FASHION

7 Oktober 2022

Membuka Gerainya di Indonesia, Simak Wawancara Bersama Direktur Kreatif Fauré Le Page, Augustin de Buffévent


PHOTOGRAPHY BY Masari Group

Membuka Gerainya di Indonesia, Simak Wawancara Bersama Direktur Kreatif Fauré Le Page, Augustin de Buffévent

Dikenal lewat kemewahan yang tenang—begitu tenang hingga sering kali terlupakan bahwa label ini telah ada jauh lebih lama dibanding label luxury lainnya—dan kualitas yang tak lekang oleh waktu, seluruh aksesori Fauré le Page seolah “berbicara” dalam bahasanya sendiri. Tas kecil berbentuk pistol, pochette berbentuk amplop, gantungan tas berbentuk tentara berbaju zirah, hingga tote bag simpel yang kebal menemani segala bentuk aksi sehari-hari Anda hanyalah segelintir produk yang berbagi motif scale ikonis, yaitu pattern yang diambil sebagai simbol dari baju zirah. Ada apa dengan figur knight in shining armor? Karena kemewahan label ini sesungguhnya terletak di sejarah panjang yang bercerita menemani setiap produknya. Maraknya baju zirah mengantar Fauré Le Page berdiri di tahun 1716 dengan toko pertama yang dibuka di tahun 1717 sebagai produsen senjata api saat Raja Louis XV memerintah Prancis. Label ini melengkapi sejumlah kekuatan di masa itu; kekuatan revolusioner di era revolusi Prancis. Lalu di tahun 2011, label ini diambil alih oleh Augustin de Buffévent, yang kini menjabat sebagai Creative Director. Sejak itu, Fauré le Page membuat perubahan untuk tidak lagi memproduksi senjata api, melainkan merubahnya sebagai luxury label yang fokus memproduksi aksesori eksklusif yang memiliki kualitas sebaik yang selalu dipelajari dalam pengalaman pembuatan senjata api, yaitu kualitas yang mampu menciptakan ketahanan begitu lama dikemas dalam desain sarat kejutan hingga mampu membuat sebuah produk menjadi sebuah classic item

September silam, Fauré le Page menancapkan benderanya di Plaza Indonesia Shopping Mall sebagai butik ke-13 yang tersebar di seluruh dunia. Dengan desain eksterior dan interior cerah nan modern yang mengumandangkan kekayaan sejarah, gerai butik seolah mengajak Anda untuk mengeksplorasi lebih dalam apa yang label ini tawarkan. Begitu menggoda, seolah menyuarakan moto label ini sendiri: Armed for Seduction (re: mempersenjatai untuk merayu). Di tengah ingar bingar perayaan pembukaan butik pertama di Indonesia, saya berkesempatan untuk duduk bersama sang Creative Director, Augustin de Buffévent, untuk berbincang menyoal narasi FLP; dulu, sekarang, dan yang akan datang. 


Butik Fauré Le Page di Plaza Indonesia

Anda mengambil alih label ini di tahun 2011 silam. Melihat ke belakang, visi apa yang Anda miliki saat itu? Dan apakah Anda telah mencapainya hingga hari ini? 

“Fauré Le page adalah sebuah nama yang sangat tua. Nama ini pernah menjadi bagian dari sejarah Prancis hingga membuatnya begitu aristokratis dalam gaya Paris seutuhnya. Karakter tersebut adalah esensi yang ingin sekali saya sampaikan ke dunia. Dan di masa itu, orang biasa membawa senjata di pinggangnya sebagai salah satu simbol kemewahan, dan kini kami ingin meneruskan konsep tersebut dalam bentuk berbeda—dalam bentuk tas dan aksesori namun tetap berpegang teguh dalam prinsip label ini. Selain itu, Fauré Le Page menanamkan konsep seni ‘perayuan’ dalam setiap produknya, yang kami tetapkan sebagai moto. Di masa lampau, label ini memproduksi senjata untuk perang. Namun kini, kami memproduksi ‘senjata’ untuk merayu. Bila Anda bertanya apakah saya telah berhasil mencapai visi saya? Saya akan menjawab ‘tidak’. Hal ini sejalan dengan moto kami; layaknya seseorang yang tengah merayu; saya harus bisa untuk terus menemukan kembali diri saya untuk mendapatkan apa yang saya layak dapatkan. Sama seperti dalam sebuah hubungan—misalnya—bila tidak ada elemen kejutan, adaptasi dan pembaruan diri, maka cinta tersebut tidak akan bertahan lama. The art of seduction is an art of unexpected, maka saya harus selalu bisa berkarya di luar ekspektasi, agar rayuan ini senantiasa berhasil. Tapi bila Anda merasa segala hal di dunia ini datang dengan sendirinya, maka ini akan menjadi akhir dari perjalanan Anda.”


