28 April 2025
Mode Maksimalisme Kembali Jadi Gaya Primadona Musim Semi-Panas 2025

text by Susie Lau (photography: Kiara (Persona) photograph by Zaky Akbar for ELLE Indonesia April 2025; styling Sidky Muhamadsyah)
Saat berusia 17 tahun, saya dicantumkan sebagai “seseorang yang paling mungkin menjadi sosok Donna Karan berikutnya” di buku tahunan siswa sekolah saya. Meskipun teman-teman sekelas saya yang baik hati mungkin tidak memilih desainer yang tepat untuk gaya berbusana saya yang sebenarnya (tentu saja, tanpa bermaksud menyinggung Donna sebagai desainer yang luar biasa), yang sebenarnya ingin mereka katakan adalah: “Susie sangat konsisten dalam berbusana.” Atau mungkin lebih tepatnya, “Kami tidak mengerti kenapa Susie datang ke kelas sejarah mengenakan blus Victorian, dua lapis rok slip vintage, legwarmer motif garis, dan sepatu kets Buffalo.”
Bagi saya, lebih ramai selalu lebih baik. Sejak saya memiliki kendali penuh atas apa pun yang bisa saya kenakan, saya kerap mewarnai setiap baju polos menjadi motif tie-dye warna pelangi, meski hasilnya berantakan. Satu rok saja rasanya tidak cukup—saya harus mengenakan tiga lapis. Apa ada cara untuk memadukan warna biru muda, hijau mint, dan merah muda sekaligus? Tentu saja! Apa masuk akal untuk berpakaian dengan menyeimbangkan lima motif secara visual? Jawabannya selalu: iya.
Ketika akhirnya saya mampu membeli pakaian sendiri, saya cenderung tertarik pada busana yang paling banyak hiasannya, palet warna yang paling unik dan paling terang, serta tekstur yang paling gila. Berbusana semaksimal mungkin seolah telah menjadi cara berlindung saya dalam menghadapi kesulitan, kesedihan, dan rasa tidak aman. Ketika orang berbicara tentang dopamine-dressing pasca pandemi, saya dapat dengan puas beralih ke lemari baju saya yang luar biasa semarak dan terbuka kapan saja untuk dapat di padu-padankan sedemikian rupa.
Valentino | Saint Laurent |
Berkat kembalinya Alessandro Michele ke dunia fashion musim ini sebagai direktur kreatif di Valentino, maksimalisme (dalam siklus mode yang tidak bisa ditebak) pun hadir kembali. Sekali lagi, kita punya kebebasan untuk mengenakan busana yang terinspirasi oleh lapisanlapisan vintage, memberi penghormatan kepada sejarah Valentino yang menawan dengan imbuhan pita besar, renda, dan bintik-bintik polkadot yang khas. Coba pikirkan saja keseruan berbusana di era 1980-an, seperti yang digambarkan dalam Rivals, serial televisi dari adaptasi karya Jilly Cooper yang populer.
Nicolas Ghesquière tidak pernah sungkan mengekspresikan maksimalisme, dan di Louis Vuitton, ia menantang kita dengan kreasi-kreasi hybrid seperti gaun bercelana panjang satu kaki. Di Saint Laurent, Anthony Vaccarello mengambil inspirasi dari arsip rumah mode tersebut kemudian memadukan rona emas dengan material satin dan juga sutra warna-warna permata yang bertabrakan dan cerah. Jonathan Anderson seolah mengajak kita ikut berdansa mengikuti irama dari barisan gaun melingkar khas abad ke-19 dan bulu-bulu berpernis warna-warni di Loewe. Manifestasi terbesar dari maksimalisme adalah busana yang membuat Anda percaya bahwa Anda berpotensi untuk berjalan-jalan di supermarket sambil mengenakan pakaian ekstrim tersebut.
Namun, apakah maksimalisme benar-benar pernah hilang? Mode memiliki kebutuhan konstan untuk mendeklarasikan tren dengan pencantuman headline berita yang lantang dan luas. Saya merasa heran ketika muncul banyak artikel yang memuji keunggulan berbusana gaya “quiet luxury”, yang dipicu oleh panasnya musim terakhir serial Succession. Karena begitu Anda mulai menyebut-nyebut nama sebuah merek dan mengenakan kasmir rona oatmeal berlapis-lapis, hal tersebut sudah tidak benar-benar “quiet”.
