FASHION

22 April 2025

Investigasi Inovasi dan Kreativitas yang Menggawangi Perkembangan Mode Berkelanjutan


Investigasi Inovasi dan Kreativitas yang Menggawangi Perkembangan Mode Berkelanjutan

text by Lotte Jeffs (photography: Carol Maciel (Modelwerk) photography by Tobias Wirth for ELLE Indonesia February 2022; styling Mimi Kritinic Roncevic; makeup & hair Liset Garza)

Industri mode—atau lebih tepatnya 100 miliar garmen yang diproduksi tiap tahunnya— menyumbang hingga 10% dari emisi rumah kaca global tahunan. Sulit untuk dapat betul-betul memahami dampak yang merugikan Bumi kita ini, dan ada masanya di mana pertanyaan yang muncul adalah—mengapa kita perlu memahaminya? Tidak ada yang bisa menyingkirkan kesenangan akan diluncurkannya koleksi terbaru label favorit kita, kebahagiaan mengenakan sesuatu yang baru, atau kegembiraan ketika menekan tombol ‘add to basket’, kecuali kenyataan bahwa itu semua mengakibatkan malapetaka bagi lingkungan. Sebab itu, setelah satu dekade memperhitungkan dari sisi bisnis dan konsumen, kini kita dihadapkan pada fakta: bahwa peduli dengan mode saat ini artinya sama dengan menjaga dampaknya pada planet. Maka tak heran, dengan kesadaraan ini, ketika kini berbelanja barang pre-loved atau mengetahui sebuah garmen diproduksi secara berkelanjutan untuk mengurangi jejak karbon, kita merasa puas karena telah berbuat lebih bagi Bumi.

Di tahun 2022, label-label mode, mulai dari yang high street hingga yang high end, telah menginterogasi bagaimana produk-produk mereka dibuat, di mana, dan oleh siapa. Karena semakin kita tahu tentang kondisi darurat iklim saat ini, semakin kita sadar bahwa setiap pilihan kecil yang kita ambil setiap harinya sebagai seorang konsumen begitu berarti. Kita bertanya apa yang betul-betul kita butuhkan dari pakaian, membelinya lebih sedikit, membeli yang kualitasnya lebih baik. Dan tahun ini menjadi era baru untuk mode dan keberlanjutan—landasan normanya telah selesai, bisnis-bisnis telah siap, para konsumen memercayainya, dan tidak ada lagi orang yang butuh diyakini. Sebuah laporan global dari Thredup mengungkap bahwa pasar resale mode akan menyentuh nilai 77 miliar Euro pada tahun 2025, ketimbang fast fashion yang hanya bernilai 40 miliar Euro. Tak hanya sampai di situ, sebuah ruang baru nan mendebarkan telah disiapkan untuk kreativitas, inovasi dan keterampilan seiring industri mode dan para penggemarnya menatap ke masa depan.

Michela Strate (Le Managemenet) photography Oliver Rudolph for ELLE Indonesia February 2022; styling Chiara bottin; makeup & hair Lars Rüffert.

Jamur Jadi Alternatif Baru Material Berkelanjutan

Salah satu perkembangan yang paling dinanti dalam industri mode luks adalah materi. Mulai dari kulit jeruk, algae, hingga jamur telah dipergunakan sebagai bahan alternatif. Kulit nanas telah dipergunakan dalam koleksi Hugo Boss, Chanel, dan H&M; kulit anggur siap mengganti fungsi kulit sapi di Ganni; sementara itu, Gucci telah meluncurkan kulit vegan miliknya sendiri. Meski demikian, hingga hari ini, kualitas bahan- bahan ini belum mampu mencapai standar tetap yang dibutuhkan untuk menyenangkan hati para konsumen pasar luks.

