepala Pengawal sekaligus Panglima Protokol Istana. Tidak hanya memimpin tentara yang didominasi laki-laki, Malahayati juga mengumpulkan kekuatan kaum perempuan, terutama para janda yang ditinggal mati suaminya dalam perang di Teluk Haru. Menurut Damien Kingsbury dalam Peace in Aceh (2006), barisan perempuan janda pemberani pimpinan Malahayati dikenal dengan nama Inong Balee. Dengan 2.000 personel, Malahayati menjadikan Teluk Lamreh Krueng Raya sebagai pangkalan militernya sekaligus membangun benteng dan menara pengawas.
Juni 1599, rombongan Belanda yang dipimpin Frederick dan Cornelis de Houtman merapat ke dermaga milik Aceh kemudian terjadi pertempuran di tengah laut. Awalnya kedatangan mereka disambut baik. Namun pada akhirnya, Cornelis justru mati di tangan seorang perempuan tangguh. Malahayati dengan rencong di tangannya, sementara kapten Belanda dengan senjata pedang. Di tengah pertarungan, Malahayati berhasil menikam Corneslis hingga tewas.
Lebih dari 400 tahun kemudian, Presiden Joko Widodo menyematkan gelar Pahlawan Nasional untuk Malahayati pada 6 November 2017. Kini orang-orang tahu bahwa Aceh bukan hanya punya Cut Nyak Dien dan Cut Meutia, tapi juga sosok perempuan lain yang tangguh dan berani, laksamana perempuan pertama di dunia, Malahayati.
HR Rasuna Said

Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Rasuna menyelesaikan pendidikan di Pesantren Ar-Rasyiddiyah. Ia satu-satunya santri perempuan di pesantren tersebut. Rasuna Said kemudian pergi ke Padang Panjang dan masuk Madrasah Diniyah Putri yang didirikan oleh Rahmah El Yunusiyah, salah satu tokoh emansipasi perempuan di Sumatera Barat.
Saat usianya 16 tahun, Rasuna memulai karier di dunia politik dengan berkecimpung di Sarekat Rakyat. Rasuna Said menjadi salah satu perintis PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia). Bersama PERMI, ia kerap menyampaikan orasi yang isinya mengecam pemerintah kolonial. Pemerintah geram melihat aksi Rasuna dan menangkapnya atas dasar menyebar ujaran kebencian di depan publik. Ia diadili dan dijatuhi hukuman 15 bulan penjara di Semarang dengan dakwaan spreekdelict karena sering berorasi menentang pemerintah.
Bebas dari penjara, Rasuna kembali ke Sumatera Barat untuk melanjutkan studi dan memulai gebrakannya di dunia jurnalistik. Ia mendirikan majalah Raya yang bertujuan menginspirasi kaum muda Minang agar terus berjuang melawan segala bentuk penjajahan. Peredaran majalah Raya sempat mendapat intimidasi dari pemerintah. Sebagian anggotanya merasa takut dan tidak berani meneruskan pembuatan majalah. Rasuna lantas pindah ke Medan dan mendirikan Menara Poeteri, majalah yang membahas peran perempuan dalam Islam dan nasionalisme.
Perjuangan Rasuna Said agaknya berbeda dengan R.A. Kartini yang menganggap kemerdekaan perempuan artinya bebas dari pingitan dan kungkungan adat yang menyiksa. Bagi Rasuna, perempuan Indonesia harus memikirkan gagasan berkebangsaan. Ia berpendapat, Indonesia tidak akan pernah bisa merdeka jika para perempuannya masih terbelakang. Perempuan di Indonesia wajib berpikiran maju dan cerdas. Soal relasi penikahan, Rasuna Said juga berbeda pilihan dengan Kartini. Kartini menerima perjodohan yang sebenarnya tidak ia hendaki. Demi rasa hormat pada orangtuanya, Kartini bersedia dinikahkan dengan Bupati Rembang yang pernah kawin tiga kali, kemudian membuka sekolah khusus anak-anak perempuan di kompleks kantor bupati milik suaminya. Rasuna Said tidak demikian. Bagi Rasuna, pernikahan tidak seharusnya memasung kebebasan perempuan.
