FASHION

25 April 2025

Menyorot Garis Rancang 'Ajaib' Menawarkan Karakteristik Distingtif yang Atraktif


Menyorot Garis Rancang 'Ajaib' Menawarkan Karakteristik Distingtif yang Atraktif

text by Otegha Uwagba (photography: Georgia Palmer (Kate Moss Agency) photograph by Tom Schirmacher for ELLE Indonesia October 2024; styling Charles Varenne)

Saya memiliki kecintaan khusus pada benda-benda jelek. Pakaian jelek, perhiasan jelek, warna cat jelek—seperti ketika mendekorasi ulang apartemen, saya memilih palet warna cokelat bak lumpur tahun 1970-an yang tampak buruk di kamera, sebuah fakta yang menyenangkan bagi saya. Salah seorang teman saya kerap mengirimkan tautan ke sepatu-sepatu yang ia anggap berpenampilan begitu buruk— seperti memiliki tumit sculptural yang tidak praktis atau elemen lain yang bersifat antitesis terhadap selera cantik—berikut caption seperti, “Kamu pasti menyukai ini, you weirdo.” Dan sejujurnya, sering kali, ia benar.

Meski demikian, apabila Anda dapat melepaskan kepura-puraan, saya melihat diri saya sebagai seseorang estetikus: seseorang yang menghargai hal-hal indah dan berpikir bahwa hal-hal tersebut memperkaya hidup kita; menginginkan rumah yang indah berisikan karya seni indah, dan pakaian yang serasi dengannya. Dan masih juga mengagumi pesona benda-benda jelek.

Prada

Marc Jacobs

Ada begitu banyak hal menyoal selera baik daripada sekadar keindahan. Sebagai seoang remaja (dan, ahem, dewasa) yang resah, saya begitu mengimani istilah Prancis jolie-laide: yang secara harafiah berarti ‘pretty ugly’ meski artinya lebih bernuansa daripada itu, menunjukkan keindahan yang tidak konvensional atau unik. Gagasan bahwa meski seseorang atau sesuatu tidak masuk ke dalam standar kecantikan ‘konvensional’, mungkin masih ada keindahan secara intrisik di sana— keindahan ada pada mata yang melihatnya.

Saya tidak dapat menghitung berapa banyak benda yang mana awalnya saya pikir jelek atau sekadar aneh, tetapi kemudian tidak dapat berhenti saya pikirkan dan akhirnya dibeli juga. Sebut saja trio topeng kayu pahatan yang dengan bangga menghiasi ruang tamu saya. Saya menemukannya di sebuah situs interior vintage, dan reaksi pertama saya adalah mereka terlihat samar-samar demonic; layaknya sebuah artefak yang digantung untuk menghalau bala.

Balenciaga

Prada

Meski demikian, saya tetap kembali ke situs tersebut, dan semakin lama saya mencari, hasil-hasilnya pun semakin mengagumkan. Saya pun mencari opini kedua dan ketiga, mengirimkan foto-fotonya kepada teman-teman saya dengan pertanyaan: ‘Apakah ini aneh baik atau aneh buruk?’ Respons yang saya terima merupakan campuran antara remehan, tawa grogi, dan dalam satu kasus, kekhawatiran. Namun semakin banyak orang mengekspresikan ketaksukaan mereka, semakin besar cinta saya yang tumbuh untuk produk-produk tersebut. Tak lama, saya telah membuka kemasan bubble-wrap dan mengelilingi apartemen saya, mencari tempat terbaik untuk memajang mereka.

Demikian pula, saya tidak jatuh cinta pada pandangan pertama dengan platform tenun Chloé era Gabriela Hearst yang saya beli beberapa musim panas silam. Begitu pula sepatu Martine Rose x Nike Shox warna jingga dan kuning neon, yang begitu menyolok (dan faktanya, pasangan sepatu langka lebih sering mendapatkan pujian dari laki-laki ketimbang perempuan—mulai dari penjaga keamanan, pedagang, dan laki-laki kebanyakan di jalanan telah memuji ‘sepatu bot bola’ saya; sementara di luar lingkaran fashion, mereka mendapatkan emoji ‘mengalihkan wajah’ oleh para kenalan perempuan saya).

Comme des Garcons

Loewe

Di era tren yang dihomogenisasi secara algoritmik, tentang ‘clean-girl aesthetics’ dan ‘quiet-luxury dupes’, saya mendapati diri saya tertarik pada hal-hal yang mungkin dianggap tidak menarik oleh orang lain, dalam upaya untuk menghindari terlihat seperti campuran tren Instagram. Saya tidak sendirian dalam pola pikir ini; Demna Gvasalia dari Balenciaga dan Jonathan Anderson, yang mengubah Loewe dan label eponimnya menjadi merek yang diinginkan dengan mengubah ekspektasi; keduanya menciptakan pakaian yang agak aneh.

Musim ini di Prada, koleksi Miuccia Prada dan Raf Simons—dengan kacamata bermata serangga, topi ruang angkasa, dan anorak berwarna cone yang dibalut dengan hiasan bulu atau payet—merupakan sebuah komentar tentang era informasi tanpa akhir yang didorong oleh algoritma, dilayangkan oleh Nyonya Prada, sambil mengkaji ‘gagasan tentang pilihan, perihal ketakpastian sebagai ukuran kreativitas manusia’.

Coperni

Loewe

Ikon mode dan ‘it girl’ Alexa Chung menyebut mencari ‘fly in the ointment’ saat berpakaian, dan menggambarkan selera buruk sebagai ‘menyenangkan’. Amy Smilovic, pendiri dan direktur kreatif label pakaian perempuan Tibi (yang filosofi gayanya telah mengubah cara saya berpakaian), menciptakan sebuah ungkapan yang saya coba ingat ketika bersiap-siap—bahwa sebuah pakaian membutuhkan ‘the good ick’: sebuah detail yang menimbulkan sedikit gesekan dalam prosesnya, dan secara lebih luas mendorong kita untuk mempertanyakan dan menyelidiki gagasan kita tentang apa yang dimaksud dengan “selera yang baik”.

Ganni

JW Anderson

Dibutuhkan sebuah keterampilan khusus untuk mengenakan gaun yang begitu jeleknya hingga ia menjadi bagus, dan bagi saya, ini adalah bagian dari daya tarik—siapa pun bisa membuat gaun cantik terlihat bagus, tapi jika Anda bisa melakukan hal yang sama untuk sesuatu yang sedikit tidak menarik, itu menunjukkan banyak hal tentang gaya pribadi Anda. Ada kepuasan tersendiri dalam menghadapi tantangan dan membuat sesuatu yang seharusnya tidak ‘berhasil’, menjadi berhasil. Kemenangan fashion tersebut terasa sulit untuk diraih—namun tahan lama.