Matt Scullin selaku CEO perusahaan bioteknologi, MycoWorks, telah menemukan cara revolusioner untuk panen miselium—bagian vegetatif sebuah jamur yang terdiri dari cabang, ‘koloni’ bak benang yang ditemukan di dalam tanah. Tidak seperti ‘kulit jamur’ yang terbuat dari miselium yang dipadatkan, atau kulit vegan yang merupakan agregat sampah tumbuhan yang diinkorporasikan ke dalam bahan pengikat berbahan dasar plastik, teknologi MycoWorks memungkinkan rekayasa miselium selama pertumbuhannya untuk menciptakan struktur sel yang saling mengikat dan memberikannya kekuatan, daya tahan dan kualitas superior. Penemuan mencengangkan ini tentunya menarik bagi rumah-rumah mode luks sebab mereka pun dapat mencapai estetika dan kualitas yang diinginkan mulai dari tahap material. Bahan Fine Mycelium dapat disesuaikan menurut kekuatan, efek jatuh, tekstur estetika, dan lainnya sedari awal, membuka begitu banyak peluang desain dan memberikan kontrol menyoal rantai suplai mereka bagi para label.

Baru-baru ini, Hermès telah berkolaborasi dengan MycoWorks untuk menciptakan sebuah jinjingan yang terbuat dari Fine Mycelium yang diberi nama Sylvania. Kulit sapi telah diidentifikasi sebagai bahan paling merusak lingkungan di industri mode, sementara peternakan hewan, yang menghasilkan metana level tinggi dan dinitrogen oksida—yang berkontribusi pada perubahan iklim—turut diperkirakan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih tinggi daripada transportasi kebanyakan di dunia.

Saya bertanya pada Yvonne Taylor, Senior Manager of Corporate Project di badan amal kesejahteraan hewan, PETA, apakah reputasi ‘kulit vegan’ telah berubah? “Kini, tak hanya lebih tahan lama dan lebih tinggi secara kualitas, kulit- kulit ini juga lebih sustainable,” ujarnya, seraya menunjukkan fakta bahwa perubahan ini terjadi sebagai respons terhadap meningkatnya konsumen yang sadar secara sosial akan perjalanan panjang yang harus dilalui pakaian dan aksesori mereka sebelum akhirnya berakhir di lemari. Termasuk juga di dalamnya, cara-cara keji di mana hewan-hewan diternak dan dibunuh untuk kulitnya.

Hedvig Palm & Ty Olson (Next) photography by Alessandro Burzigotti for ELLE April 2023; styling Micaela Sessa; makeup Giovanni Iovine; hair Simone Prusso

Bijak Daur Ulang Limbah Tekstil

Inovasi terjadi di setiap tahapan rantai suplai. Sebut saja Evrnu, sebuah perusahaan yang bekerja memasukkan jutaan ton limbah tekstil yang berakhir di tempat pembuangan atau pembakaran sampah tiap tahunnya ke dalam rantai ekonomi. Mitra labelnya meliputi Stella McCartney, Adidas, Levi’s, serta Target, dan teknologi terobosannya mampu mengubah limbah tekstil menjadi serat murni yang setara atau lebih tinggi secara kualitas dari bentuk aslinya dan dapat didaur ulang berulang kali. Evrnu kini tengah mengupayakan agar semua tekstil dapat didaur ulang pada tahun 2030. Hal ini tentunya dapat mengubah keadaan mengingat 85% dari seluruh pakaian kita berakhir di tempat pembuangan atau pembakaran sampah.

Saya bertanya-tanya apakah MycoWorks mengalami penolakan dari industri mode ketika miselium pertamanya hadir di pasar? “Layaknya teknologi baru apapun, selalu ada tantangan dalam mengedukasi dan membangun kesadaran menyoal kemampuan produk tersebut,” ujar Scullin. “Kami telah memperkenalkan satu bahan yang benar-benar baru kepada dunia. Hal ini merupakan sebuah tantangan yang juga merupakan sebuah kesempatan untuk memperlihatkan peluang akan sumber dan desain baru. Kami berada di jurang konsumsi produk di mana para pembeli menginginkan transparansi, kejelasan, dan tanggung jawab dari produk yang mereka beli.

Bahan Fine Mycelium kami posisikan secara unik dan dapat memberikan pengaruh besar pada industri mode dan alas kaki luks, sebab pendekatan kami selalu menitikberatkan pada performa dan kualitas. Para label dan konsumen tidak akan mengorbankan performa untuk sustainability.” Scullin mengatakan bahwa setiap kali seorang mitra potensial menyentuh materi mereka, momen tersebut menjadi momen pencerahan bagi mereka. “Merasakan dan melihatnya langsung sama dengan memercayainya, dan kami bahagia ketika para label memberi tahu kami bahwa bahan kami jauh lebih baik dari alternatif yang lain, terutama ketika mereka tidak percaya bahwa ini bukan kulit hewan.”

