CULTURE

30 Maret 2022

MENYIMAK FILM INDONESIA DARI PERSPEKTIF PEREMPUAN


MENYIMAK FILM INDONESIA DARI PERSPEKTIF PEREMPUAN

Representasi perempuan di perfilman bukan hanya soal keterwakilan, melainkan tentang pentingnya kemunculan sudut pandang perempuan yang mengubah lanskap industri perfilman Indonesia.

Penempatan perspektif perempuan dalam produksi perfilman menyumbang kontribusi penting berupa makna dan perspektif feminin yang terasa kuat sekaligus berdaya. Kontribusi kaum perempuan di industri film tidak semata-mata sebagai pelengkap yang mempercantik estetika demi kepuasan mata penonton. Melainkan turut menyuarakan pengalaman-pengalaman khas perempuan yang kerap didiskriminasi dan diperlakukan tidak adil. Kontribusi positif dapat ditelisik lewat rekam jejak sutradara perempuan di industri perfilman dari masa ke masa. Sebuah dedikasi dan konsistensi untuk mengembangkan perfilman Tanah Air dengan cara-cara perempuan.

Kita dapat menarik ke masa lalu untuk melihat bagaimana sejarah kemunculan sutradara perempuan dalam dunia perfilman Indonesia. Sejarah mencatat, sutradara perempuan pertama adalah Ratna Asmara yang menyutradarai film Sedap Malam di tahun 1950. Ratna sendiri merupakan seorang aktris yang telah bermain peran dalam beberapa judul film dan pertunjukan teater sebelum akhirnya menggarap Sedap Malam. Dalam lompatan yang lebih lebar, Ratna Asmara turut mendirikan perusahaan film dan memproduksi film.

Industri perfilman Indonesia kemudian mengalami perkembangan signifikan dalam berbagai aspek. Mulai dari penulisan naskah, sampai hal-hal teknis seperti sinematografi. Termasuk kemajuan di balik layar sebuah produksi film yang ditandai dengan menggeliatnya kaum perempuan yang berperan sebagai sutradara. Kontribusi perempuan dalam penyutradaraan film menjadi catatan sejarah yang memperkaya industrinya. Sutradara perempuan kerap mengeksplorasi ruang-ruang kreasi hingga titik yang sebelumnya tak pernah dijamah. Selain menggabungkan unsur estetika dan visual, karya-karyanya adalah representasi tentang realitas sekitar yang dibalut secara hangat, inspiratif, menghibur, dan terkadang politis.

PASIR BERBISIK

Film ini berkisah tentang Daya (Dian Sastrowardoyo), seorang perempuan muda yang tinggal bersama ibunya, Berlian (Christine Hakim), di sebuah perkampungan di dekat pantai. Berlian sangat ketat menjaga Daya dan sifat protektifnya ini terjadi karena ayah Daya (Slamet Rahardjo) pergi meninggalkan sejak Daya masih kecil. Daya dan ibunya tinggal di daerah yang sedang memanas akibat terjadi beberapa peristiwa pembunuhan. Situasi ini memengaruhi Berlian dalam mendidik anak perempuannya. Daya lantas kehilangan kebebasan untuk melakukan apa yang dia mau, termasuk bergaul dengan orang-orang. Dalam kesepiannya, Daya sering menelungkupkan diri ke dalam tanah pasir dan selalu mengira bahwa pasir berbisik kepadanya.

Dirilis pada tahun 2001, Pasir Berbisik disutradarai oleh Nan Achnas dan ditulis oleh Rayya Makarim. Salah satu film Indonesia terbaik yang memenangkan 16 penghargaan di berbagai ajang festival film, di antaranya yakni Asia Pacific Film Festival 2001, Festival Film Asiatique Deauville 2002, Festival Film Antarbangsa Singapura ke-15, dan nominasi di delapan kategori dalam ajang Festival Film Indonesia 2004.

