8 Oktober 2025
Yandy Laurens Buktikan Narasi Sederhana Bisa Menggemakan Sinema Indonesia Lebih Keras
PHOTOGRAPHY BY Hilarius Jason

styling Ismelya Muntu; fashion Gucci; grooming Farhan Nabil; styling assistant Palupi Sekar
Di tengah gegap gempita layar perak yang semakin riuh dengan aksi spektakuler dan plot penuh sensasi, Yandy Laurens memilih jalannya sendiri: merangkai kisah-kisah sederhana yang justru meninggalkan gema panjang di hati. Belakangan linimasa marak dipenuhi poster Sore: Istri dari Masa Depan, meme viral, dan diskusi panjang soal ending film yang memecah perasaan. Sang sutradara ikut menjadi perbincangan hangat berkat fenomena Sore: Istri dari Masa Depan—film yang menembus lebih dari tiga juta penonton dan memicu ‘mixed feelings’ di jagat maya. “Film bukan sekadar tontonan,” ujarnya perlahan, “Ia adalah cara merekam rasa dan emosi yang tak selalu punya kata.” Dalam era ketika cerita sering dibentuk demi algoritma, kalimat ini terdengar seperti manifesto. Yandy Laurens, sineas yang belakangan menjadi sorotan setelah film terbarunya, Sore: Istri dari Masa Depan, menembus angka lebih dari tiga juta penonton. Sebuah capaian yang bukan hanya mengukuhkan namanya dalam peta perfilman Indonesia, tetapi juga menegaskan kekuatan cerita intim yang bersentuhan langsung dengan hati penonton. Namun, bagi Yandy, pencapaian itu bukan sekadar angka. “Saya selalu percaya, film punya kemampuan untuk lebih dari sekadar hiburan, melainkan kesempatan untuk kita berdialog,” ujarnya tenang ketika saya temui.
Derasnya arus perfilman Indonesia kerap kali membuka celah terjebak antara formula komersial dan idealisme artistik, nama Yandy Laurens muncul sebagai figur yang menolak terkotak dalam dikotomi itu. Ia bukan sekadar sutradara yang mengejar jumlah penonton, tetapi seorang perajut cerita yang percaya bahwa film dapat menjadi jendela kehidupan—menyentuh, membekas, bahkan mengguncang. Ada kesabaran dalam setiap kalimatnya, seperti cara ia mengolah detail kecil dalam adegan, membiarkan konflik tumbuh organik, dan memberi ruang bagi penonton untuk merasa, bukan sekadar menonton. “Kalau kita cukup jeli, bahkan hal yang tampak biasa bisa jadi bahan renungan besar.” Kalimat itu serupa kredo yang menjelaskan mengapa film-filmnya—Keluarga Cemara, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, 1 Kakak 7 Ponakan hingga Sore: Istri dari Masa Depan—tak hanya laku secara angka, tetapi juga menorehkan jejak emosional bagi yang menonton. Karya-karyanya menjadi saksi betapa kepekaaan bisa menjadi kekuatan, dan betapa kejujuran bisa lebih keras gaungnya dibanding teriakan megafon. “Bagi saya, film adalah ruang untuk menyelami manusia dan upaya untuk memahaminya dengan lebih baik,” ujarnya.
Lahir di Makassar pada 9 April 1989, Yandy Laurens tidak tumbuh dengan cita-cita langsung menjadi sutradara film. Masa kecilnya diisi dengan bermain basket dan drama di gereja. Namun sebuah momen sederhana mengubah arah hidupnya. Saat SMA, ia diminta menulis naskah drama untuk pementasan sekolah. Hari pertunjukan, ia terserang campak, tetapi tetap datang untuk memastikan lakon berjalan sesuai naskah. “Waktu itu saya sadar, saya ingin cerita ini disampaikan dengan benar. Mungkin di situ benihnya mulai tumbuh,” kenangnya. Mimpi awalnya adalah menjadi sutradara teater. Sampai suatu hari, sebuah buku berjudul Menjadi Sutradara Televisi karya Naratama jatuh ke tangannya. Dari halaman-halaman itulah ia mengenal profesi sutradara film—dan dunia baru pun terbuka. Ia merantau ke Jakarta, menempuh studi di Institut Kesenian Jakarta, lalu menyutradarai Wan An sebagai tugas akhir. Lewat film pendek yang lembut namun getir ini, ia tak sekadar menuntaskan skripsi, melainkan juga meraih Piala Citra 2012.
fashion Hermès.
