17 Agustus 2020
Memahami Indonesia Lewat 3 Buku

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, kalimat yang dipopulerkan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu memahami sejarah perjuangan bangsa ketika para pejuang di negara ini mati-matian mengorbangkan jiwa dan raganya demi meraih kemerdekaan atas penjajahan. Kebebasan itu yang akhirnya kita nikmati dalam kehidupan hari ini.
Mengambil jarak jauh terhadap suatu hal dan peristiwa membuat kita mampu menemukan perspektif yang berbeda sekaligus dapat melihat dimensi secara lebih luas. Tak jarang, membahas sejarah dapat menggali persoalan-persoalan yang selama ini terpendam.

Hal itu yang dilakukan tiga buku berikut. Buku-buku ini mengangkat persoalan-persoalan pelik yang jarang sekali terpapar di kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Dengan membaca tiga buku ini, kita mampu menyelami kompleksitas Indonesia dan lebih jauh mencintainya.
AMBA

Novel karangan Laksmi Pamuntjak ini pertama kali terbit tahun 2012 dan sudah dicetak ulang berkali-kali serta diterjemahkan ke Bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda. Novel ini bercerita tentang Amba, seseorang yang sedang mencari kekasihnya, Bhisma. Bhisma merupakan tahanan politik pasca September 1965, lalu dibuang ke Pulau Buru. Novel ini mengangkat kisah manusia yang dibabat kemelut politik yang paling mematikan dalam sejarah kelam Indonesia.
“Yang saya lakukan bukan untuk mengoreksi sejarah dan tidak juga untuk mengatakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Ketika menjalin persahabatan dengan eks tahanan politik, saya melihat sejarah bukan sebagai narasi besar politik, melainkan sejarah sebagai kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Saya merasa terpanggil untuk memanggil ulang ingatan kolektif, bagaimana memahami sejarah kelam di masa lalu,” ungkap Laskmi dalam wawancara dengan media Jerman, Deutsche Welle, di Indonesia.
PULANG

Novel Pulang karya Leila S. Chudori langsung memikat para juri Kusala Sastra Khatulistiwa 2013. Penulis sekaligus jurnalis ini pun diganjar penghargaan kategori prosa.
Pulang mengisahkan Dimas Suryo yang tak bisa kembali ke Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965. Ia kemudian mendapat suaka dan tinggal di Paris, kemudian menjalani bisnis restoran bersama tiga sahabatnya. Rasa bersalah terus membayangi hidup mereka karena sahabat-sahabatnya di Indonesia dihabisi tentara.
Leila S. Chudori terinspirasi menulis Pulang setelah melihat langsung dampak buruk dari peristiwa 30 September 1965. “Titik baliknya saat usai kuliah, saya singgah di Paris, dan mampir ke restoran Indonesia yang dikelola para eksil,” ujar Leila, seperti dikutip CNN Indonesia. Ia juga mengatakan, tema kebebasan bersuara dan berekspresi menjadi napas dalam tulisan-tulisannya, bahkan sejak ia masih anak-anak.
TANAH AIR YANG HILANG

Buku ini ditulis oleh Martin Aleida, sastrawan yang pernah menjadi tahanan politik tahun 1965. Pada 2016, Martin mewawancarai 19 eksil alias orang yang berada di luar negeri karena terpaksa atau pilihan sendiri, dalam hal ini di Eropa. Mereka dahulu harus meninggalkan Indonesia lantaran peristiwa 1965.
Dengan suasana ketakutan atas kekuasaan yang semena-mena, identitas dan status warga negara 19 orang ini pun raib. Kisah-kisah pilu para eksil ini dituang Martin Aleida menjadi 19 cerita dalam Tanah Air yang Hilang.
Dalam buku ini, ada satu cerpen ditulis berdasarkan wawancara dengan seorang eksil. Cerpen tercipta lantaran sang narasumber tidak ingin kebenaran dan traumanya diketahui publik. Martin lalu menyamarkan fakta-fakta dari cerita eksil tersebut menjadi cerpen berjudul Tanah Air. Martin mengaku tidak mau kehilangan akal untuk mengungkap kebenaran.