26 Februari 2020
Women In Cinema 2020: Perempuan Bercerita

Asmara Abigail, Chelsea Islan, Hannah Al Rashid, Karina Suwandi, Kelly Tandiono, Luna Maya, Mouly Surya, Pevita Pearce, Rayya Makarim, Upi, Retno Ratih Damayanti, dan Salvita Decorte mengungkap sudut pandang sekaligus permasalahan yang (masih) kerap terabaikan di dunia perfilman.
Lebih dari sekadar gambar bergerak yang diputar di layar perak, film adalah cara kita membicarakan kehidupan. Bentuk arsip sosial yang menangkap peristiwa manusia pada zamannya. Sebuah medium yang mampu menyelami banyak ruang; dari kisah-kisah personal, cinta yang tersimpan, kenangan masa silam, hingga alat perlawanan. Lepas dari persoalan apakah suatu film bakal laku di pasaran atau tidak, yang terpenting ialah film mampu merepresentasikan realitas manusia dan kehidupan masyarakat.

Kehadiran dan peran perempuan dalam industri perfilman menjadi kajian yang menarik untuk dicermati. Bukan menghitung faktor-faktor yang berkaitan dengan fisik, tetapi menyorot kemampuan dan hasil kerjanya secara objektif. Di tahun kedua Women in Cinema, ELLE kembali mengangkat sosok perempuan di industri perfilman Tanah Air. Mereka ialah Asmara Abigail (aktris), Chelsea Islan (aktris), Hannah Al Rashid (aktris), Karina Suwandi (aktris), Kelly Tandiono (aktris), Luna Maya (aktris), Mouly Surya (sutradara), Pevita Pearce (aktris), Rayya Makarim (penulis naskah), Upi (sutradara), Retno Ratih Damayanti (penata kostum), dan Salvita Decorte (aktris).

Kontribusi perempuan di perfilman menjadi catatan sejarah yang memperkaya industrinya. Sineas perempuan kerap mengeksplorasi ruang-ruang kreasi hingga titik yang sebelumnya tak pernah dijamah. Selain menggabungkan unsur estetika dan visual, karya-karyanya adalah representasi tentang realitas sekitar yang dibalut dengan inspiratif, hangat, menghibur, dan terkadang politis. Di saat bersamaan, karya-karya para perempuan di perfilman tidak lepas dari gagasan feminisme. Bahwa melalui film, mereka hendak menyuarakan pengalaman khas perempuan mulai dari diskriminasi, dipandang remeh, dan diperlakukan tidak setara.

“Permasalahan jam kerja. Kadang tidur hanya 3-4 jam sehari dengan jam kerja 6 hari seminggu dalam waktu syuting paling cepat 20 hari secara terus-menerus. Selain itu, asuransi keselamatan kerja para pemain yang belum menjadi standar umum sehingga tidak semua rumah produksi menerapkannya.” —Chelsea Islan
“Pelecehan di lokasi syuting masih menjadi isu penting yang belum selesai. Sistem di dalam industri ini harus dibenahi. Saya sendiri ingin ikut berkontribusi dan memikirkan apa yang harusnya menjadi standar umum agar kami para perempuan merasa aman di tempat kerja.” —Hannah Al Rashid

"Kita sangat kekurangan tenaga ahli. Sering kali terjadi rebutan kru di tengah jadwal produksi yang padat. Jumlah produser pun sangat sedikit. Regenerasi mestinya tidak hanya untuk pemain, tapi juga kru film.” —Mouly Surya
“Sudah sepatutnya para pekerja film diperlakukan sebagai tenaga kerja profesional, dengan adanya aturan yang jelas mengenai jam kerja dan regulasi asuransi tenaga kerja, terutama bagi orang-orang di balik layar.” —Salvita Decorte

“Selama ini kita melihat ketika seorang aktris menua, maka karakternya tidak jauh dari peran sebagai orangtua. Ibunya si A atau ayahnya si B. Nyaris bukan sebagai lead actor. Di luar negeri, The Irishman dan Bombshell memasang aktor-aktor senior yang tidak muda sebagai pemeran utamanya." —Karina Suwandi
"Ada film-film yang memakai bahasa nonverbal sehingga memang tidak mudah dipahami. Film-film yang berbicara lewat simbol, memakai bahasa visual, menerapkan struktur yang tidak linear, mungkin hanya diminati orang-orang tertentu." —Retno Ratih Damayanti

“Saya rasa kita dibiarkan bodoh sejak kecil. Termasuk lewat penyajian program acara televisi yang tidak mendidik. Maka tidak heran jika akhirnya kita tidak mampu memahami cerita-cerita seperti Marlina dan Kucumbu Tubuh Indahku. Harus ada pembenahan dari para pemilik stasiun televisi, pemimpin-pemimpin media, produser film, serta mereka yang membuat kebijakan. Masyarakat Indonesia harus dibentuk menjadi individu yang kritis dan kreatif.” —Upi
“Saya merasa bahwa filmmaker punya kekuatan untuk mengubah pikiran dan keadaan. Karena itu, saya selalu berusaha menciptakan karakter perempuan yang punya kekuatan, bukan menjadi korban. Lewat film, saya ingin perempuan tampil sebagai sosok yang punya pilihan untuk memilih jalan keluarnya sendiri." —Rayya Makarim

"Tidak pernah ada kata cukup untuk peran perempuan di sinema Indonesia. Industri perfilman kita tumbuh sangat cepat dan kita butuh talenta-talenta baru untuk menghidupkannya." —Pevita Pearce
“Tidak hanya di jalur modeling, saya ingin bisa berkarya sebagai pemain film yang menjangkau secara luas ranah internasional, seperti Iko Uwais dan Joe Taslim. Tentu tidak mudah dan perlu waktu, namun saya akan memperjuangkan cara-caranya.” —Kelly Tandiono

“Melihat kesuksesan film Imperfect dengan 2,6 juta penonton, saya sangat antusias melihat kemunculan banyak cerita film yang lebih beragam, lebih jujur, dan lebih related dengan kehidupan manusia Indonesia.” —Asmara Abigail
“Melihat peningkatan jumlah penonton, artinya sebagai suatu bisnis sangat menjanjikan. Ada perputaran ekonomi sehingga ekosistemnya pun bertumbuh dan industrinya menjadi lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Ketika film lokal semakin beragam dan penontonnya semakin banyak, maka napas perfilman Indonesia bisa menjadi sangat panjang.” —Luna Maya
Baca wawancara eksklusif masing-masing pasangan bersama ELLE dalam special feature ELLE Indonesia Maret 2020: Women in Cinema. Telah terbit!
photography IFAN HARTANTO styling SIDKY MUHAMADSYAH
makeup ABIELA AMANDA, ADITYA WARDHANA, ARCHANGELA CHELSEA, CLAUDYA CHRISTIANI PURBA, ENGELINA INEZ, IFAN RIVALDI, PRISCILLA RASJID
hairdo AILEEN KUSUMAWARDANI, EKA SARI WAHYUNI, OCA PS, SHABURA
production assistant AYU NOVALIA, SHAMIRA photographer assistant NORMAN FIDELI, INDRA PERMANA, GAVRIELA GO