14 Agustus 2025
Alyssa Daguisé dan Al Ghazali Berjalan Beriringan dalam Ritme Manusiawi Bernapaskan Cinta

Ada kisah-kisah cinta yang berderap cepat, berpijar sejenak lalu padam. Ada pula cinta yang tumbuh seperti akar: pelan, diam, tapi menghujam kuat ke dalam tanah. Kisah Alyssa Daguisé dan Al Ghazali dibangun dari pengenalan sejak muda, diuji oleh waktu, diperkuat oleh perpisahan, dan disatukan kembali oleh keputusan untuk saling menetap. Ketika keduanya resmi menyatukan hidup dalam ikatan pernikahan, yang tampak bukan sekadar dua selebriti muda bersanding di pelaminan, melainkan dua pribadi yang tumbuh, patah, lalu menemukan satu sama lain kembali yang lebih kuat dari sebelumnya.
Ketika Alyssa dan Al resmi menikah di awal 2025, publik menyambutnya dengan antusias, seolah melihat dua garis yang telah lama saling sejajar akhirnya bertemu. Kendati di balik momen sakral yang menggetarkan itu, ada proses panjang yang tidak selalu terlihat. “Rasanya sangat bahagia. Kami akhirnya menemukan rumah dalam satu sama lain,” ujar Alyssa dalam nada hangat yang nyaris berbisik. Ia tak berbicara soal rumah dengan tembok dan atap. Tapi rumah dalam arti yang sesungguhnya: tempat jiwa merasa aman dan diterima. Ia menatap Al dengan senyum tenang, menyiratkan bahwa segala yang mereka lewati sejak 2016—sejak pertama kali saling jatuh cinta, hingga melalui jeda-jeda yang kadang menyakitkan—akhirnya sampai juga pada satu titik yang tak lagi ragu: sebuah pernikahan. Hari itu, keduanya mengenang dengan penuh haru. “Perasaan yang paling kuat adalah syukur,” kata mereka. “Dan momen yang paling kami kenang adalah saat saling menatap mata setelah ijab kabul. Semua rasa gugup menguap, yang tersisa hanya ketenangan dan kelegaan.” Dalam pertemuan hangat di sore Jakarta yang temaram, kami berbincang dengan keduanya—sepasang kekasih yang kini telah menjadi suami dan istri—tentang cinta, kehidupan, dan menemukan rumah dalam diri satu sama lain.
Di tengah budaya digital yang mengagungkan kecepatan dan eksposur, pernikahan sering kali diartikan sebagai puncak cerita cinta yang dikemas visualnya. Tapi bagi Alyssa dan Al, pernikahan justru menjadi permulaan. Bukan dari sebuah dongeng, melainkan kehidupan nyata, dengan segala kompromi, kedewasaan, dan upaya saling memahami. Di era di mana semua ingin dibagikan, mereka memilih untuk menyimpan yang paling sakral hanya untuk diri sendiri.
fashion & jewellery, Louis Vuitton.
Alyssa Daguisé bukan nama asing di dunia mode digital. Lahir di Jakarta pada 1998 dari ayah berkebangsaan Prancis dan ibu asal Indonesia, Alyssa tumbuh dalam lingkungan multikultural. Ayahnya, seorang pengusaha perhotelan asal Prancis, telah menetap dan bekerja di Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Dari sang ayah, Alyssa mengenal dunia dan semangat kebebasan. “Saya belajar untuk mandiri dan ambisius dari papa,” tuturnya. Sementara ibunya, seorang perempuan Indonesia yang penuh kehangatan, memperkenalkannya pada dunia estetika dan keindahan, terutama dalam hal berbusana. “Mama mengajarkan kelembutan hati, dan bagaimana menjadi perempuan yang kuat.”
Sejak kecil, Alyssa sudah menunjukkan ketertarikan pada fashion. Ia gemar menyusun kombinasi pakaian, mencoba berbagai gaya dari lemari ibunya. Namun jalur hidup sempat membawanya ke bidang kedokteran gigi. Baru setelah dua tahun, ia berani mengubah haluan dan mengikuti nalurinya: berpindah ke Fashion Business di Mod’Art International Paris. Keputusan yang tak mudah, tapi baginya adalah langkah menuju kejujuran pada diri sendiri. “Life is too short to not do what you love. Fashion always spoke to me. Jadi saya memilih berani pindah jurusan. I’m exactly where I’m supposed to be.” Ia melihat fashion sebagai bahasa yang membebaskan. Gaya effortless tapi tajam menjadi signature-nya, mencerminkan kombinasi antara sisi santai dan sisi berani dalam dirinya. “Fashion is a way of expressing myself without saying a word. Saya suka bereksperimen. Louis Vuitton, misalnya, memberi ruang untuk mengekspresikan diri dengan cara saya sendiri karena kemampuannya merepresentasikan banyak sisi kepribadian: klasik, edgy, eksperimental namun tetap memiliki pijakan identitas yang kuat.” Saat ditanya bagaimana menjaga keaslian di tengah algoritma dan hiruk-pikuk tren, ia menjawab sederhana namun tegas: “Saya selalu bertanya pada diri sendiri dulu: ‘Is this really me?’” katanya. “Saya ingin setiap tampilan saya menjadi ekspresi jujur dari siapa saya, bukan sekadar ikut-ikutan.”