KULDESAK

Film ansambel ini dirilis pada tahun 1998 yang menandai kebangkitan perfilman Indonesia setelah mati suri selama beberapa tahun sebelumnya. Dan sampai sekarang masih sering ditayangkan di berbagai forum saat memperingati Hari Perfilman Nasional. Kuldesak sendiri merupakan gabungan 4 segmen cerita yang dirangkai menjadi satu. Masing-masing diciptakan dan ditulis oleh Mira Lesmana, Nan Achnas, Riri Riza, dan Rizal Mantovani. Penggambaran cerita berfokus pada kehidupan 4 anak muda di Jakarta pada pertengahan 1990-an. Konflik mereka dieksplorasi dalam 110 menit durasi.

Dalam suatu babak, dikisahkan empat sosok anak muda dengan masalah yang berbeda-beda namun sama-sama punya obsesi dan mimpi. Dina (Oppie Andaresta), seorang perempuan yang mencintai idolanya setengah mati dan berharap bisa berpacaran dengannya. Dina lalu berteman dengan Budi (Harry Suharyadi), seorang homoseksual yang berpacaran dengan Yanto (Gala Rostamaji). Segmen cerita ini digarap dan ditulis oleh Nan Achnas.

Karya Mira Lesmana menceritakan kehidupan Aksan (Wong Aksan), anak pemilik penyewaan laser disc film yang terobsesi menjadi pembuat film. Obsesinya itu sampai-sampai membuat Aksan berani merampok uang ayahnya sendiri akibat dihasut Aladin (Tio Pakusadewo), sosok laki-laki yang terus-menerus mendorong Aksan agar dia mewujudkan impian menjadi sineas.

Dua sutradara perempuan dalam formasi film omnibus Kuldesak ini boleh dibilang ikut memberi warna baru yang segar pada perfilman Indonesia. Bersama 2 sutradara lainnya, Kuldesak mengedepankan isu-isu sosial yang kala itu masih amat tabu untuk diperbincangkan. Kuldesak menyindir hubungan antara orangtua dan anak di era modern. Tergambar pada cerita Aksan bahwa orangtuanya tidak menginginkan dia menjadi pembuat film. Kuldesak juga mengangkat isu perempuan lewat kisah perempuan korban perkosaan yang tak berdaya untuk mencari keadilan. Sementara di tangan Nan Achnas, film ini menampilkan keberadaan pasangan homoseksual sekaligus menyiratkan nasib kelompok LGBT di Indonesia.

Kehidupan kaum muda yang bebas khas metropolitan dibeberkan secara apik di Kuldesak. Menyuguhkan cerita ironis generasi muda 90-an di Jakarta yang dilanda kesepian akut di tengah ingar-bingar kehidupan Ibu Kota. Keempat cerita pun berakhir tragis dan kelam. Meski sarat isu-isu penting, para sutradaranya tetap bersikap netral. Tidak berusaha memberi motivasi atau nasihat apa-apa, tapi membiarkan penonton berpikir dan menentukan sendiri nilai-nilai apa yang mau mereka ambil.

BERBAGI SUAMI

Salah satu karya sutradara Nia Dinata dengan jajaran ensemble cast yang berlimpah lengkap dengan cameo yang tak kalah menarik. Diperankan oleh Jajang C. Noer, Lukman Sardi, Rieke Diah Pitaloka, Tio Pakusadewo, Ira Maya Sopha, Winky Wiryawan, dan Dominique. Lewat sudut pandang perempuan, film Berbagi Suami kental terasa sebagai film feminis yang ‘menyerang’ kelompok konservatif pendukung poligami sekaligus meluapkan amarahnya pada ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi para perempuan. Tiga cerita dengan atmosfer dan situasi yang berbeda disatukan dalam benang merah tema yang sama: kehidupan perempuan yang menjalani rumah tangga poligami.

Berbagi Suami, karya Nia Dinata.

