FASHION

9 September 2025

Heaven Tanudiredja Meninggikan Standar Mode Indonesia di Panggung Internasional


Heaven Tanudiredja Meninggikan Standar Mode Indonesia di Panggung Internasional

Nama Heaven Tanudiredja bukanlah nama pemain baru. Meski baru meluncurkan label busananya pada tahun 2018, nyatanya nama sang desainer telah terdengar di industri mode dunia sejak meluncurkan label perhiasan kontemporer miliknya di Antwerp, Belgia. Namanya pun semakin diperhitungkan mengingat dirinya pernah berkolaborasi dengan nama-nama besar semacam John Galliano dan Dior, Dries Van Noten, Juun.J, dan Iris Van Herpen. Meretas ke dalam industri ini tentunya bukanlah perkara mudah. Namun Heaven Tanudiredja berhasil melakukannya dengan caranya sendiri. Dikenal lewat kreasi perhiasan sculptural dan gaun-gaun indahnya yang disulam tangan secara mendetail, sang desainer menunjukkan kebolehannya bergelut di industri mode internasional.

Lahir di Bali namun dibesarkan di Jakarta, Heaven Tanudiredja selalu menginginkan dirinya untuk menjadi seorang fashion designer sejak ia masih kecil. “Sejak kecil, saya selalu suka sesuatu yang tidak saya mengerti,” kenangnya. “Mungkin sedikit agak tidak lazim dan bahkan mungkin mengganggu. Namun saya merasa sesuatu yang terlalu indah itu membosankan.”


Heaven, sebagaimana ia akrab disapa, kemudian memutuskan untuk mengenyam pendidikan mode di ESMOD Jakarta dan bekerja sebagai asisten salah satu desainer kenamaan Tanah Air, Biyan Wanaatmadja, di usianya yang masih 16 tahun. Pengalaman ini tak hanya membukakan mata Heaven akan realita bekerja di industri mode untuk pertama kalinya namun turut membentuk karakternya. “Mas Biyan memainkan peran besar dalam membangun karakter saya,” tuturnya. “Pada saat saya bekerja untuk mas Biyan, ia masih muda dan sangat keras dalam mendidik saya, hampir seperti seorang kepala sekolah yang sangat keras dan galak.”

Selama bekerja sebagai asisten desainer, Heaven belajar banyak hal dari Biyan, mulai dari tailoring, komposisi warna, memotong renda untuk membentuk motif hingga draperi potongan bias. “Karena itu saya belajar banyak darinya,” ujarnya. “Dan apa yang saya dapat dari didikan Mas Biyan pada saat itu masih saya terapkan sampai sekarang.”



Sosok Biyan Wanaatmadja pula yang mendorong Heaven untuk kembali duduk di bangku kuliah dan memperdalam ilmu tentang mode. Setelah lima tahun bekerja di Biyan, Heaven pun bertolak ke Belgia untuk kembali mengenyam pendidikan mode di Royal Academy of Fine Arts di Antwerp, salah satu sekolah mode terbaik di dunia, pencetak desainer-desainer besar layaknya Ann Demeulemeester, Demna Gvasalia, Martin Margiela, Raf Simons, Kris Van Assche, Dries van Noten, dan Haider Ackermann.

“Di Royal Academy of Fine Arts, kami selalu didorong, didorong, dan didorong untuk berpikir outside the box,” kenangnya. “Kami dijatuhkan, dihancurkan, dan dibangun kembali. Oleh karenanya, setiap tahunnya kami diseleksi ulang. Di tahun pertama saya masuk, ada 78 orang; dan ketika saya lulus hanya tersisa 13 orang, termasuk Glenn Martens yang kini memimpin rumah mode Maison Margiela.” Tak hanya itu saja, Heaven juga belajar banyak mengenai tailoring khas Belgia yang diterapkan secara teknis di kampusnya tersebut. “Antwerp akan selalu menjadi rumah kedua saya,” pungkasnya.



