4 Agustus 2021
Gamaliél Melantangkan Suara Jati Diri

Gamaliél mendapati dialog kontroversi antara kehidupan masa kini dan masa lalu bergejolak di dalam dirinya, seiring hiatusnya GAC—grup musiknya bersama Audrey Tapiheru dan Cantika Abigail—sejak 2019. Laki-laki kelahiran tahun 1990 itu mulai menelaah kembali gairah musiknya pribadi. Lebih dari satu dekade menoreh karya, bukan sebuah keterlambatan baginya untuk memulai babak baru dalam perjalanan karier.
Lalu di bulan Januari 2020, ia mengejutkan publik dengan merilis single debut solonya, / forever more /, yang minim karakter R&B sebagaimana citra musik Gamaliél. Aransemen lagunya dibangun atas permainan biola dramatis, dan menunjukkan penjiwaan vokal yang kuat dalam menyanyikan barisan lirik puitis nan emosional. Transformasi seni musisi bernama lengkap Gamaliel Tapiheru tersebut pun mengantarkannya meraih Piala Anugerah Musik Indonesia 2020 sebagai Artis Solo Urban Terbaik. Saat minialbum solo perdananya, Q1 (baca: First Quarter), dilepas ke pasar pada Maret 2021 silam, Gamaliél seolah menegaskan identitas baru yang telah matang.

Gamaliél, bagaimana musik menjadi ruang untuk Anda bertumbuh sebagai manusia?
“Saya selalu meyakini bahwa musik merupakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar penghiburan. Bagi saya yang berkepribadian interover, musik menawarkan medium untuk membuka diri; ini adalah cara saya berekspresi dan berkomunikasi dengan dunia luar. Musik selayaknya oksigen, yang mana saya tidak bisa hidup tanpanya.”
Pengisahan dalam minialbum Q1 terdengar seperti fase kehidupan yang berat. Apa yang menjadi mindset Anda ketika mengerjakan proyek album ini?
“Saat memulai pengerjaan proyek solo ini, saya memiliki banyak sekali keinginan serta ide-ide akan konsep musiknya. Namun hal itu justru membuat saya kesulitan dalam memilah apa yang benar-benar ingin saya suarakan. Di tengah kebimbangan itu, saya mulai mempertanyakan apakah hidup saya telah berjalan sesuai keinginan sendiri, atau sebenarnya saya membangun keinginan tersebut di atas kemauan orang lain tanpa menyadarinya. Saya menelusuri kembali awalan yang menumbuhkan kecintaan saya terhadap musik. Pada satu titik, saya melalui sebuah pengalaman transedental dengan inner child saya, di mana saya menemukan ada ‘kemarahan’ dan ‘kekecewaan’ yang tidak saya sadari tumbuh menjadi akar permasalahan dalam diri saya.”
Amarah yang seperti apa?
“Rasa kecewa karena saya menyadari bahwa ternyata belum cukup berusaha lebih keras untuk memahami diri sendiri secara lebih baik. Ketika kreativitas bersinggungan dengan industri, kita kerap melupakan esensi awal yang menjadi motivasi kita berkarya. Alih-alih saya malah menghabiskan waktu mencari validasi dunia terhadap karya saya. Terlebih di zaman sekarang di mana segala sesuatunya, termasuk nilai seseorang, ‘dihitung’ oleh besaran angka. Padahal kenyataannya kita lebih dari sekadar itu. Selama lebih dari 10 tahun berada di industri musik secara profesional, saya merasa terbiasa ingin membuat ‘orang lain’ senang. Kebiasaan itu seolah tertanam dalam alam bawah sadar saya, dan pada akhirnya menyadari itu cukup membuat saya terpukul.”

Apakah musik yang Anda buat sekarang telah merepresentasikan pribadi Anda secara utuh?
“Yes. Karya solo ini menjadi bentuk perayaan terhadap memori kehidupan yang terlupakan dan eksistensi saya saat ini. Saya kembali mengeksplor berbagai musik di masa lalu—surprisingly bukan R&B—yang menumbuhkan kecintaan saya terhadap dunia ini, dan memberikan rasa damai di hati. Salah satunya, suara biola, sebuah alat musik yang gagal saya taklukkan kala mempelajarinya dahulu karena pesimis tak berbakat. Saya juga lebih banyak mengolah lirik secara implisit, bukan sajak yang menceritakan peristiwa secara gamblang. Lewat cara ini, interpretasi lagunya dapat berbeda bagi setiap pendengarnya, sehingga saya merasa lebih terhubung dengan orang lain.”
Ketika Q1 dirilis bulan Maret 2021 silam, kami berharap akan mendapatkan karya- karya Anda tiap tiga bulan berikutnya.
“Hahaha. Judul tersebut terinspirasi oleh siklus bulan. First Quarter menggambarkan setengah pertama dalam siklus awal perubahan bulan baru hingga menjadi penuh. EP ini selayaknya setengah perjalanan saya menuju pribadi yang utuh. Tentu saja keinginan menuntaskan siklus itu selalu ada, namun pandemi mengharuskan kita berkompromi pada situasi yang penuh ketidakpastian.”
Anda mencipta campaign bertajuk Indostan di media sosial. Apa yang menjadi fokus kecemasan Anda terhadap industri musik Indonesia saat ini?
“Faktanya, Indonesia memiliki banyak musisi berbakat. Namun tidak banyak yang mendapat apresiasi dan peluang yang layak, baik dipandang sebelah mata oleh masyarakat kita sendiri maupun di ranah global. Padahal secara karya kita tidak kalah hebat. Indostan adalah bentuk perayaan dan apresiasi saya terhadap musisi-musisi Tanah Air.”