Maria Walanda Maramis

Bukan hanya RA Kartini yang berjuang memajukan harkat dan martabat kaum perempuan di Indonesia. Maria Walanda Maramis dari Minahasa, Sulawesi Utara, sosok perempuan yang memperjuangkan emansipasi perempuan di Sulawesi sejak akhir abad ke-19, satu masa dengan Kartini.
Maria Josephine Catherine Maramis lahir pada 1 Desember 1872 di Desa Kema, Minahasa Utara. Saat usianya 6 tahun, ia sudah pandai membaca dan menulis. Ia juga memiliki keingintahuan yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Namun Maria hanya menempuh studi sampai tingkat sekolah dasar.
Saat itu di Minahasaꟷjuga banyak daerah di Indonesia lainnyaꟷbelum memperoleh keleluasaan untuk mendapat pendidikan tinggi. Kebanyakan perempuan diharuskan berada di rumah dan melakukan berbagai ‘pekerjaan perempuan’ sambil menunggu datangnya pinangan laki-laki. Pada 1890, Maria menikah dengan Yoseph Frederik Calusung Walanda, seorang guru sekolah dasar di Manado. Sejak menikah, ia semakin rajin membaca dan menulis. Maria juga mulai gemar mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai surat kabar. Maria kerap menulis tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Persoalan dasar yang berangkat dari pengalaman pribadi Maria.
Tahun 1917, Maria mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) yang menjadi wadah perjuangan kaum perempuan di Minahasa. Organisasi ini kemudian mendirikan sekolah khusus perempuan, Huishound School Pikat. Maria juga membuka Sekolah Kejuruan Puteri dengan asrama. Tahun 1919, badan perwakilan rakyat daerah Minahasa Raad dibentuk. Dan saat itu hanya laki-laki yang mempunyai hak suara untuk memilih wakil rakyat. Maria berjuang agar kaum perempuan juga memiliki hak yang sama, hak untuk memilih calon anggota dewan. Upayanya berhasil. Tahun 1921, perempuan berhak menyuarakan suaranya dalam pemilihan anggota Minahasa Raad. Dan berkat perjuangan Maria, kaum perempuan dapat dipilih untuk menjadi anggota badan perwakilan rakyat, Locale Raad dan Gemeentse Raad.
Maria meninggal dunia pada 22 April 1924 di usia 51 tahun. Tahun 1969, pemerintah Republik Indonesia menyematkan gelar pahlawan nasional kepada Maria Walanda Maramis.
Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan

Istri pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, sekaligus tokoh emansipasi perempuan Indonesia abad ke-20. Siti Walidah lahir pada 3 Januari 1872 di Kauman, sebuah kampung di lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ayahnya, K.H. Muhammad Fadli, adalah seorang ulama besar dan memiliki hubungan kerabat dengan istana.
Tahun 1889, Siti Walidah menikah dengan Ahmad Dahlan. Ia kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan. Bersama suaminya, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan Sopo Tresno, sebuah kelompok diskusi untuk mendalami makna Alquran, terutama ayat-ayat tentang perempuan. Sopo Tresno juga menjadi wadah bagi kaum perempuan untuk belajar membaca dan menulis, serta mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Sopo Tresno kemudian semakin besar dan anggotanya pun kian bertambah. Maka, pada 22 April 1917 nama perkumpulan Sopo Tresno pun diganti menjadi Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan ditunjuk sebagai pemimpinnya. Tahun 1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari organisasi Muhammadiyah. Kemudian berdirilah sekolah-sekolah khusus perempuan di bawah naungan Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan juga semakin giat memperjuangkan kesetaraan perempuan. Ia tidak setuju dengan konsep patriarki dan menentang praktik kawin paksa. Nyai Ahmad Dahlan juga menilai bahwa seorang istri adalah mitra yang setara bagi suaminya.