Carol Maciel (Modelwerk) photography by Tobias Wirth for ELLE Indonesia February 2022; styling Mimi Kritinic Roncevic; makeup & hair Liset Garza.

Pengembangan Teknologi Untuk Masa Depan Kain 

MycoWorks bukanlah satu-satunya start-up yang memikirkan ulang masa depan kain. Evolved by Nature adalah sebuah perusahaan bioteknologi global yang menciptakan solusi berbahan dasar sutra yang dapat diperbarui hingga petrokimia di industri mode. Medium Activated Silk milik Evolved by Nature mempergunakan protein sutra untuk menciptakan molekul-molekul sustainable yang dapat melindungi, memperbaiki, dan meningkatkan kekuatan lapisan atau permukaan apapun. Perusahaan ini disokong oleh Chanel, dan saat ini memiliki mitra-mitra yang meliputi Anya Hindmarch dan Gentrue. Sementara itu, di Prancis, ECOPEL tengah memimpin dalam urusan pembuatan bulu alternatif berkualitas tinggi dan telah bekerja sama dengan lebih dari 300 label mode yang berkomitmen untuk tidak menggunakan bulu binatang. Lebih dari 100 juta hewan di dunia dibunuh untuk dipanen bulunya setiap tahun, meliputi mink, rubah, anjing rakun, chinchilla dan koyote. Angka tersebut sama dengan kematian tiga hewan tiap detiknya, hanya untuk bulu mereka.

Yvonne Taylor dari PETA merupakan penggemar label tersebut, ia bahkan mengeklaim Koba oleh ECOPEL—materi bulu sintetis dari tumbuhan pertama di dunia—sebagai materi paling menarik di pasar saat ini. Tekstil vegan revolusioner ini menginkorporasikan jagung dari industri bahan bakar nabati. Proses produksinya memakan 30% energi lebih sedikit dan menghasilkan 63% gas rumah kaca lebih sedikit dari kulit sintetis tradisional dan tentunya lebih ramah terhadap hewan dan lingkungan dibandingkan dengan bulu binatang. Taylor mengatakan, “Stella McCartney telah mengkreasikan sejumlah garmen dari Koba, dan baru-baru ini, kami bermitra untuk mengirimkan sehelai mantel untuk Sophia Loren, dan ia sangat menyukainya.”

Pada tahun 2018 silam, British Fashion Council melarang bulu binatang pada setiap helatan show di London Fashion Week. Sejak saat itu, semakin banyak label sepakat hanya akan mempergunakan bulu sintetis. Tahun lalu, Versace, Michael Kors, dan Gucci berjanji untuk tidak akan lagi mempergunakan bulu binatang, bergabung dengan Tommy Hilfiger, Giorgio Armani, dan tentunya aktivis anti-bulu, Stella McCartney. Kota San Francisco bahkan telah mengambil langkah lebih, memutuskan untuk melarang penjualan produk berbahan dasar bulu, membuatnya menjadi kota terbesar yang melakukannya. “Mudah untuk melihat bahwa revolusi mode vegan sedang berlangsung,” ujar Taylor. “Kita semua tahu bahwa peternakan hewan tidaklah sustainable. Selain kengerian factory farming, Perserikatan Bangsa- Bangsa telah menyatakan bahwa perpindahan menuju gaya hidup vegan diperlukan untuk mengimbangi dampak terburuk perubahan iklim. Memelihara dan membunuh hewan untuk daging dan produk-produk pendukung lainnya mengakibatkan kontaminasi air, polusi udara, dan perusakan lahan. Seolah-olah tak cukup merusak, ada pula penggunaan bahan kimia—banyak di antaranya sangat beracun—yang mencegah kulit dan rambut hewan dapat terurai.

