18 September 2025
Rahayu Oktaviani Melawan Derap Pembangunan, Merawat Suara Hutan

Text by Rianty Rusmala (photo by Nathan Rusli)
Di tengah rimba Gunung Halimun Salak yang basah oleh embun dan riuh oleh suara serangga malam, seekor owa jawa melompat di antara dahan-dahan, tubuhnya ringan seperti nyanyian hutan yang tak pernah benar-benar dimengerti manusia. Di balik semak, berdiri seorang perempuan dengan mata yang tajam namun penuh rasa iba. Ia tidak datang untuk menaklukkan hutan, melainkan untuk mendengarkan. Namanya Rahayu Oktaviani. Dan sejak hampir dua dekade lalu, ia memilih bersuara untuk yang tak bisa bersuara. Bagi Rahayu, konservasi bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah panggilan sunyi yang menjelma menjadi perjuangan yang panjang—dan sering kali sepi tepuk tangan. “Saya tidak pernah membayangkan akan mengabdikan hidup pada primata,” katanya pelan. “Tapi mungkin, justru karena mereka begitu mirip manusia dan begitu rentan, saya merasa harus bertahan.”
Ketertarikan Rahayu terhadap dunia konservasi bukanlah cerita klise yang dimulai dari kenangan masa kecil menyentuh. Tidak ada kisah tentang tumbuh besar di tengah hutan atau bercakap dengan hewan liar. Perkenalannya datang saat ia masuk Institut Pertanian Bogor (IPB), dan dengan polosnya, alasan ia memilih jurusan kehutanan pun cukup sederhana: “Saya cuma ingin kuliah sambil jalan-jalan.” Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata akhirnya menjadi rumahnya. Tanpa benar-benar memahami seperti apa kerja di dunia konservasi, ia melangkah masuk dan justru menemukan dunianya. Di bangku kuliah, seorang dosen yang tidak ortodoks membuka matanya: bukan lewat diktat, tetapi lewat film dokumenter. Di layar kelas yang sederhana, Rahayu untuk pertama kalinya melihat kekayaan satwa dunia, lalu mengerucut pada keajaiban fauna Indonesia—Orangutan. Itulah titik awal kecintaannya pada primata.
Awalnya, seperti banyak mahasiswa kehutanan lain, ia memimpikan meneliti Orangutan di jantung Kalimantan. Imajinasi tentang rimba raya begitu menggebu. Namun kenyataan sederhana yang kerap mengubah takdir pun datang: keterbatasan dana. Ia pun beralih ke primata yang lebih dekat secara geografis—namun tak kalah penting secara ekologis: owa jawa. Spesies endemik yang hanya bisa ditemukan di Pulau Jawa, dan kini jumlahnya terus menyusut karena perusakan habitat dan perburuan. “Begitu saya masuk ke hutan dan mendengar suara mereka yang melengking melintasi lembah, ada sesuatu yang berubah. Mereka tak lagi sekadar objek riset, tapi jadi makhluk yang harus saya perjuangkan,” kenangnya. Penelitiannya membawanya ke Taman Nasional Gunung Halimun Salak, hanya beberapa jam dari kampus. Di sana, ia mendampingi mahasiswa dari EHWA Women’s University, Korea Selatan, dalam proyek penelitian Owa Jawa. Namun pengalaman langsung di lapangan bersama masyarakat sekitar yang kemudian membentuk visinya: bahwa konservasi tak bisa hanya dilakukan oleh ilmuwan dari luar, tapi harus hidup dalam kesadaran komunitas.
Pada 2020, Rahayu mendirikan Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA)—sebuah wadah yang ia bangun dengan semangat akar rumput. Yayasan ini bukan hanya menjalankan pemantauan keanekaragaman hayati dan riset lapangan, tetapi juga membuka ruang transfer pengetahuan tentang primata dan konservasi pada masyarakat lokal, khususnya generasi muda. “Kami mulai dari hal sederhana: mengajak murid-murid sekolah ikut serta dalam pengamatan hutan, mengenalkan mereka pada owa dan pentingnya menjaga habitat,” ujar Rahayu. Dalam kurun tiga tahun, yayasan ini telah melibatkan 300 murid sekolah dan lebih dari 20 kepala keluarga dalam program edukasi dan konservasi. Namun membangun kepercayaan tidak mudah. Banyak warga yang awalnya ragu, bahkan menolak. “Orang bilang, ‘mengapa harus peduli pada owa, sedangkan hidup kami saja sulit?’ Dan itu wajar. Karena itulah, konservasi harus bisa menjawab kebutuhan manusia juga—bukan melawan mereka.”