Bagaimana Anda memandang perubahan yang Anda bawa ke dalam label ini? 

“Sedikit berbicara tentang masa lalu, laki-laki adalah kaum pertama yang membawa serta aksesori berbahan kulit dalam kegiatan sehari-harinya, seperti untuk membawa senjata, amunisi, hingga botol minum. Baru di era Perang Dunia Pertama para perempuan mulai mengikuti langkah ini dengan melengkapi diri dengan atribut berbahan kulit untuk membawa segala keperluan mereka. Maka atribut kulit telah menjadi bagian dari label ini sejak masa lalu. Kemudian saya datang dengan adaptasi era baru, di mana kami mulai mengalihkan pembuatan atribut kulit menjadi barisan aksesori klasik yang tetap mampu menemani Anda beraksi di ‘daily battle’ Anda masing-masing. Dan perubahan ini pun memberi dampak yang jauh lebih baik bagi Fauré Le Page dari segi ekonomi.” 


Saat itu, Anda menutup toko pertama Fauré Le Page di Rue de Richelieu dan memindahkannya ke Rue Cambon, Paris. Dan hari ini, Anda membuka butik di Indonesia, tepat di jantung Jakarta. Apa yang menjadi pertimbangan Anda dalam memilih lokasi? Dan dengan jumlah gerai butik yang tidak terlalu banyak tersebar di dunia, mengapa Indonesia menjadi pilihan Anda?

“Pertama-tama, bisa berada di Jakarta adalah sebuah anugerah dan kebanggaan tersendiri bagi kami. Bila menarik hari ke sepuluh tahun yang lalu, saya tidak akan pernah menyangka akan bisa menampilkan kreasi-kreasi kami di lokasi yang begitu jauh dari Paris. Namun momen ini menjadi sesuatu yang luar biasa menyenangkan dan kami sangat bangga akan hal ini. Jakarta adalah kota yang sangat dinamis. Ada pertandingan antar barang mewah yang tak terbahas dalam aksi keseharian di kota ini dan ini menjadi waktu yang tepat bagi kami untuk memperlihatkan ‘weapons of seduction’ yang kami miliki. Selain itu, Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai keahlian seseorang. Misalnya saja, Batik dan Ikat yang Indonesia miliki adalah dua hal yang sangat dikenal seluruh dunia. Dengan itu Indonesia dan Fauré Le Page menjunjung nilai yang sama: keahlian tinggi dalam sebuah proses pembuatan dan penghormatan bagi para perajin. Sangat masuk akal bagi kami untuk menancapkan bendera kami di Indonesia. Pada dasarnya, membawa craftmanship dari Paris ke negara yang juga familiar dengan nilai tersebut adalah sesuatu yang sangat logis. Plus, Indonesia memiliki pemahaman luar biasa tentang luxury goods. Di tangan Masari Group, kami merasa percaya diri untuk bisa berada di sini. Saya pikir butik ini sendiri adalah satu contoh akan apa yang kami dan Masari Group mampu lakukan dengan sangat baik bersama-sama.”


“Going Green” telah menjadi fokus besar bagi begitu banyak label fashion selama beberapa tahun terakhir. Praktik seperti apa yang telah Anda terapkan dalam label Anda?