Ketika banyak sineas muda berlomba dengan ide-ide spektakuler atau genre besar, Yandy memilih jalannya sendiri: menghadirkan kisah kecil yang intim, namun penuh resonansi. “Saya bukan tipe yang ingin meledakkan gedung atau membuat ledakan CGI. Buat saya, momen dua orang berbicara jujur bisa jauh lebih meledak di hati. Saya selalu tertarik bagaimana seseorang mengambil keputusan, apa yang mereka sembunyikan, dan apa yang mereka sesali,” tuturnya. Dari sana, kamera dan skenario menjadi medium untuk menafsirkan pertanyaan-pertanyaan yang tak habis digali.
Jika ada satu ciri khas dalam karya-karya Yandy, itu adalah keberanian untuk bersetia pada kesederhanaan. Ia tidak tertarik pada kisah-kisah bombastis. Sebaliknya, ia menggali dinamika sederhana: keluarga yang jatuh, cinta yang rapuh, harapan yang selalu mencari celah. “Kesederhanaan sering dianggap remeh, padahal justru di sanalah letak kompleksitas manusia. Saya percaya drama keluarga, percakapan di ruang makan, atau tatapan yang tidak terucap bisa lebih kuat daripada seribu kata.” Sejak awal, Yandy lebih memilih menjelajah ruang-ruang kecil kehidupan ketimbang membidik narasi megah. Film pendek seperti Papa Hao dan Menunggu Kabar menandai obsesi awalnya: menggali relasi manusia, terutama keluarga, dengan sensitivitas yang jarang. Prinsip ini menjelma menjadi gaya sinematik yang minim dramatisasi tetapi sarat rasa—dari dinamika keluarga hingga dilema cinta.
Proses kreatifnya dimulai dari pertanyaan personal: “Saya tidak pernah memulai dari pertanyaan: apa yang laku? Saya selalu mulai dari: apa yang penting untuk saya ceritakan dan kenapa cerita ini penting untuk saya? Kalau cerita itu jujur, biasanya penonton akan merasakannya. Kejujuran itu punya frekuensi yang sama, meski bentuknya berbeda,” ia menjelaskan. Jawaban dari pertanyaan itu akan mengarahkan semua keputusan—dari tone visual, tempo dialog, hingga pilihan scoring. Dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, ia melakukan eksperimen artistik dengan mengadopsi format hitam-putih. “Saya ingin penonton fokus pada rasa, bukan distraksi warna,” jelasnya. Keberanian itu berbuah manis: tujuh Piala Citra, termasuk Sutradara Terbaik dan Skenario Asli Terbaik. Pernyataan Yandy juga mengingatkan kita pada jalannya sebagai sutradara yang perlahan namun konsisten. Ia tidak memproduksi film setiap tahun, melainkan memilih proyek dengan hati-hati, hanya ketika ia benar-benar merasa ada sesuatu yang layak diutarakan.
fashion Boss; watches Hublot.
Lompatan besar Yandy hadir pada 2019 ketika ia merilis Keluarga Cemara. Alih-alih sekadar nostalgia, film itu menghidupkan kembali nilai-nilai yang tampak sederhana, namun justru langka di tengah budaya konsumtif. Film tersebut tidak hanya sukses secara komersial, tetapi juga menyulut diskursus publik tentang arti keluarga. Banyak penonton mengaku “dipaksa” pulang, setidaknya secara emosional, setelah menontonnya. Yandy mengaku, keberhasilan Keluarga Cemara adalah buah dari kejujuran. Ia tidak berusaha memperindah realitas, melainkan menampilkan keseharian dengan ketulusan. “Saya rasa kita merindukan sesuatu yang tulus. Keluarga Cemara mungkin sederhana, tapi kejujuran itu yang mungkin bikin penonton merasa dekat. Cerita keluarga menodong kita untuk jujur, karena di situlah kita berlatih menjadi manusia,” katanya. Kalimat itu seperti mantra yang terus ia bawa. Film keluarga bukan sekadar genre, melainkan fondasi dari cara Yandy menatap kehidupan: ada ruang kompromi, ada luka yang harus diterima, ada cinta yang harus dijaga.
Tahun 2025 menjadi momentum lain, Sore: Istri dari Masa Depan, sebuah film yang awalnya berakar dari web series populer. “Ekspektasi penonton itu seperti pedang bermata dua. Kalau kita hanya meniru versi web series, rasanya seperti menipu mereka. Tapi kalau kita ubah terlalu jauh, ada risiko kehilangan jiwa yang membuat cerita itu dicintai,” tuturnya. Hasilnya adalah film yang menjadi semacam gerakan kultural. Tak terhitung kutipan dari film Sore yang beredar di media sosial, dijadikan status, bahkan jadi pijakan bagi sebagian orang yang menuntun mereka untuk membuka obrolan yang sulit. Film ini juga memicu fenomena yang jarang terjadi—bukan sekadar tontotan, melainkan pengalaman emosional bersama, menimbulkan respons berlapis bagi penonton. Sebagian merasa hangat, sebagian lain dilanda haru, sementara tak sedikit yang terjebak dalam renungan tentang pilihan hidup. Di titik itu, Yandy mulai menempati posisi unik dalam perfilman Indonesia: bukan hanya sutradara, tetapi fasilitator percakapan kultural. "Cerita film ini dekat dengan keseharian, tapi sekaligus punya premis fantasi yang membuat kita bertanya: bagaimana kalau pilihan kita ternyata menentukan masa depan orang lain? Itu menggugah sekaligus menakutkan,” kata Yandy.