Meski awalnya bercita-cita untuk menjadi seorang fashion designer, nama Heaven Tanudiredja justru pertama kali dikenal sebagai seorang desainer perhiasan. Semuanya berawal ketika kondisi finansial memaksanya untuk berputar arah demi menyelesaikan pendidikannya di Antwerp, Belgia. “Saya mulai membuat perhiasan karena saya membutuhkan uang untuk menyelesaikan sekolah saya,” akunya. Heaven pun mempergunakan bebatuan French jet yang telah ia koleksi dari Clignancourt, di Paris, selama beberapa tahun untuk membuat koleksi perhiasan pertamanya. Ia merancang bros, kalung, dan gelang dalam siluet-siluet sederhana agar dapat terjual dengan cepat. Salah seorang gurunya yang juga merupakan desainer asal Belgia dan tergabung dalam Antwerp Six, Walter van Beirendonck, turut membeli aksesori rancangan Heaven untuk concept store miliknya. Selain itu, Heaven turut bergabung dengan Flanders Showroom di Paris untuk menjajakan hasil kreasinya. “Tak disangka, banyak yang menyukainya,” ungkap Heaven. “Yang pertama membelinya adalah Dover Street Market London, Walter Shop di Antwerp, dan Barneys New York. Saya sangat sangat terkejut.”

Heaven pun mulai menikmati proses merancang dan membuat perhiasan. Ia mulai berani untuk bereksplorasi dan merancang perhiasan-perhiasan yang memiliki karakter sculptural, kadang nyaris teatrikal, dan penuh pernyataan. “Saat mengerjakan sebuah koleksi, saya tidak terlalu memikirkan seperti apa koleksi saya nantinya,” ungkapnya. “Saya hanya mengikuti alurnya, bermain dengan pikiran saya sendiri, menciptakan dunia kecil saya. Terkadang mungkin terlihat aneh, tetapi saya membiarkannya begitu saja. Tentu saja saya selalu bertanya-tanya apakah koleksi ini bagus atau tidak.”


Usai lulus dari Royal Academy of Fine Arts, Heaven berkesempatan untuk bekerja untuk John Galliano saat masih menjabat sebagai Direktur Kreatif Dior serta Dries Van Noten. “John Galliano dan Dries van Noten adalah dua orang desainer yang begitu mumpuni,” pungkasnya. “Saya merasa sangat bersyukur pernah berkesempatan untuk bekerja dengan mereka, walaupun pekerjaan pertama saya untuk John adalah membuat fruit salad untuknya. Saya mempersiapkannya bersama Matthew Blazy—yang kini telah menjadi Direktur Kreatif Chanel,” ujarnya dengan penuh jenaka.

“Bersama John, saya belajar banyak mengenai cara memotong dengan cara yang teramat sangat beda. Saya juga belajar mengenai lintas budaya dengan cara berpikir yang ekstrem,” tambah Heaven. “Sementara itu, bersama Dries, saya belajar banyak mengenai bisnis dan komposisi warna, emosi yang terkompresi dan keindahan ketidaksempurnaan.”



Saat bekerja untuk John Galliano dan Dries van Noten, Heaven turut berkesempatan untuk mendesain perhiasan untuk kedua desainer kondang tersebut. Tak hanya itu saja, undangan untuk berkolaborasi dengan berbagai rumah mode turut berdatangan, beberapa diantaranya dengan Iris Van Herpen dan Juun.J. “Untuk kolaborasi dengan Iris atau Juun.J, kami biasanya memulainya dengan saling bertukar inspirasi,” kenang Heaven. “Mereka menghubungi saya karena kami memiliki pola pikir ekstrem yang sama. Itu selalu menyenangkan.”

Meski Heaven telah menjual lebih banyak perhiasan, berkolaborasi dengan sederet nama-nama besar, menggelar sejumlah ekshibisi—termasuk di Jakarta pada tahun 2014 silam—dan bahkan meraih penghargaan Christine Mathijs Awards, Heaven merasa kurang bahagia. “Dari Biyan, bersekolah di Antwerp, John Galliano, dan kemudian Dries Van Noten, saya selalu mengerjakan pakaian,” ungkapnya. “Jadi pada suatu pagi, saya memutuskan untuk berhenti dan mengemas semuanya, lalu mulai lagi mengerjakan pakaian.”

Setelah lebih dari satu dekade di Eropa, Heaven memutuskan untuk kembali ke Indonesia, dan bermukim di Pulau Dewata hingga hari ini. “Saya merasa dapat membangun sesuatu di Indonesia,” ujarnya. Pertimbangan menyoal pajak dan biaya produksi untuk berkarya disebut Heaven sebagai salah satu alasan untuknya bertolak kembali ke Tanah Air. “Misalnya saja, mustahil untuk melakukan sulaman tangan seperti yang kami lakukan di Eropa, biayanya bisa mencapai 10 kali lipat,” jelasnya lagi.