“Pertama-tama, Fauré Le Page bukan semata sekadar fashion. Kami menginginkan produk yang long lasting. Salah satu tas buatan kami—tas amerstat yaitu daily battle bag kami—dapat saya saksikan menemani keseharian seseorang selama 10 tahun lamanya dan hal tersebut adalah kebanggaan luar biasa bagi saya. Karena salah satu cara terbaik dalam industri ini untuk menjaga kelestarian alam adalah dengan menciptakan produk yang long lasting. Kami mempercayai sumber dari mana kami mendapatkan material, kami mengetahui dari mana kami mendapatkannya, dan bagaimana cara pengolahannya. Cara kami mengoptimalkan sebuah material pun juga menjadi andil. Lalu kami senantiasa memberi tantangan pada seluruh penyedia kami untuk mampu membuat produk dengan kualitas yang terus meningkat. Maka cara kami dalam menjaga alam pun menjadi sebuah proses yang terus berjalan dari waktu ke waktu. Kami hanya membuat produk dalam jumlah yang bisa dibilang tidak terlalu banyak, tidak pernah mencapai ribuan. Karena lebih baik bagi kami untuk dapat membuat sebuah item klasik dalam jumlah terbatas ketimbang memproduksi begitu banyak dalam kualitas yang tidak sesuai dengan prinsip kami dan itu jelas lebih memberi dampak buruk bagi lingkungan.” 


Fauré Le Page pernah berlaku sebagai pembuat senjata dan senjata upacara untuk kerajaan dan bangsawan Eropa sebelum kemudian membuat atribut berbahan kulit untuk berburu. Dan saat ini, sebagai pencipta aksesori fashion berbahan kulit, aksi signifikan apa yang pernah Anda lakukan untuk me-reboot label ini dan memposisikannya sebagai produsen aksesori kulit? 

“Saya rasa pasti ada sebuah kompromi besar yang terjadi saat Anda memutuskan untuk menjadi seorang entrepreneur sekaligus bekerja selaku desainer. Butuh dua tahun dari awal saya membeli label ini hingga akhirnya kami memutuskan untuk memperkenalkannya kembali pada dunia. Saat itu saya berbincang secara intim dengan sejumlah perajin dan butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa memberi keyakinan pada diri saya bahwa Fauré Le Page sesungguhnya memiliki ‘ruang’ yang besar untuk diluncurkan kembali. Saya menyadari bahwa ini adalah label dengan DNA Prancis dan mengusung kemewahan sejak lama, maka besar alasan untuk label ini bisa kembali berdiri di ranah fashion yang lebih modern. Di hari yang sama saat saya membeli label ini, saya pergi ke makam keluarga Fauré Le Page di Père Lachaise Cemetery Paris yang tersohor—musisi Jim Morrison dimakankan di sana dan juga sejumlah seniman, aktor, dan figur dunia lainnya. Di makam keluarga tersebut, saya memberi janji saya untuk selalu kreatif dalam menciptakan produk yang membawa nama besar ini dalam prinsip kualitas yang long lasting.”


Proyek kolaborasi seolah tengah menjadi salah satu konsep populer di dunia fashion saat ini. Apakah kami akan melihat koleksi kolaborasi yang kelak diantisipasi dari FLP?

“Bagi saya kolaborasi yang utama adalah kerjasama yang terjalin antara saya dengan seluruh tim Fauré Le Page, karena saya tidak bekerja sendiri. Ada kolaborasi solid antara saya dan para perajin di balik nama besar ini. Adalah suatu kebohongan bila saya mengatakan saya bekerja sendirian. Setiap hari, proses kolaborasi kami seperti bermain ping pong. Saya menggambar versi 2 dimensi, lalu perajin akan menginterpretasikannya sebagai bentuk 3 dimensi. Dialog ini merupakan hal yang paling esensial, menarik, dan penuh kejutan. Hubungan ini menciptakan sebuah bentuk seni tersendiri. It’s a constant dialog, art to art. Tentu saya akan merasa bahagia untuk bisa berkolaborasi bersama label fashion lain di masa mendatang, tapi saya tidak terburu-buru.”