4 Juli 2025
Lewat Musik, Nadhif Basalamah Berdialog Dari Hati ke Hati dengan Para Pendengarnya
PHOTOGRAPHY BY Hilarius Jason

Styling Ismelya Muntu; fashion Prada; grooming Rommy Andreas; hair Yez Hadjo
Suara Nadhif Basalamah berkumandang kian lantang selama dua tahun belakangan. Pun jika Anda baru memiliki sepintas pengetahuan meliputi musik Nadhif— melalui latar audio berbagai konten video di media sosial— Anda tahu bahwa ia tengah menjadi salah satu bintang yang bersinar terang. Rekaman lagu Penjaga Hati, yang dirilis Nadhif pada Juni 2023 silam sebagai karya pembuka album eponim perdananya, berhasil membawa ia mengarungi arus utama jagat hiburan Indonesia. Pendengar menyukai sajak puitis tentang rasa mendalam seseorang kala terpanah asmara yang dinarasikan bersama petikan gitar akustik nan romantis. Dalam waktu singkat, lagunya menyemarakkan siaran radio-radio lokal hingga merajai tangga lagu platform musik digital Spotify Indonesia selama 24 minggu periode awal perilisannya. Kini—saat artikel ini ditulis—Penjaga hati telah memperoleh lebih dari 390 juta pemutaran.
“Yang lucu adalah, ketika menciptakan Penjaga Hati, saya sempat berpikir untuk menjadikan lagu ini sebagai karya musik terakhir saya. Di luar dugaan, saya malah menemukan titik balik yang mengingatkan saya pada alasan mendasar mengapa saya bermusik,” ujar Nadhif. Apa landasannya? “Saya bermusik karena saya menyukai musik, dan ingin berbagi dengan orang lain. Rasanya membahagiakan saat itu terwujud,” jawabnya. Nadhif bersyukur—begitu pula para pendengarnya, dan industri musik Tanah Air yang urung kehilangan talenta muda berintegritas di tengah gelombang regenerasi. Manakala ia merilis albumnya di bulan Juni 2024, sosok Nadhif Basalamah kian resmi menjadi penjaga hati bagi pribadi-pribadi yang tengah ‘biru’.
Keterlibatan Nadhif dengan industri musik berangkat dari hobi. Saat ia berusia enam tahun, sang ibu mendaftarkannya kursus drum sebagai kegiatan sepulang sekolah. “Sebetulnya, waktu itu beliau hanya mencari akal agar saya segera pulang ke rumah begitu selesai sekolah. Sebab, hampir setiap hari semasa kanak-kanak dulu, saya keranjingan main bola sama teman-teman sampai lupa waktu hingga kerap pulang terlambat, dan membuat beliau gemas,” kenangnya tergelak. Tanpa disangka, siasat ibunda membuahkan minat yang jauh lebih besar, yang terus-menerus tumbuh membentuk sosok dewasanya—kendati Nadhif hari ini tidak lantas merengkuh karier sebagai penabuh drum. “Tiga tahun mempelajari drum, saya menyadari tidak semua orang dapat memahami kompleksitas alat musik itu,” katanya. Sebagai ganti, Nadhif kecil terpincut mengeksplorasi kunci-kunci gitar. “Saya ingat menonton video cuplikan konser John Mayer di Nokia Theatre tahun 2007, dan berpikir betapa mengagumkannya seseorang yang mampu memukau orang-orang dengan bernyanyi sambil bermain gitar,” kisahnya bermula. Ia kemudian membeli gitar pertamanya, “Gitar ‘mainan’ seharga seratus dua puluh lima ribu rupiah,” Nadhif menggali memori kanak-kanaknya.