Dalam percakapan daring, penonton ramai memperdebatkan ending film. Ada yang marah, ada yang menangis, ada yang diam tak bisa berkata-kata. Namun satu hal pasti: Sore meninggalkan bekas. Di tengah maraknya formula romantis yang repetitif, film ini memilih merayakan ketidakpastian—dan justru di situlah daya pikatnya. Serial itu membuktikan bahwa cerita intim bisa menjangkau luas jika jujur. Dari sana, Yandy mengembangkan gaya bercerita yang berakar pada humanisme. Tak ada tokoh yang terlalu hitam atau terlalu putih. Semua manusia rapuh, tapi di dalam kerentanan itulah letak kekuatan sebuah cerita. Kesuksesan Sore juga menandai tonggak penting: membuktikan bahwa konten digital bisa bertransformasi menjadi karya layar lebar tanpa kehilangan kedalaman emosinya. Dampaknya? Industri kini menoleh ke arah baru—adaptasi bukan lagi kompromi, melainkan peluang.
Dalam percakapan kami, Yandy juga menyinggung soal ekosistem perfilman Indonesia. Ia melihat adanya tantangan dalam menyeimbangkan kebutuhan industri—yang sering menuntut komersialitas—dengan kebutuhan artistik yang lebih personal. “Kita sedang berada di persimpangan menarik,” ia berkata. “Di satu sisi, ada dorongan besar untuk mencetak angka penonton yang fantastis. Di sisi lain, ada kerinduan akan film yang jujur, yang punya integritas. Tantangan kita adalah bagaimana menemukan jembatan antara keduanya.” Film Sore barangkali bisa menjadi salah satu contoh jembatan itu. Sebuah film dengan basis cerita yang populer, tetapi digarap dengan kepekaan emosional dan kejujuran narasi.
fashion Gucci.
Jika harus merangkum filosofinya, Yandy selalu kembali pada ide bahwa film adalah ruang dialog. “Film bukan hanya tentang gaya visual atau teknis. Ia soal memahami manusia. Kalau tidak punya empati, sehebat apapun kamera yang dipakai, film itu akan kosong.” Ia sendiri menjaga empati itu dengan mendengar banyak cerita dari orang-orang sekitar, membaca, dan mengamati keseharian. “Kadang inspirasi terbesar datang dari obrolan paling biasa, yang justru menyimpan kejujuran mendalam,” katanya.
Ketika ditanya tentang rencananya setelah Sore, Yandy tidak tergesa-gesa menyebut judul baru. Ia juga tidak memberi janji muluk atau membicarkaan ‘film besar’ atau angka target. Ia justru kembali pada intinya: menggali manusia, merawat detail, menjaga kejujuran. Di balik sikapnya yang tenang, ada api yang menyala konsisten. Bukan api yang membakar panggung dengan spektakel, tapi api yang menjaga bara agar tetap hidup dalam ingatan penonton.
Di tengah hiruk-pikuk industri film yang sering terjebak dalam logika komersial, kehadiran Yandy Laurens ibarat api kecil yang tetap menyala. Tenang, tidak gegap gempita, tetapi konsisten memberi cahaya. Ia percaya bahwa kekuatan film bukan terletak pada efek spektakuler, melainkan pada kemampuan menghadirkan kejujuran. Menganyam percakapan, mengarsip rasa dengan kamera, menghubungkan antara cerita di layar dan kehidupan nyata. Melalui Keluarga Cemara, Yandy mengingatkan pentingnya kesederhanaan. Lewat 1 Kakak 7 Ponakan, ia membuka luka keluarga yang kerap ditutupi. Dan melalui Sore, ia memperlihatkan bahwa cinta dan pilihan hidup bisa menjadi medan refleksi yang luas. Sosoknya barangkali menjadi contoh bahwa sutradara besar tidak selalu lahir dari teriakan, melainkan dari keheningan yang berisi. Dari cerita sederhana tapi berlapis, dari keyakinan bahwa film terbaik adalah film yang membuat manusia merasa lebih manusia. Yandy Laurens, pada akhirnya, adalah bukti bahwa sinema Indonesia mampu tumbuh tanpa kehilangan akarnya—akar yang selalu kembali pada kehidupan, pada manusia, pada kisah-kisah yang mengingatkan kita siapa diri kita.