16 Agustus 2025
Linda Gozali: Dari Warisan Menjadi Visi Sinema

Di balik layar lebar Indonesia, berdiri sosok perempuan tangguh yang tidak hanya melanjutkan warisan keluarganya, tetapi juga merevolusi cara kita memandang peran produser dalam perfilman—Linda Gozali. Ia adalah energi utama di balik MAGMA Entertainment, rumah produksi yang tidak hanya menyajikan sinema berkualitas, tetapi juga menjadi perpanjangan tangan dari kejayaan masa lalu yang pernah dicapai oleh Garuda Film, rumah produksi legendaris yang didirikan oleh ayahnya, Hendrick Gozali. Menggenggam erat nilai keluarga, komitmen terhadap kualitas, dan semangat kolaborasi lintas generasi, Linda kini menjelma menjadi salah satu figur penting dalam wajah baru perfilman Indonesia.
Kisah Linda bermula bukan dari ruang editing atau lokasi syuting, melainkan dari lantai bursa. Ia menghabiskan 25 tahun membangun karier gemilang di dunia finansial dan pasar modal, sebelum akhirnya mendengarkan suara hati yang membawanya pulang: pulang ke rumah, ke film, dan ke mimpi ayahnya yang belum selesai. Bersama sang adik, Charles Gozali—yang lebih dulu berjuang menghidupkan kembali industri film keluarga—Linda membangun MAGMA dengan menggabungkan presisi bisnis dan kepekaan kreatif. Dan dari sinilah, lembar baru dimulai: bukan sekadar meneruskan warisan, tapi menciptakan narasi baru yang relevan dan berdampak.
Nama Hendrick Gozali bukanlah nama yang asing bagi para pencinta film Indonesia. Sebagai pendiri Garuda Film, Hendrick meninggalkan jejak tak tergantikan dalam sejarah perfilman Tanah Air. Laki-laki keturunan Hokkian Tionghoa yang meniti hidup dari bawah ini memproduksi lebih dari 40 film sepanjang hidupnya, dengan salah satu mahakaryanya, November 1828, menyapu enam Piala Citra di era keemasannya. Di tengah ketatnya arus impor film asing, Garuda Film mampu menjaga marwah sinema Indonesia dengan standar produksi tinggi dan cerita-cerita bernas yang menggugah nurani. Melalui didikan keras tetapi penuh kasih dari ayahnya, Linda menyerap filosofi bahwa film bukan hanya soal bisnis, tetapi juga tentang warisan dan identitas.
Kisah keluarga ini bukan hanya tentang darah dan nama belakang. Ada filosofi turun-temurun yang terus mengalir: bertahan dan beradaptasi. Kakek Linda, yang dulu mengais hidup sebagai penambal ban di Jakarta, mengajarkan pentingnya membaca zaman. Ia kemudian belajar memperbaiki radiator mobil demi menyekolahkan anak-anaknya. Nilai inilah yang tertanam dalam diri Hendrick, dan kini mengakar kuat dalam langkah Linda. Saat industri film nyaris kolaps di awal 2000-an, Linda yang saat itu sedang studi di Amerika Serikat, meminta ayahnya untuk bertahan sedikit lagi—hingga ia kembali ke Indonesia. Dan benar saja, dengan semangat adaptasi, Garuda Film bertransformasi ke dunia televisi lewat serial Deru Debu dan Jackie dan Jacklyn yang meledak di tahun 1990-an. Kini, semangat yang sama ia bawa dalam menerjemahkan dunia sinema Indonesia hari ini yang semakin kompetitif dan digital.
Perjalanan Linda di dunia film bukan tanpa pencapaian. Ia mencetak tonggak bersejarah dengan Sobat Ambyar (2020), film Indonesia pertama yang tayang global di Netflix. Film tersebut bukan hanya hiburan manis bernuansa patah hati, tetapi juga penghormatan bagi almarhum Didi Kempot yang ikonis. Di tahun 2022, MAGMA merilis Qodrat, film horor dengan pendekatan sinematik yang segar dan mendalam—sebuah redefinisi horor Indonesia yang mendapat pujian luas dari kritikus. Karya ini menegaskan bahwa Linda bukan hanya produser dengan orientasi pasar, tetapi juga seniman strategis yang tahu kapan harus mengguncang pasar dengan kualitas. Tahun berikutnya, Linda membawa gagasan besar lain: JAFF Market—pasar film pertama di Indonesia yang menjadi ruang pertemuan antara sineas lokal dan global. Sebuah inisiatif yang membuka harapan akan industri yang lebih terstruktur dan inklusif.