fashion Louis Vuitton.
Di sisi lain, Al Ghazali tumbuh dalam panggung yang terang sejak lahir. Anak sulung dari ikon musik Indonesia, Ahmad Dhani dan Maia Estianty, Al tak pernah jauh dari nada dan harmoni. Al mulai mengenal alat musik sejak duduk di bangku sekolah dasar. Musik tak pernah menjadi pilihan baginya, melainkan bagian dari dirinya. Namun membawa nama besar kadang menjadi beban. “Tantangan terbesarnya adalah keluar dari bayangan orangtua,” aku Al. “Saya ingin menunjukkan bahwa saya punya suara sendiri. Punya jalan sendiri.” Ia menjelajah berbagai bidang: musik, akting, hingga menjadi figur publik di era digital. Tapi dari semua perjalanannya, musik tetap menjadi pelabuhan utama. “Musik adalah tempat paling personal. Di situ saya bisa jujur. Akting mengajarkan saya soal empati. Dan dunia digital mempertemukan saya dengan banyak orang yang mendukung perjalanan saya.” Jika harus memilih satu, Al tak ragu: “Musik adalah tempat saya merasa paling hidup.”
Meski dunia menyaksikannya tumbuh, Al justru menemukan kedewasaannya dalam diam. “Saya belajar bahwa kita enggak bisa mengontrol semua hal, termasuk pendapat orang. Tapi kita bisa memilih untuk fokus pada hal-hal penting.” Dalam proses itu, ia merasa sangat terbantu oleh sistem pendukung di sekitarnya: keluarga, sahabat, dan tentu saja Alyssa.
fashion Louis Vuitton.
Alyssa dan Al Ghazali pertama kali bertemu dan jatuh cinta pada tahun 2016. Cinta yang dimulai saat usia masih muda membawa serta ego yang belum selesai dibentuk. Tapi waktu, dengan caranya yang diam-diam, mengasah cara mereka mencintai. Tidak lagi lewat gestur besar dan kata-kata dramatis, tapi lewat kehadiran sehari-hari, lewat keberanian untuk jujur, dan lewat kesediaan memberi ruang. Mereka belajar bahwa dewasa bukan soal usia, tapi tentang kemampuan untuk tetap tinggal, bahkan ketika dunia menawarkan jalan keluar. Hubungan mereka sempat terhenti, tapi seperti yang sering dikatakan oleh mereka yang telah mengenal cinta sejati: cinta yang tulus selalu menemukan jalannya kembali. “Sempat ada masa kami butuh ruang untuk tumbuh masing-masing. Tapi justru di situ kami belajar bahwa cinta yang tulus selalu menemukan jalannya kembali. Sekarang kami lebih dewasa, lebih bisa memahami satu sama lain, dan semakin yakin bahwa dia adalah orang yang ingin saya genggam selamanya,” ucap Alyssa. Ketika mereka memutuskan untuk bersama lagi, semuanya terasa alami. Tidak dramatis. Tidak tergesa. “It felt like coming back home,” katanya lirih. Sebuah kalimat yang mungkin sederhana, tapi tak pernah kehilangan daya getarnya. Dalam dunia yang begitu cepat berubah, rumah menjadi satu-satunya tempat yang membuat manusia merasa utuh.
Kepada ELLE, pasangan ini menggambarkan cinta bukan sebagai cerita manis yang tanpa cela, melainkan sebagai bentuk partnership. Sebuah kerja sama setara, di mana dua individu saling tumbuh, saling dukung, dan saling jaga. “Bagi kami, partnership dalam cinta artinya: we’re a team. Saling mendukung mimpi masing-masing dan membagi peran bukan karena aturan, melainkan karena cinta dan komitmen,” kata Alyssa. Partnership ini bukan hanya berlaku dalam hal besar. Tapi juga dalam keseharian yang senyap. “Dukungan itu bukan sekadar hadir di acara penting,” tambahnya. “Tapi juga tentang mendengarkan cerita setelah hari panjang, memberi semangat, atau sekadar hadir secara fisik dan mental. To always be present, itu penting.”