Pulang ke Indonesia, bukan berarti masalah terselesaikan begitu saja. Heaven harus memulai segalanya dari nol lagi saat kembali ke tanah kelahirannya. Tak hanya merancang aksesori dan perhiasan, ia kini lebih fokus mengerjakan koleksi busana. Heaven mengungkapkan tantangan terbesar yang ia hadapi kala kembali ke Indonesia adalah menemukan sumber daya manusia yang tepat. Butuh kesabaran tinggi untuk melatih para perajin agar dapat menyulam dan mengaplikasikan payet seperti yang ia inginkan. Meski demikian, Heaven tidak menyerah. Ia tetap fokus untuk berkarya dan tak jarang turun tangan untuk memayet sendiri karya-karyanya. “Menurut saya, ada batasan-batasan yang berbeda antara tinggal di Eropa dan di Indonesia. Di Indonesia juga ada banyak hal yang sulit untuk dilakukan, tetapi saya memilih Indonesia.”

Bicara menyoal proses kreatifnya, Heaven mengaku dirinya lebih terkontrol ketika mengerjakan sebuah koleksi busana, ketimbang saat mengkreasikan sebuah koleksi perhiasan. “Saya memperlakukan perhiasan saya seperti instalasi karya seni,” ungkapnya. “Sementara itu, dengan pakaian, otak saya lebih banyak memikirkan tentang anatomi tubuh manusia dan bagaimana memahat kain pada tubuh. Dari segi kreativitas, hal itu sangat berbeda bagi saya. Saya tidak ingin pakaian rancangan saya hanya disimpan di museum, saya ingin mereka dikenakan,” tambahnya. “Tetapi mungkin benang merahnya, saya selalu lebih suka menggunakan tangan ketimbang mesin ketika membuat sesuatu yang intricate.” Demikian pula ketika berbicara dari segi bisnis. Meski pendekatannya berbeda, nyatanya tidak ada yang lebih mudah menurutnya.



Heaven pun mempresentasikan koleksi busana pertamanya di Jakarta pada 12 Februari 2018. Bertajuk Collection One, koleksi yang terdiri dari 30 tampilan ini memadukan sentuhan couture dan elemen streetwear, menginterpretasikan sosok perempuan modern dan independen di mata sang desainer. Didominasi oleh deretan busana berpotongan longar, seluruhnya tampil istimewa berkat imbuhan detail-detail tak terduga yang menuntut keterampilan tangan dan perhatian tinggi. Dibubuhi paillettes, plume, payet, hingga sulaman kristal berbentuk bunga atau burung, tiap potong busana yang ia presentasikan malam itu bak melangkahkan diri keluar dari alam mimpi. Tak lupa, Heaven turut merancang sejumlah kalung untuk melengkapi beberapa tampilan di penghujung koleksi perdananya tersebut.

Sukses mempresentasikan koleksinya di Jakarta, Heaven tak berhenti di situ saja. Koleksi yang sama kembali ia presentasikan di Shibuya, Jepang, bertepatan dengan pagelaran Tokyo Fashion Week, pada 21 Maret 2018 silam. Koleksi musim gugur/dingin 2018 tersebut tak menjadi satu-satunya koleksi yang pernah ia presentasikan di Negeri Sakura. Ia kembali mempresentasikan koleksi musim gugur/dingin 2023 dan koleksi terbarunya untuk musim gugur/dingin 2025 di Jepang.


Keputusan untuk mempresentasikan koleksinya di Jepang, alih-alih di Eropa, dicapai Heaven usai mempertimbangkan beberapa hal. “Tokyo lebih dekat,” ungkapnya. “Merek kami masih sangat kecil. Saya paham bagaimana Paris berkuasa, terlebih dari segi publikasi. Tapi saya adalah seorang desainer dan yang terpenting bagi saya adalah membuat pakaian yang membangkitkan emosi.”

Meski telah bergelut di industri yang sama selama hampir dua dekade, Heaven nyatanya melihat dirinya masih berdiri di titik awal karier modenya yang bahkan belum dimulai. “Saya selalu merasa bahwa saya hampir memulai, semua ini belum dimulai, tetapi saya mengejarnya untuk memulai,” ujarnya. “Saya akan beruntung jika mereka mengingat saya di masa mendatang, tetapi jika pun demikian, saya ingin dikenang sebagai desainer yang baik dan orang yang baik hati,” tutupnya.