Di tengah industri yang masih sangat maskulin, kehadiran Linda adalah bukti bahwa perempuan bukan hanya pelengkap di balik layar. Di balik banyak film besar Indonesia, selalu ada tangan perempuan yang bekerja dengan penuh visi, intuisi, dan keteguhan hati. Perempuan produser di Indonesia sejatinya telah memiliki sejarah panjang, dari Misbach Yusa Biran yang didampingi Ratna Asmara di era 1950-an, hingga generasi muda seperti Shanty Harmayn dan Mira Lesmana. Bahwasanya produser bukan sekadar penyandang dana, tapi arsitek semesta sinema. Perempuan produser seperti Linda Gozali adalah bagian dari barisan pelopor sunyi yang kerap luput dari sorotan, tapi menentukan arah dan membawa suara baru: bahwa kepekaan perempuan tidak hanya memperkaya cerita, tetapi juga menyusun strategi yang berani dan visioner. Linda Gozali, dengan latar belakang keuangan dan dedikasi pada rumah produksi keluarga, menghadirkan sinergi yang langka: rasionalitas bisnis dan kedalaman artistik. Di tangannya, film tidak hanya menjadi produk hiburan, melainkan ruang perenungan dan ekspresi budaya yang mencerminkan keberanian zaman.
Dalam proses membangkitkan kembali Garuda Film lewat MAGMA, sejauh mana Anda merasa harus tetap setia pada warisan ayah Anda, dan sejauh mana Anda merasa harus mendobraknya?
“Warisan ayah saya adalah cahaya yang membimbing, bukan prasasti atau rantai yang mengikat. Dalam membangkitkan kembali spirit Garuda Film lewat MAGMA Entertainment, saya bersama adik saya, Charles Gozali, memilih untuk berjalan di antara jejak beliau dan langkah kami. Kesetiaan kami pada nilai-nilai yang beliau tanamkan—ketekunan, keberanian, dan cinta pada sinema Indonesia—adalah fondasi. Tapi kami juga percaya, seperti yang mungkin juga beliau harapkan, bahwa setiap generasi punya ruang untuk mendobrak, bereksprerimen, dan menemukan suaranya sendiri. Jadi ini bukan tentang setia atau melawan, tapi tentang menyatukan, menyeimbangkan serta keberanian untuk melanjutkan dengan semangat baru.”
Sebagai produser, apa filosofi atau nilai-nilai utama yang selalu Anda pegang dalam memilih proyek film yang akan Anda kerjakan?
“Bagi saya, sebuah film harus memiliki makna. Apapun bentuknya—apakah inspiratif, reflektif, atau bahkan menggugah keberanian hidup dalam keterbatasan—film harus punya tujuan yang jelas dalam membingkai pesan positif bagi penontonnya. Kita hidup hanya sekali, dan film memiliki kekuatan untuk mengajak kita meresapi hidup dengan lebih dalam. Maka sebagai produser, saya percaya bahwa tugas saya adalah memastikan bahwa setiap proyek yang kami garap tidak hanya estetis, tapi juga memberi resonansi batin. Tidak perlu berceramah sepanjang durasi, biarkan cerita berkembang dan menyelinap ke dalam hati penonton. Karena film yang baik bukan hanya yang ditonton, tapi yang dirasakan lama setelah layar gelap.”
Bagaimana Anda menyeimbangkan kreativitas dan strategi bisnis dalam produksi film, terutama di tengah meningkatnya kompetisi platform digital?
“Setiap film dimulai dengan mimpi, tapi ia harus berjalan di atas pijakan realitas. Kreativitas dan bisnis bukan dua kutub yang saling meniadakan, justru keduanya harus saling menopang. Saya sering kali harus bernegosiasi antara ambisi kreatif dengan keterbatasan bujet. Tapi justru di sanalah ruang inovasi bekerja. Ketika dana terbatas, kami cari cara baru, sudut pandang baru, dan itu kerap menghasilkan sesuatu yang justru lebih otentik. Namun ada satu hal yang tidak bisa dikompromikan: kualitas. Jika pada titik tertentu saya merasa bahwa proyek ini belum cukup matang, belum cukup bernilai, maka saya tak segan untuk menundanya. Sebab film adalah warisan budaya—ia harus punya kualitas yang layak diingat.”
Bagaimana JAFF Market membantu membangun ekosistem film yang mendukung kolaborasi antarfilmmaker, baik lokal maupun internasional?
“JAFF Market adalah cermin dari semangat baru industri film Indonesia. Di tengah gelombang global yang haus akan konten Asia, JAFF hadir sebagai ruang bertemu, bertukar, dan bertumbuh. Sebelumnya, kita selalu harus ke luar negeri untuk menemukan pasar, mencari pendanaan, atau jejaring. Tapi kini, kenapa tidak kita yang menyelenggarakannya?Dengan dukungan komunitas film, kolaborasi dengan platform digital, dan pembelajaran lintas budaya, JAFF Market membentuk sebuah simpul penting dalam ekosistem perfilman Indonesia. Ini bukan sekadar ajang jual beli proyek, tapi juga ladang pengetahuan, tempat filmmaker muda bertumbuh bersama para pelaku industri kawakan. Ruang yang sangat kita butuhkan.”
