CULTURE

23 Desember 2021

'Mereka yang Menunggu di Banda Naira': Lakon Sejarah Bangsa


'Mereka yang Menunggu di Banda Naira': Lakon Sejarah Bangsa

Kisah para tokoh bangsa Republik Indonesia di tanah pembuangan Banda Naira.

Banda Neira, Kepulauan Banda, Maluku merupakan lokasi pembuangan para tahanan politik zaman Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Tempat ini juga menjadi saksi bisu pertemuan empat tokoh pergerakan Indonesia yaitu Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Iwa Koesoema Soemanteri.

Kisah para tokoh bangsa Republik Indonesia di tanah pembuangan Banda Naira ini diangkat dalam lakon teater berjudul Mereka yang Menunggu di Banda Naira. Dalam durasi 120 menit, Mereka yang Menunggu di Banda Naira menceritakan tentang pertemuan empat tokoh pergerakan Indonesia: Bung Sjahrir, Bung Tjipto, Bung Hatta, dan Bung Iwa, di tanah pembuangan Banda Neira. Tahun 1936, Sjahrir dan Hatta tiba di Banda Neira sebagai tahanan politik. Mereka bertemu dengan tahanan politik lainnya, Tjipto dan Iwa, yang sudah terlebih dahulu berada di sana. Meski ada dalam pengasingan, keempat tokoh ini tak gentar meneruskan perjuangan di bidang sosial dan pendidikan.

kiri-kanan: Mohammad Hatta (Tanta Ginting), Des Alwi (Akiva Sardi), Tjipto Mangoenkoesoemo (Lukman Sardi), Iwa Koesoemo Soemanteri (Verdi Solaiman), Sutan Sjahrir (Reza Rahadian)
Dok. Titimangsa Foundation

Kesibukan mereka di dalam tahanan rupanya tak disukai oleh penguasa Hindia Belanda, Kloosterhuis, yang akhirnya memberlakukan pembatasan-pembatasan ruang gerak. Di tengah perjuangannya selama berada di Banda Neira, Sjahrir terus diliputi perasaan gelisah karena terpisah dengan kekasih hatinya, Maria, yang saat itu berada di Belanda. Kendati surat-surat dari Maria selalu datang, Sjahrir tetap selalu merasa ada yang kurang tanpa kehadiran sang kekasih. Ia ingin Maria ada di sisinya. Kenangan-kenangan indah bersama Maria senantiasa berkelebat dalam benak Sjahrir ketika ia sedang menyendiri di pantai. Sjahrir pun setia menunggu Maria datang ke Banda Neira.

Kisah dalam pementasan ini tak sekadar mengisahkan perjuangan politik, tapi juga pergulatan batin para tokoh-tokohnya, antara semangat zaman kemerdekaan dan kisah cinta atau kehidupan personal mereka. Semangat perjuangan para tokoh bangsa yang diasingkan di Banda Neira ini tak tergerus tekanan dan situasi asing. Di tengah pengawasan dan pembatasan ruang gerak oleh pihak Belanda, mereka tetap menggeliat mencari cara agar dapat terus melakukan perjuangan dalam bentuk apa pun.

Kemauan dan semangat untuk terus bergerak di tengah situasi yang serba terbatas ini sangat relevan dengan kondisi kita pada hari ini. Semangat untuk tidak berhenti berkarya meski pandemi membatasi ruang gerak.

Dok. Titimangsa Foundation

Pementasan teater Mereka yang Menunggu di Banda Naira mengumpulkan nama-nama pemain yang telah berdedikasi di industri perfilman dan seni teater. Reza Rahadian memerankan Sutan Sjahrir, Lukman Sardi sebagai dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Tanta Ginting menjadi Mohammad Hatta, Verdi Solaiman sebagai Iwa Koesoema Soemanteri, dan Willem Bevers memerankan Kloosterhuis. Turut bergabung dalam jajaran pemain yakni aktris yang baru kali pertama menjejakkan kaki di panggung teater, Julie Estelle sebagai Maria Duchtaeau dan aktor cilik pendatang baru, Akiva Sardi sebagai Des Alwi.

“Pengalaman pertama saya dalam bermain teater ini sungguh luar biasa. Banyak ilmu baru yang saya peroleh. Saya bersama para pemeran lainnya, mulai berlatih dan memperdalam karakter yang kami perankan sejak September 2021. Untuk memerankan karakter Maria, saya melakukan riset dengan membaca bagaimana sosok Maria, bagaimana perempuan asal Belanda yang sudah memiliki dua anak, jatuh cinta kepada Sutan Sjahrir. Beradu akting di atas panggung teater juga berbeda dengan film. Di sini saya merasa dekat dengan penonton karena saya dapat melihat dan merasakan secara langsung bagaimana ekspresi mereka. Semoga penampilan ini dapat diterima dengan baik oleh para penikmat seni,” ujar Julie Estelle.

Dok. Titimangsa Foundation

Pertunjukan ini disutradarai Wawan Sofyan dan diproduseri oleh Happy Salma. Naskah cerita ditulis oleh Gunawan Maryanto yang ditafsir ulang oleh Wawan Sofyan. Tak hanya itu, pentas ini juga melibatkan sederet nama yang sudah berpengalaman di dunia seni pertunjukan. Deden Jalaludin Bulqini sebagai Pimpinan Artistik, Novi Purnama sebagai Penata Musik, Retno Ratih Damayanti sebagai Penata Kostum, Aji Sangiaji sebagai Penata Cahaya, Yudin Fakhrudin sebagai Penata Rias dan Ruby Roesli sebagai Skenografer.

“Dalam pementasan ini, para penikmat seni dan para pemeran sama-sama berada di atas panggung. Bahkan para penikmat seni dapat melihat jelas setiap pergantian babak dan set, bagaimana kerja sama aktor dan kru terasa begitu dekat dan nyata. Pertunjukan ini bagi saya pribadi membuka banyak pikiran akan cita-cita kemerdekaan yang diucapkan oleh Bung Sjahrir, Bung Hatta, Bung Iwa Soemantri, dan Bung Cipto. Des alwi serta perempuan Belanda yang bernama Maria begitu menohok, terutama soal keragaman dan harga diri. Semoga penikmat seni yang akan menyaksikan lakon ini dari rumah secara virtual dapat merasakan energi yang sama dengan para penikmat seni yang melihatnya secara langsung di gedung seni pertunjukan,” ujar Happy Salma.

Dok. Titimangsa Foundation

Lakon teater Mereka yang Menunggu di Banda Naira telah dipentaskan secara langsung pada 25 November 2021 silam di Gedung Kesenian Jakarta. Dan menjadi pementasan pertama yang digelar secara langsung di gedung seni pertunjukan oleh Titimangsa Foundation dan Bakti Budaya Djarum Foundation selama masa pandemi. Pertunjukan seni yang kaya akan kisah sejarah dan nilai-nilai kebangsaan ini dapat disaksikan secara virtual di kanal YouTube IndonesiaKaya, sejak 17 Desember 2021 sampai 6 bulan ke depan.