Mayoritas desainer-desainer besar di dunia dengan bangga telah menyatakan dirinya bebas bulu, ratusan label telah menghapuskan angora dan mohair dari lini mereka, dan sejumlah label tengah bereksperimen dengan kulit vegan. Selebihnya tergantung pada kita—sebagai konsumen—untuk mempercepat perubahan dengan menuntut para desainer dan label-label untuk beralih ke materi-materi berbahan dasar tumbuhan yang ramah hewan dan sustainable.”

Lee Ju Won photograph by Yoon Song Yi for ELLE Indonesia November 2024; styling Son Da Yea.

Pilihan Konsumen: Gerakan Bijak Konsumsi

Kita, para konsumen pencinta mode, memiliki peran besar dalam masa depan mode yang berkelanjutan. Livia Firth, pendiri Eco-Age (sebuah perusahaan penghasil sertifikasi sustainability) memulai kampanye #30Wears yang mendorong kita untuk selalu berpikir, ‘Apakah saya akan memakainya minimal 30 kali?’ sebelum membeli sebuah produk pakaian. Apabila ya, maka beli saja. “Tapi Anda akan terkejut seberapa kali Anda mengatakan tidak,” ujar Firth. Dan apabila kita berbelanja, kita akan lebih memilih produk second-hand. Pasar resale telah meroket berkat situs-situs seperti The RealReal, Vestiaire Collective dan Depop.

Label-label luks tengah mencari cara untuk mempergunakan kesempatan ini, dengan Gucci bermitra bersama The RealReal, dan baru-baru ini, Burberry mengumumkan kolaborasinya dengan platform rental luks dan resale asal UK, My Wardrobe HQ, yang bertujuan menjagokan masa depan yang lebih circular dan membantu konsumen untuk mempertimbangkan seluruh opsi yang tersedia untuk mereka ketika ingin memperbarui penampilan. Sesungguhnya, pergerakan resale luks tengah mengalami perkembangan pesat. The RealReal melaporkan enam juta pengguna baru tahun lalu. Di dalam laporan tren tahunan WIRED World tahun 2022, Fanny Moizant, presiden dan co-founder dari Vestiaire Collective, mengeklaim bahwa tren resale “mirip dengan enomena e-commerce di tahun 1990-an,” yang awalnya juga sangat diragukan oleh industri mode. Ia menuturkan, “Kini, perusahaan-perusahaan yang telah mengadopsi e-commerce berkembang dengan pesat. Mereka yang tidak, tengah berjuang atau telah menghilang. Meski telah melihat proyeksi perkembangannya, kebanyakan label luks belum berani mengoptimalkan kesempatan pasar resale karena kekhawatiran potensi kanibalisme penjualan produk-produk terbaru atau melemahkan eksklusivitas label-label mereka.”

Tahun lalu, Vestiaire Collective memperkenalkan program pembelian kembali “Brand Approved” dengan Alexander McQueen, di mana butik menawarkan kredit toko untuk koleksi terkini label tersebut sebagai ganti produk-produk lama mereka, yang mana dapat diperiksa dan dijual secara daring. Rumah mode asal Prancis, Jean-Paul Gaultier, juga tengah menyewakan koleksi-koleksi arsip nan ekstensifnya untuk dipinjam para konsumen, sementara situs barunya turut meliputi kategori resale yang menjual produk-produk vintage. Valentino juga telah memasuki pasar resale luks lewat Valentino Vintage, mendorong produk-produk vintage Valentino untuk dikembalikan ke butik-butik di seluruh dunia dan dapat ditukar dengan voucer berbelanja.

Diperkirakan bernilai 28 juta Euro di tahun 2021, pasar second-hand luks dilaporkan Statista Research Department berkembang empat kali lebih cepat dari pasar luks utama, di angka 12% per tahun versus 3%. Sebuah laporan global oleh Thredup mengkonfirmasi lebih lanjut bahwa, pada 2025, pasar resale akan menyentuh nilai 77 juta Euro. Angka tersebut hampir dua kali lipat nilainya bila dibandingkan dengan pasar fast fashion yang diprediksi akan bernilai 40 juta Euro.

Kukua Williams (Premier Model Management) photograph by Rasmus Weng Karlsen for Elle Indonesia December 2024; styling Natasha Wray; makeup Joey Choy; hair Christos Bairabas.