Ketekunan Rahayu tidak luput dari perhatian dunia. Pada 2023, ia menerima Women in Conservation Award dari Denver Zoo—penghargaan yang diberikan pada perempuan di garis depan perlindungan satwa liar. Setahun kemudian, ia menerima Whitley Awards 2025 yang dijuluki sebagai “Green Oscars”—sebuah pengakuan internasional yang diberikan oleh Whitley Fund for Nature kepada aktivis akar rumput dari berbagai belahan dunia. “Rasanya seperti dunia akhirnya melihat apa yang kami perjuangkan di tempat-tempat yang kerap terlupakan,” katanya, tersenyum. “Tapi di sisi lain, itu juga jadi pengingat: bahwa setelah pengakuan, tanggung jawab justru semakin besar.” Pendanaan dari Whitley Awards memungkinkan Rahayu memperluas program konservasi di sekolah dan masyarakat, termasuk pelatihan guru, penyusunan modul edukasi, serta pemetaan habitat owa jawa yang makin terdesak oleh ekspansi lahan dan tambang.
Bagi Rahayu, pelestarian hayati bukan sekadar soal menjaga satu spesies, tapi mempertanyakan ulang bagaimana manusia memilih hidup. Ia menyampaikan kritiknya pada pendekatan pembangunan yang sering kali abai terhadap keberadaan makhluk lain. “Kita terlalu terburu-buru membangun, tapi lupa bahwa yang kita korbankan bukan hanya pohon dan tanah, tapi seluruh ekosistem yang menopang hidup kita sendiri,” ujarnya tegas. Ia juga mencatat bahwa dunia konservasi masih sangat maskulin. “Kadang suara perempuan tidak didengar, terutama di lapangan. Tapi saya kira justru kita butuh pendekatan yang lebih empatik, kolaboratif—dan itu kekuatan perempuan.”
Apa yang memantik ketertarikan Anda terhadap dunia konservasi, khususnya primata?
“Selepas S1, saya sempat terombang-ambing. Saya mengikuti insting petualang hingga ke Pulau Siberut di Mentawai, tanpa tahu pasti lokasi maupun gajinya. Di sana saya meneliti primata lain, sebelum akhirnya kembali ke dunia karbon dan jejak ekologis. Tapi hati saya tetap tertambat di hutan dan primata. Hingga akhirnya tawaran beasiswa S2 dari Korea datang, membuka jalan untuk kembali meneliti Owa Jawa. Di situlah jalur hidup mulai jelas. Kayaknya hidup saya memang diarahkan ke Owa Jawa. Namun, momen sejatinya datang di tengah keheningan hutan. Ketika saya harus merekam suara Owa Jawa untuk tugas akhir, tanpa pernah mendengar seperti apa suara itu. Hari-hari berlalu tanpa hasil, hingga suatu pagi, suara itu akhirnya terdengar. Melodi yang jernih, panjang, dan penuh emosi menggema di antara pepohonan. Itu suara paling indah yang pernah saya dengar. Sejak itu, saya berjanji pada diri sendiri untuk memastikan lebih banyak orang bisa mendengar nyanyian Owa Jawa—dan memahami mengapa mereka layak dilestarikan.”
Kenapa Owa Jawa penting untuk dilestarikan?
“Dalam ekosistem hutan, Owa Jawa adalah penanam harapan. Ada keterkaitan yang erat antara Owa Jawa dan hutan, Owa Jawa tidak bisa hidup tanpa hutan dan hutan mustahil ada tanpa keberadaan Owa Jawa. Mereka mengonsumsi buah-buahan dan menyebarkan biji melalui kotoran mereka. Uniknya, biji yang dikeluarkan tetap utuh dan akan tumbuh menjadi pohon baru di lantai hutan. Tanpa Owa Jawa, regenerasi pohon terhambat. Tanpa pohon, hutan akan runtuh. Populasinya saat ini hanya diperkirakan sekitar 2.000–4.000 individu, tersebar di sisa-sisa hutan di Pulau Jawa yang semakin terfragmentasi oleh padatnya pemukiman manusia. Di tengah megapolitan yang terus menggerus ruang hijau, suara mereka nyaris lenyap.”
Bagaimana kisah didirikannya Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara?