Namun alih-alih terasa penuh kebencian dan depresif, Berbagi Suami malah hadir dengan suasana yang cenderung tidak terlalu serius dengan bumbu komedi sebagai sentuhannya. Film ini menyampaikan segala kritik dan keresahan secara cerdas namun hangat. Belum lagi sinematografi, scoring, dan naskah yang begitu indah dan rapi yang makin menguatkan Berbagi Suami sebagai salah satu film Indonesia yang well-made.

GURU-GURU GOKIL

Ada banyak film yang menceritakan tentang kehidupan di sekolah, namun sering kali mengambil sudut pandang dari murid-murid. Dalam film Guru-Guru Gokil, sang sutradara Sammaria Simanjuntak menyorot kehidupan sekolah dari perspektif guru-gurunya. Ditulis oleh Rahabi Mandra, film dengan genre drama komedi ini mengisahkan seorang laki-laki bernama Taat Pribadi (diperankan Gading Marten) yang bercita-cita menjadi orang kaya. Menurutnya, orang sukses adalah orang yang memiliki banyak uang dan harta.

Karena itu, Taat tidak ingin menjadi guru seperti ayahnya. Ia menganggap profesi guru tidak menjanjikan dan terlihat jauh dari konsep kesuksesan yang dia bayangkan. Dari daerah asalnya, Taat merantau ke Ibu Kota untuk mencari pekerjaan yang menurutnya lebih prestise daripada menjadi guru. Tak kunjung mendapat pekerjaan, Taat akhirnya menyerah dan kembali ke kampung halaman. Dia memutuskan mau mencoba untuk menjadi guru SMA di tempat ayahnya bekerja.  

Dengan bumbu komedi yang mewarnai jalan cerita, dikisahkan perjalanan Taat dalam menjadi guru tidaklah mudah. Berbagai rintangan dan kisah-kisah drama di dalamnya menjadikan Guru-Guru Gokil sebagai salah satu film yang membawa tema menarik dalam kemasan drama comedy secara apik. Selain Gading Marten, film ini turut dibintangi oleh Faradina Mufti, Asri Welas, Dian Sastrowardoyo, dan Kevin Ardilova.

DUA GARIS BIRU

Sebuah karya yang menandai babak pertama pengalaman Gina S Noer sebagai sutradara  film. Dikenal sebelumnya sebagai penulis skenario, Gina menghadirkan isu penting yang tabu dibicarakan dalam film berjudul Dua Garis Biru. Diperankan oleh Angga Yunanda dan Zara Adhysty, Dua Garis Biru mengisakan kisah percintaan dua remaja berusia belasan tahun yakni Dara dan Bima. Kendati keduanya berasal dari kelas sosial dan ekonomi yang berbeda, hubungan percintaan mereka terlihat baik-baik adanya sampai akhirnya Dara tiba-tiba hamil. Tanpa punya pendidikan seks yang cukup memadai, Dara dan Bima dilanda kekalutan dan tak tahu harus berbuat apa. Mengira bahwa persoalan hamil di usia remaja bakal selesai dengan solusi “Saya akan bertanggung jawab”, dua remaja ini justru terseret masuk ke dalam problem yang lebih kompleks. Kemarahan, kekecewaan, dan penyesalan berbaur jadi satu.

Kendati mengusung tema ‘hamil di luar nikah’, Dua Garis Biru tidak mengglorifikasi seksualitas ataupun kenakalan remaja. Film ini justru menunjukkan tentang pentingnya pemahaman mengenai seksualitas bagi generasi muda. Sang sutradara tampak membuka ruang diskusi selebar-lebarnya, khususnya antara orangtua dan anaknya, untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang terjadi akibat ketidaktahuan kita tentang seksualitas.

Dalam beberapa dialog dalam film, kita diperlihatkan bahwa orangtua kerap kali menaruh rasa khawatir yang berlebih kepada dampak buruk narkoba ketimbang juga ikut membicarakan seksualitas di atas meja makan. Selain menggelitik pikiran melalui naskah yang sangat baik, Gina S Noer juga menyelipkan simbol-simbol sarat interpretasi sepanjang durasi, misal buah stroberi yang diasosiasikan dengan janin bayi dan kerang yang diibaratkan seperti keperawanan perempuan.