Praktik Mode Berkelanjutan Berskala Global

Dengan konsumen generasi milenial dan generasi Z membentuk 30% dari keseluruhan konsumen luks dan akan mewakili angka 45% pada 2025, label-label luksuri harus mencari cara untuk mengimbangi kemewahan dan nilai sosial apabila mereka ingin tetap relevan. Mereka dapat mencontoh sejumlah start-up mode sustainable yang melakukan terobosan di seluruh dunia. Inovasi terjadi seiring industri
mode generasi berikutnya menghadapi dampaknya pada lingkungan.

Di Asia, The Mills Fabrica asal Hong Kong telah bermitra dengan organisasi dari Amsterdam, Fashion For Good, untuk meluncurkan Good Fashion Fund, yang berinvestasi pada inovasi-inovasi sustainable di India, Bangladesh, dan Vietnam. Mayoritas uang yang dikumpulkan akan diberikan ke manufaktur- manufaktur berukuran kecil dan sedang yang berkomitmen mengadopsi praktek-praktek ramah lingkungan, seperti menggunakan materi-materi yang dapat didaur ulang, pengoperasian menggunakan energi bersih dan pengadaan lapangan kerja yang adil. Sementara itu, Redress Design Award di Hong Kong yang akan terlaksana tahun ini—kompetisi desain mode sustainable terbesar di dunia ini mengundang para desainer bertalenta dari seluruh dunia untuk bersaing dan memenangkan dana pengembangan sebesar USD 10,000. Komponen penting dalam penghargaan tahun ini akan mengedukasi para desainer mengenai konsep penerapan circularity ke dalam mode dan desain. Circularity adalah sistem regeneratif di mana garmen-garmen disirkulasikan selama nilai maksimumnya terjaga, kemudian dikembalikan secara aman ke lingkungan ketika mereka tak lagi dapat digunakan.

Menurut EU 2018 Science Hub Report, lebih dari 80% dari dampak lingkungan sebuah produk tersimpan di tahap desain, sehingga para juri tahun ini akan mencari desain-desain yang mampu menampilkan materi dan proses minim limbah, serta minim dampak; umur panjang; dan kemampuan didaur ulang. Tahun ini juga, di belahan bumi bagian selatan, Australia Barat kembali menghelat Sustainable Fashion Art Shows & Exhibitions terbesar dan terlama di dunia. Helatan ini merayakan keterampilan dan imajinasi para desainer yang bekerja di ruang ini, mengukuhkan komitmen industri mode Australia dalam memperbaiki praktek-praktek sustainability.

Hal serupa turut terjadi di Stockholm Rave Review yang mengidentifikasi cara inovatif menyulap tekstil rumahan menjadi produk- produk mode must-have. Saya berbicara dengan para desainer dan co-founder-nya, Livia Schück dan Josephine Bergqvist, mengenai tantangan mendorong batasan kreatif sambil tetap setiap pada etos eco mereka. “Bekerja dengan upcycling sangatlah bermanfaat terlebih ketika menghasilkan ide-ide inovatif,” jelas mereka. Bergqvist percaya bahwa sebuah produk tak bisa hanya sustainable untuk diinginkan oleh orang lain. “Tentu, untuk beberapa orang hal tersebut menjadi penting, tetapi bagi banyak orang itu menjadi nilai plus, selain membeli sesuatu yang menurut mereka keren.” Schück menambahkan, “Kebanyakan produk-produk kami unik, karena mereka didaur ulang dari tekstil rumahan. Kami juga meyakini ada konsumen yang menghargai keunikan tersebut.”

Keunikan, kreativitas, dan keterampilan dalam mendesain baju itulah yang akan mendorong industri mode memasuki masa depan yang lebih cerah, dan circular. PBB telah mendefinisikan sustainability sebagai “pertemuan antara pemenuhan kebutuhan masa kini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi masa depan memenuhi kebutuhan mereka.” Tentunya perjalanan masih panjang—tapi dari materi sci-fi, hingga menyewakan busana dan mendaur ulang gorden di atas panggung runway, tak ada yang dapat menghentikan inovasi liar yang kini tengah mengguncang industri mode hingga ke akarnya, seiring gerakan dari para label yang mulai mendahulukan kesejahteraan manusia dan planet sebelum memikirkan profit.