Louis Vuitton | Chanel |
Coba kita ingat lebih jauh ke belakang, apa Anda ingat gaya “normcore”, yang dicetuskan di tahun 2013 silam (oleh sebuah agensi tren)? Mungkin sederhananya adalah adanya fakta kontras bahwa beberapa orang sebenarnya memang tertarik pada gaya melapis kasmir berwarna netral dan hoodie yang tidak mencolok... sedangkan beberapa orang lainnya memang tidak menyukai gaya seperti itu. Lewat setiap deklarasi tren anti-mode dan pseudo-minimalism, pasti akan ada reaksi langsung dan komentar-komentar yang menolak untuk menerima konsep baru yang ditawarkan mode seutuhnya—misalnya menolak warna, motif, tekstur, kain, dan bentukbentuk yang unik. Namun, esensi-esensi inilah yang membuat mode menjadi sebuah permadani yang begitu kaya.
Terlebih lagi, apa yang maksimal sebenarnya tergantung pada sudut pandang Anda. Bahkan dalam rentang karya Phoebe Philo yang dianggap sebagai seorang minimalis, juga muncul momen-momen maksimalisme—misalnya, celana panjang berpotongan melengkung dengan bulubulu di tepinya (yang langsung ludes terjual). Matthieu Blazy, yang pernah bekerja untuk Philo di Céline, seolah telah menjadikan Bottega Veneta miliknya sendiri lewat bakatnya yang brilian dalam pemilihan ragam tekstur yang menyenangkan, yang senantiasa menarik perhatian dan merayakan seni craftsmanship. Makna maksimalisme telah melampaui merek dan estetika yang sedang digandrungi. Justru gaya berbusana ini menjadi sikap yang secara konsisten memicu kreativitas dan eksperimen.
JW Anderson | Loewe |
Saya sendiri akan menjadi beban finansial jika saya bekerja sebagai buyer untuk sebuah department store atau butik. Karena saya akan memilih barang-barang yang paling esktra yang biasanya justru tidak memiliki nilai komersial—sering kali disebut sebagai “the show pieces” dalam industri ini—dengan harapan dapat meyakinkan orang-orang bahwa mereka memang membutuhkan gaun mini-crini Simone Rocha berwarna merah muda dalam hidup mereka.
Namun orang-orang seperti Annie Doble—pemasok barang-barang vintage satuan dan desainer label OTT dari toko miliknya sendiri, Annie’s Ibiza—telah menarik perhatian para pengagum setia yang hanya menginginkan barisan busana ekstra. Di butik-butiknya yang berlokasi di Ibiza dan London, gaya maksimalisme mutlak berkuasa. “Saya mendesain little black dress di koleksi terakhir saya, tapi sulit sekali untuk menjualnya. Dan tidak kunjung berhasil,” ujarnya pada saya. “Busana terlaris yang saya jual justru kreasi-kreasi yang paling unik dan aneh.”
Fendi | Simone Rocha |
Selama beberapa saat, Instagram dan algoritmanya konstan menggembar-gemborkan gelombang influencer yang berbusana kurang lebih serupa: dengan lapisan warna krem yang dipadu-padankan sedemikian rupa, memegang segelas matcha latte, dan berolahraga. Sedangkan TikTok memberi jalan bagi ketidaksempurnaan dan ketidaksopanan dalam konten media sosial—yang mengartikan bahwa gaya individual kembali menang. Eve-Lily Charlotte, seorang perempuan pecinta kucing dengan gaya maksimalis yang menetap di Manchester, telah mengumpulkan barisan pengikut di Instagram dan TikTok karena selera berbusananya yang seolah tak kenal takut, dan gaya ini telah memperluas cakupan klise dari apa yang disebut gaya influencer pada umumnya. “Saya selalu merasa seperti orang yang terbuang, dan beberapa pesan media sosial favorit saya berasal dari orang-orang yang merasa tidak bisa berbusana dengan cara tertentu akibat dominasi dari gaya para influencer tersebut. Mereka mengatakan, bahwa dengan melihat penampilan saya memberi mereka kepercayaan diri untuk bisa keluar dari ‘cangkang’ mereka,” ucapnya.
Maksimalisme tidak harus selalu menjadi gerakan visual beroktan tinggi yang terbatas hanya untuk aksi di karpet merah ataupun menjadi esensi dari video klip yang apik. Apa yang mungkin tampak seperti kembalinya maksimalisme secara dramatis di fashion runway, pasti akan tersaring menjadi cara berpakaian yang lebih tone down untuk kesenangan pribadi kita sehari-hari. Itulah kekuatan sesungguhnya dari manifestasi maksimalisme dalam mode: di tengah konflik yang sedang berlangsung, ekonomi yang goyah, dan tatanan dunia yang tidak menentu, kegembiraan mengenakan sepatu berhias mutiara, rok tule polkadot yang indah, atau keberanian semata-mata memakai warna merah muda, merah, dan oranye sekaligus, memiliki kemampuan yang tidak pernah gagal untuk membangkitkan semangat. Bahkan jika itu hanya untuk satu momen yang menyenangkan.