MARLINA: SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK

Mengisahkan perjalanan seorang perempuan di pedalaman Sumba yang mencari keadilan atas pemerkosaan yang menimpa dirinya. Marlina si perempuan Sumba yang hidupnya amat berat. Suaminya meninggal dan karena belum punya cukup uang untuk memakamkan, mayat si suami pun diletakkan di ruang tamu rumahnya. Belum lama sang suami meninggal, datang 7 orang laki-laki ingin merampok dan meniduri Marlina di rumahnya sendiri. Alih-alih menjerit atau menangis ketakutan, Marlina justru tampak tenang namun otaknya tetap berpikir mencari jalan yang paling ‘masuk akal’. Yang dilakukan Marlina bisa jadi amat menakutkan dan belum tentu bisa dilakukan orang lain. Ia ‘menghabisi’ seluruh laki-laki di rumahnya.

Terbagi dalam 4 pembagian cerita, Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak dipenuhi dengan kritik sosial yang tertuang dalam aliran ceritanya. Bukan hanya menjadi objek bagi para laki-laki, perempuan juga hampir tidak pernah didengar apalagi diperlakukan dengan adil. Film ini mengusung sosok Marlina (diperankan Marsha Timothy) yang merepresentasikan kaum perempuan sebagai kaum yang sulit mendapatkan hak-hak atas diri dan tubuhnya.

Selain kritik sosial, Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak juga menyorot isu kesenjangan ekonomi yang kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Dalam film diceritakan bahwa Marlina tak memiliki cukup uang untuk memakamkan jasad suaminya sampai akhirnya ia harus menggeletakkannya di sudut rumah. Dan ketika ia berjalan mencari keadilan atas tindakan pemerkosaan, Marlina mendapati akses transportasi dan komunikasi menjadi salah satu hambatannya.

YUNI

Sebelum hadir di negara sendiri, Yuni sudah mencuri perhatian di panggung dunia. Ditayangkan di Vancouver International Film Festival 2021, Busan International Film Festival 2021, Chicago International Film Festival 2021, Rome Film Fest 2021, Brisbane International Film Festival 2021, dan Philadelphia Film Festival 2021. Disutradarai oleh Kamila Andini, ada banyak sekali “harta karun” yang tersaji dari film Yuni.  Film ini merangkum dengan jujur gambaran potret remaja perempuan-perempuan di pelosok Indonesia yang dituntut menjadi dewasa sebelum waktunya. Merelakan mimpi untuk berpendidikan tinggi lalu menjalani hidup sebagai perempuan yang sesuai norma: menikah, melayani suami, dan mengurus anak.

Film ini mengisahkan kehidupan remaja perempuan Yuni (Arawinda Kirana). Sebagaimana remaja pada umumnya, Yuni punya hobi di luar kegiatan sekolah. Ia senang mendengarkan musik dan gemar berlatih pencak silat. Walau bersifat kritis, Yuni tak pernah mangkir dari bangku sekolah. Ia rajin belajar karena memang salah satu cita-citanya adalah meraih beasiswa di perguruan tinggi. Sayangnya cita-cita Yuni tak didukung orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. Alih-alih didorong untuk berpendidikan tinggi, Yuni justru berkali-kali berusaha dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan tidak dia kenal.

Film Yuni merangkum berbagai isu perempuan secara apa adanya. Bahwa perempuan tak pernah punya kebebasan untuk memilih, perempuan diposisikan sebagai objek yang tidak perlu bersuara, dan perempuan tugas utamanya adalah menikah dan mengurus anak. Berbagai stigma yang menganggap perempuan makhluk lemah tak berdaya ini menjadi persoalan yang benar-benar terjadi. Lewat film Yuni, sang sutradara menebar realitas kelam posisi perempuan di dalam masyarakat yang mencekik lewat tradisi dan aturan khas patriarki.