Pasangan selebriti kerap hidup dalam ruang yang nyaris tak memiliki sekat. Tapi Alyssa dan Al memilih untuk tidak membagikan segalanya. “Tidak semua harus dibagikan. What people don’t know, they can’t ruin,” ujar Alyssa. Sebuah prinsip sederhana tapi kuat, yang membentengi mereka dari sorotan yang kadang bisa melukai. Mereka menyadari bahwa menjaga sebagian dari hubungan tetap pribadi adalah cara paling sehat untuk bertahan. Bukan berarti menutup diri dari dunia, tetapi memilih untuk menyimpan momen-momen tertentu sebagai milik berdua. “Bagi kami, keintiman bukanlah apa yang tampak di media sosial, melainkan percakapan diam-diam, kehadiran fisik, dan dukungan emosional yang tak selalu terekam kamera. Mungkin publik hanya melihat 10% dari cerita kami, sebab yang benar-benar penting adanya di balik layar,” katanya.
Di tengah percakapan hangat ini, ada satu pertanyaan sederhana yang selalu menggoda untuk diajukan: apa yang paling mereka kagumi satu sama lain? Alyssa menjawab lebih dulu. “Ketulusannya dalam hal-hal kecil yang mungkin enggak pernah dilihat orang lain. Di balik sosoknya yang kuat, dia sebenarnya sangat lembut dan penuh perhatian.” Sementara Al Ghazali berkata lirih: “Alyssa selalu punya cara untuk membuat saya tersenyum, bahkan di momen-momen paling sulit. Sifatnya yang sabar dan caranya memahami saya tanpa harus banyak bicara, adalah hal yang paling saya syukuri.” Kini sebagai pasangan resmi, mereka berdua sepakat bahwa cinta tidak harus mengekang pertumbuhan individu. Sebaliknya, cinta justru memberi ruang. “Saya rasa memberi ruang untuk berkembang adalah bentuk cinta terbesar. Because if you win, I win. Saat kami bertumbuh, hubungan ini juga semakin kuat,” ucap Alyssa.
Dalam dunia yang serba terbuka dan transparan, ada nilai yang semakin langka: kesederhanaan dalam mencintai. Alyssa dan Al menjaganya seperti pusaka. Menyimpannya dari lensa, membesarkannya dalam keheningan, dan memperkuatnya lewat dukungan sehari-hari. Mereka menatap masa depan dengan harapan yang tak muluk, tapi dalam: terus tumbuh menjadi versi terbaik dari diri mereka masing-masing, dan membangun rumah tangga yang tidak hanya saling mencintai, tapi juga saling merawat. “Sebagai pasangan, kami berdoa supaya cinta kami semakin dalam dan rumah tangga kami diberikan kesempatan membangun keluarga yang kami impikan,” ucap mereka serempak.
Dunia hiburan punya sejarah panjang tentang cinta yang muncul, bersinar, lalu sirna. Tapi ada pula kisah-kisah yang tetap membekas karena kejujurannya. Karena kematangan dua jiwa yang memilih untuk tidak sempurna, tapi utuh. Seperti kisah Paul Newman dan Joanne Woodward yang langgeng selama 50 tahun. Atau Tom Hanks dan Rita Wilson yang membuktikan bahwa cinta bisa tumbuh di balik layar Hollywood. Barangkali mereka tahu, pernikahan bukan jaminan bahagia, melainkan komitmen untuk tetap memilih satu sama lain setiap hari. Di Indonesia, kisah Alyssa dan Al mungkin baru mulai. Tapi mereka telah menunjukkan bahwa fondasi hubungan yang kuat tak dibangun dari popularitas, melainkan dari empati, respek, dan kehadiran yang utuh.
Cinta, bagi Alyssa Daguisé dan Al Ghazali, bukan hanya tentang menemukan seseorang untuk dicintai. Tapi tentang menemukan seseorang yang membuat kita merasa pulang. Dan perjalanan panjang, jelas tak selalu berbunga. Tapi jika dijalani dengan jujur, cinta bisa menjadi rumah, bukan hanya tempat bernaung, tapi tempat untuk tumbuh bersama. Dalam rumah yang kini mereka bangun, tak semua jendela harus terbuka. Tapi cahayanya tetap terlihat jelas: hangat, lembut, dan nyata. “It felt like coming back home,” kata Alyssa. “Home is not always a place. It’s a person,” tambah Al. Dan kini, mereka telah menemukannya dalam satu sama lain.