Tumbuh besar, ia menuangkan aspirasi bermusik melalui sebuah sebuah band yang dibentuk bersama teman-teman sekolah. Ia bahkan memperkaya musikalitasnya dengan menjajal permainan bas, mengasah kemampuan vokal, hingga berlatih menciptakan lagu pribadi. Walau larut dalam suka cita bermusik, laki-laki kelahiran tahun 2000 ini memandang jalan masa depannya secara berbeda. Ia menyelesaikan studi ilmu Business & Information Technology di sekolah HighScope Jakarta; lalu merantau ke London, Inggris, untuk menempuh jenjang pendidikan ekonomi bisnis dan entrepreneurship yang lebih tinggi. “Saya senang bermusik, tapi untuk menjadikannya lebih dari sekadar hobi sesungguhnya di luar angan-angan,” katanya. Pun ketika untuk pertama kalinya ia meluncurkan karya rilisan platform musik digital di bawah label RekamKamar Studio pada 2018 silam, After School Sad Session, Nadhif belum melihat eksistensinya selaku profesional. “I just wanna let my stuff be heard by people, you know,” ujarnya. Siapa sangka takdir menggiring langkahnya berjalan kian jauh di ranah musik.
Tahun 2022, Nadhif Basalamah mengambil lompatan besar yang menegaskan statusnya sebagai pemusik. Ia beranjak dari fase berkarya lepasan, dan merilis sebuah album mini bertajuk Wonder in Time. Lima lagu menyusun daftar putarnya. Keseriusan merangkul seni musik laksana pilihan hidup yang hakiki juga ia tunjukkan dengan mendirikan label rekaman miliknya pribadi, After School. “Sebagai seniman, saya menginginkan kepemilikan penuh atas karya ciptaan saya,” katanya. Sebuah pernyataan sikap yang penuh pertimbangan—dan seolah-olah terencana— bagi seseorang yang tujuh tahun silam mengaku tak mencita-citakannya.
Pilihan Nadhif untuk berdiri di kaki sendiri dalam meniti karier musik bukan tanpa gejolak. Saat itu ia baru menginjak tahun awal periode usia 20 tahun, sebuah fase kehidupan di mana kesempatan berbanding lurus dengan tantangan. Anda yang pernah melalui titik tersebut pasti paham bagaimana optimisme memeluk impian kerap kali digoyahkan kehidupan. Nadhif sempat terpengaruh; hatinya resah mempertanyakan apakah pilihannya tepat.
Adalah musik itu sendiri yang kemudian menariknya keluar dari bayang-bayang keraguan. Ia mengubah rasa gelisah menjadi amunisi berkarya dengan lebih kreatif. Delapan lagu dalam album Nadhif memanifestasikan semangatnya. “Proses berkarya merupakan salah satu waktu di mana saya merasa lebih hidup, to be honest,” aku nomine Artis Solo Pria Pop Terbaik Anugerah Musik Indonesia 2024 itu, “Menulis jadi suatu bentuk terapi diri. Sebab itu, kebanyakan lagu yang saya buat mendasar kepada pengalaman pribadi.” Tak heran barisan liriknya terasa personal secara emosional, baik yang menggambarkan kehidupan dalam cakupan luas, atau membicarakan tema spesifik meliputi cinta.
Saya menjumpai Nadhif dua bulan menuju perilisan edisi deluxe album eponimnya, Nadhif: Laman Berikutnya. Ia menuturkan rencananya, “Kalau sesuai jadwal masyarakat bisa mendengarkannya mulai 21 Juni 2025. Akan ada lima lagu baru dan tiga lagu street version dari karya terdahulu.” Satu di antara ciptaan barunya telah dirilis lima hari silam. Sebuah single berjudul Masih Ada Waktunya. Dalam perbincangan kami, ia mengungkapkan bahwa lagu tersebut merupakan surat cintanya kepada figur hebat seorang ibu. “Saat menemukan inspirasi lagu ini, saya tengah workshop materi karya baru di rumah Petra Sihombing (produsernya). Ketika itu, banyak figur ibu menghidupkan rumah Petra— ada istri Petra asyik bermain dengan anak mereka, dan kebetulan ibu Petra juga sedang berkunjung. Di antara sesi, saya sempat mengobrol dengan ibu Petra yang kemudian membawa saya berkontemplasi atas peran ibu yang begitu besar bagi hidup saya,” ceritanya.
Nadhif Basalamah bukan musisi pertama, dan bukan satu-satunya di generasinya pada era ini, yang menumpahkan pengalaman pribadi lewat lagu—tentu saja. Formula yang sama juga telah digunakan oleh para penyair selama berabad-abad lamanya. Tapi ada karakteristik dalam cara Nadhif bernarasi. Bahasanya lugas. Ia tak sedang bernyanyi, melainkan berdialog dari hati ke hati dengan para pendengarnya.