Tahun 1923, K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia. Nyai Ahmad Dahlan melanjutkan perjuangan suaminya, baik di Aisyiyah maupun Muhammadiyah. Pada 1926, ia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Nyai Ahmad Dahlan adalah perempuan pertama yang memimpin pertemuan besar.
Tahun 1942, wilayah Indonesia tidak lagi berada di bawah penjajahan Belanda, melainkan digantikan oleh pemerintahan militer Jepang. Aisyiyah kemudian dilarang oleh pemerintah Dai Nippon, namun Nyai Ahmad Dahlan tak lantas diam. Ia lantas bekerja di sekolah-sekolah bentukan Jepang agar bisa secara langsung mendidik anak-anak Indonesia. Usai Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 dan ketika Belanda datang lagi untuk kembali menguasai Indonesia, Nyai Ahmad Dahlan turut berjuang mempertahankan kemerdekaan dan sering dimintai nasihat oleh para tokoh bangsa termasuk Presiden Sukarno atau Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Rohana Kudus

Perempuan pertama yang menjadi jurnalis di Hindia Belanda. Rohana Kudus memulainya dari kebiasaan membaca dan menulis. Ia lahir dari keluarga yang gemar membaca. Lahir 20 Desember 1884 di Kotogadang, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya, Moehammad Rasjad Maharaja Soetan, seorang kepala jaksa, ikut berkontribusi dalam perkembangan intelektual Rohana. Ayahnya sengaja berlangganan koran dan menyediakan berbagai buku politik, sastra, dan hukum untuk dibaca anak perempuannya. Rohana punya kebiasaan yakni membaca buku dengan suara keras yang dilakukannya di tempat umum maupun teras rumahnya. Awalnya dianggap aneh, namun lama-lama suara lantangnya membuat banyak orang ikut belajar membaca dan menulis. Rohana kemudian mendirikan sekolah di rumahnya.
Tahun 1908, ia menikah di usia 24 tahun dengan seorang notaris bernama Abdul Koeddoes. Sejak itu ia dikenal dengan nama Rohana Koeddoes.
Rohana amat peduli dengan nasib perempuan. Ketidaktersediaan sekolah untuk pribumi perempuan mendorong Rohana untuk mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia di Kotogadang, sekolah kaum perempuan yang mengajarkan keterampilan. Perjuangan Rohana tidak berhenti hanya dengan mendirikan sekolah. Ia memperluas yakni berbagai pengetahuan dengan kaum perempuan. Selain mengajar, ia juga gemar menulis. Ia pun menulis di surat kabar Poetri Hindia, hingga akhirnya Rohana melahirkan surat kabar sendiri, Soenting Melajoe. Pada 10 Juli 1912, Soenting Melajoemenerbitkan edisi perdana. Soenting Melajoe memiliki pemimpin redaksi, redaktur, dan penulis, yang semuanya adalah perempuan. Surat kabar ini tidak hanya membahas gagasan dan masalah perempuan, tapi juga isu politik dan kriminal yang terjadi di ranah Minang.
Kiprah Rohana dalam bidang jurnalistik tak terbatas pada penerbitan Soenting Melajoe. Ketika pindah ke Medan tahun 1920, ia berpartner dengan Satiman Parada Harahap untuk memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Sekembalinya ke Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat menjadi redaktur di suratkabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di Padang. Tulisan-tulisan Rohana kebanyakan berisi ajakan pada kaum perempuan agar lebih maju. Ia pun mengkritik praktik pergundikan yang dilakukan orang-orang Belanda kepada perempuan Indonesia, pekerjaan tak manusiawi di Perkebunan Deli, dan permainan para mandor yang menjebak buruh-buruh perempuan dalam prostitusi.Perjuangannya tak selalu berjalan mulus. Beberapa kali dia mendapat cibiran dan fitnah, bahkan dari kaumnya sendiri. Rohana dianggap melawan adat dan menyalahi kodrat perempuan. 17 Agustus 1972, Rohana Kudus meninggal dunia di usia 88 tahun. Jasadnya dimakamkan di pemakaman umum Karet, Jakarta.