“Setelah menyelesaikan S2, saya kembali ke Indonesia dan melanjutkan penelitian jangka panjang tentang Owa Jawa yang dimulai sejak 2008. Dari riset itu lahirlah Java Gibbon Research and Conservation Project. Namun seiring waktu, saya menyadari bahwa sains saja tidak cukup. Sebuah pertanyaan dari seorang ibu di warung kampung menjadi titik balik: “Kenapa Mbak lebih sering ke hutan daripada ke kampung?” Kalimat sederhana itu menusuk kesadaran saya. Saya merenung: seberapa besar saya benar-benar terhubung dengan komunitas di sekitar hutan yang saya teliti? Bukankah mereka adalah bagian dari ekosistem itu juga? Kesadaran ini mengarah pada pendirian Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA) pada tahun 2020, bersama para sahabat yang punya mimpi serupa. KIARA bukan sekadar lembaga konservasi; ia adalah jembatan antara sains, masyarakat, dan kebudayaan. Salah satu pendekatan yang paling unik adalah dengan mengangkat cerita rakyat—misalnya, keyakinan bahwa nyanyian Owa Jawa membawa hujan. Cerita ini dihidupkan kembali dalam program pendidikan konservasi yang ditujukan pada generasi muda, terutama di kawasan urban yang jauh dari realitas hutan.”
Bagaimana dinamika bekerja bersama komunitas akar rumput?
“Pengalaman paling krusial yang saya rasakan saat pertama kali turun langsung ke komunitas adalah menyadari bahwa niat baik saja tidak cukup. Sebagai orang luar yang datang dari kota besar, kadang tanpa sadar kita membawa serta sikap eksklusif. Kita merasa datang sebagai pendidik, membawa misi besar bernama konservasi, namun justru tanpa sadar membangun tembok yang membatasi. Alih-alih menjadi jembatan, kita justru menciptakan jarak. Tantangan terbesar dalam membangun kepercayaan ternyata bukan soal logistik atau bahasa—melainkan soal sikap. Bagaimana kita mampu merendahkan hati, menyadari bahwa kita adalah tamu di tanah yang sudah lama mereka tinggali. Kuncinya terletak pada kesediaan untuk benar-benar hadir, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin. Saya belajar bahwa untuk bisa diterima, kita harus membumi. Kita perlu membuka telinga lebih lebar daripada mulut. Karena sering kali, percakapan paling penting tidak terjadi di ruang rapat atau forum formal, melainkan di sela obrolan santai sambil menyeruput kopi sore, atau saat duduk beralaskan tikar bersama warga yang berkumpul selepas panen. Di situ, di tengah kehangatan yang tak dibuat-buat, justru muncul gagasan, kepercayaan, dan inisiatif-inisiatif baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Membangun hubungan dengan komunitas bukan tentang seberapa banyak kita bisa memberi, tetapi seberapa dalam kita bisa mendengarkan.”
Apa yang perlu dikhawatirkan jika konservasi owa jawa tidak berhasil?
“Bukan hanya satu spesies. Bukan hanya satu suara. Kita kehilangan petani hutan, penjaga ekosistem, dan simbol kebanggaan. Ketika Owa Jawa tidak berhasil dikonservasi, maka manusia akan kehilangan hutan. Sering kali kita memulai segalanya dari rasa takut akan kepunahan. Tapi bagaimana jika kita mulai dari cinta? Melalui pendekatan edukatif yang menyenangkan, saya dan tim di komunitas membangun rasa memiliki terhadap Owa Jawa, terutama di kota-kota. Sebab jika tak kenal, bagaimana bisa sayang? Anak-anak kota yang jauh dari rimba harus diajak mengenal dan mencintai Owa Jawa dulu, baru mereka mau tahu mengapa satwa ini penting.”
Bagaimana Anda melihat posisi dan peran perempuan dalam dunia konservasi?
“Dalam dunia konservasi yang kerap maskulin, saya menemukan kekuatan perempuan dalam hal yang paling mendasar: keterhubungan dengan tanah, air, dan kehidupan. Lewat inisiatif Ambu Halimun di Citalahab, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kami membangun kelompok pemberdayaan perempuan. Di sanalah saya melihat bahwa perempuan adalah penjaga narasi, penyambung peradaban. Cerita tentang Owa, hutan, dan alam hidup kembali melalui ibu-ibu yang meneruskannya ke anak-cucu. Perempuan tidak hanya pelengkap; mereka adalah pemimpin yang merawat nilai-nilai komunitas.”