Sebagai figur yang kini aktif membangun koneksi lintas Asia melalui JAFF Market dan MAGMA, bagaimana Anda menjaga agar film Indonesia tidak hanya menjadi ‘produk ekspor’, tetapi tetap menyuarakan akar budayanya?
“Ini soal bagaimana kita memandang kearifan lokal sebagai kekuatan, bukan keterbatasan. Saya percaya, semakin dalam kita menggali cerita dari tanah kita sendiri, justru semakin terbuka kesempatan untuk mempersembahkan kearifan lokal tadi dari kacamata yang universal resonansinya. Dunia tidak mencari yang mirip, tapi yang otentik. Maka penting bagi saya dan tim di MAGMA untuk menjaga akar narasi—budaya, bahasa, kepercayaan—sebagai inti dari cerita yang kemudian bisa dikemas dengan pendekatan sinematik yang mendunia. Konektivitas tidak boleh menggerus identitas.”
Sebagai seorang produser perempuan di industri yang sering didominasi laki-laki, bagaimana pengalaman Anda melihat peran perempuan?
“Perjalanan saya sebagai produser perempuan mengingatkan saya pada sosok Azizah dalam Qodrat 2 (film box office 2025 produksi MAGMA Entertainment) — perempuan yang mungkin tak selalu terlihat atau jarang tampil di depan, namun perannya krusial sebagai pendamping, pejuang, penjaga harapan, dan sumber kekuatan. Di industri film nasional yang masih didominasi laki-laki, produser perempuan dulu amatlah langka dan nyaris tak punya ruang. Namun kini, peran kehadiran produser perempuan mulai disetarakan sebagai bagian penting dalam pertumbuhan ekosistem perfilman.
Seperti Azizah yang sadar akan keterbatasannya namun tetap memilih untuk hadir dan berjuang, saya pun ingin memberikan kontribusi bahwa kepemimpinan perempuan bukan hanya mungkin, tapi sangat dibutuhkan—sebagai penyeimbang dan penyemai perspektif. Bukan untuk menggantikan siapa pun, melainkan untuk memperkaya makna. Di situlah saya menemukan peran dan integritas saya. Bersama seluruh tim, saya ingin merayakan kemenangan yang lahir dari kerja keras secara ikhlas, kerja cerdas dengan hati, dan kerja sama penuh syukur.”
Dalam perjalanan Anda, bagaimana Anda mendefinisikan keberhasilan sebagai seorang produser perempuan: apakah melalui pencapaian kreatif, pengakuan industri, atau dampak sosial dari karya yang Anda hasilkan?
“Ketiganya saling berkait dan tidak bisa berdiri sendiri. Pencapaian kreatif penting, karena itu jantung dari pekerjaan kami. Tapi tanpa pengakuan industri, karya itu tidak akan punya daya dorong yang luas. Lalu ada dimensi yang lebih dalam: apakah film kita mengubah sesuatu—menggeser perspektif, membuka diskusi, memberi harapan. Itulah keberhasilan sejati. Terutama sebagai perempuan, saya merasa punya tanggung jawab untuk membuat karya yang bukan hanya baik, tapi juga berani menyuarakan hal-hal yang belum banyak dibicarakan.”
Berlatar belakang ilmu keuangan, mewarisi dan meneruskan rumah produksi dengan sejarah panjang, apa penggerak terbesar Anda?
“Cinta. Bukan hanya pada film, tapi terutama pada keluarga. Dua puluh lima tahun saya bekerja di dunia finansial dan pasar modal. Tahun 2014, saya memutuskan untuk berhenti dan kembali ke akar: ke rumah, ke keluarga, dan ke dunia film yang telah lebih dulu dirintis orang tua saya lewat Garuda Film, dan dilanjutkan adik saya lewat MAGMA Entertainment. Saat itu, saya melihat perjuangan adik saya begitu gigih, pantang menyerah walaupun nyaris sendiri. Maka saya disadarkan, ini saatnya pulang. Di awal, saya hanya membantu dalam urusan administratif, legal, hingga pemeriksaan keuangan produksi. Tapi perjalanan mempertemukan saya dengan panggilan lain: menjadi bagian dari gerakan industri film itu sendiri dengan dukungan dan restu dari keluarga. Saya dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal APROFI selama tiga periode, lalu menjadi Sekretaris Komite Festival Film Indonesia 2021–2023. Sejak 2024 lalu, founder Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), mempercayakan saya untuk mengadakan atau membuka JAFF Market, yaitu pasar film pertama di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara. Dan dari sanalah saya terus belajar bahwa peran saya bukan hanya melanjutkan warisan keluarga, tetapi juga ikut menanam benih untuk masa depan perfilman Indonesia.”