23 Agustus 2025
Anggia Kharisma: Merayakan Cinta, Keluarga, dan Tribut untuk Sang Ayah

doc. Visinema
Di balik layar, sebuah film sering kali lahir dari ruang batin yang tak terlihat. Dari kegelisahan, kenangan, kehilangan, hingga cinta yang tak habis-habisnya mencari bentuknya sendiri. Sosok Anggia Kharisma, produser sekaligus Chief Content Officer Visinema Studios, adalah salah satu figur perempuan yang menjadikan layar perak bukan sekadar medium hiburan, melainkan ruang refleksi yang personal dan universal.
Dalam satu dekade terakhir, nama Anggia identik dengan film-film keluarga yang bukan hanya berhasil secara komersial, tetapi juga membekas dalam hati penonton. Mulai dari Keluarga Cemara (2019) yang kembali menghadirkan nilai kehangatan keluarga sederhana ke layar lebar, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020) yang membuka percakapan publik tentang luka dan pola asuh, hingga Jumbo (2025), animasi yang melampaui angka 10 juta penonton dan mencetak sejarah sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa.
Namun di tengah semua capaian itu, hadir Panggil Aku Ayah (2025)—sebuah film yang menjadi momen paling personal bagi Anggia. Film ini bukan hanya karya layar lebar, melainkan tributnya untuk almarhum sang ayah, Achmad Purwono.
Perempuan di Balik Layar, Penanda Zaman
Dalam lanskap perfilman Indonesia, peran produser perempuan sering kali menjadi kisah yang jarang terdengar, meski kontribusinya tak ternilai. Anggia termasuk dalam generasi baru produser perempuan yang menghadirkan perspektif berbeda: tegas dalam visi, sekaligus lembut dalam narasi. Karya-karyanya membuktikan bahwa film keluarga tidak harus klise; ia bisa menggugah, membuka ruang diskusi, bahkan melintasi batas generasi.
Di film Jumbo, misalnya, Anggia bersama timnya membuktikan bahwa animasi buatan Indonesia mampu bersaing di pasar global. Karakter-karakter Jumbo tidak hanya dicintai anak-anak, tetapi juga merangkul orang dewasa dalam nostalgia dan tawa. Soundtrack-nya bahkan menjadi lagu lintas generasi—membuktikan bahwa film keluarga bisa menjadi fenomena kultural.
“Film keluarga yang baik bukan sekadar hiburan, tapi pemantik percakapan,” ujar Anggia dalam satu kesempatan. Pandangan ini pula yang membuatnya konsisten menjaga isu keluarga sebagai DNA karyanya.
“Panggil Aku Ayah”: Ruang Duka, Ruang Cinta
Bagi Anggia, Panggil Aku Ayah adalah karya yang lahir dari luka sekaligus cinta. Ia mulai memasuki proses produksi hanya tiga minggu setelah ayahnya berpulang. Film ini pun berkembang menjadi semacam “coping mechanism”—sebuah cara untuk mengolah kehilangan.
Film ini bercerita tentang dua penagih utang, Dedi (Ringgo Agus Rahman) dan Tatang (Boris Bokir), yang tanpa sengaja menjadi figur ayah bagi seorang anak bernama Intan (Myesha Lin). Sebuah kisah sederhana, tetapi menyimpan resonansi universal: bahwa keluarga tidak selalu hadir karena garis darah, melainkan karena kasih sayang yang tulus.
Ada detail-detail personal yang sengaja Anggia sisipkan dalam film ini. Dari gaya berpakaian salah satu karakter yang terinspirasi almarhum ayahnya, hingga harmonika—alat musik kesukaan sang ayah—yang muncul dalam scoring film. Bahkan di akhir film, sebuah foto ayahnya hadir di layar, membuat keluarganya terharu saat menontonnya.
“Film ini menjadi ruang saya untuk memaafkan diri sendiri, untuk mengingatkan bahwa cinta kepada orangtua sering terasa selalu kurang. Tapi melalui cerita ini, saya merasa lebih dekat lagi dengan Ayah,” tuturnya lirih.
Dari “Cahaya dari Timur” hingga “Jumbo”
Perjalanan Anggia di dunia film sesungguhnya dimulai lebih dari satu dekade lalu lewat Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014), sebuah film yang langsung meraih Piala Citra untuk Film Cerita Panjang Terbaik. Sejak saat itu, ia tidak pernah berhenti menghadirkan karya yang relevan dengan denyut kehidupan masyarakat.
Transformasinya pun menarik. Sebelum terjun ke film, Anggia adalah seorang dokter gigi. Namun, kecintaannya pada dunia bercerita membuatnya memilih jalan lain. Sejak SMA, ia sudah mendirikan ekstrakurikuler film bersama teman-temannya—tanda awal bahwa layar perak akan menjadi rumahnya.
Kini, sebagai produser perempuan yang memimpin lini konten di salah satu studio film paling progresif di Indonesia, Anggia menjadikan visinya bukan sekadar melahirkan karya box office, tetapi juga evergreen IP—cerita dan karakter yang bertahan lintas generasi.
Cinta yang Tak Lekang
“Bagi saya, keluarga selalu punya kekuatan luar biasa. Film keluarga bukan hanya tawa dan air mata, tapi ruang untuk berdialog dengan diri sendiri dan orang-orang terdekat,” kata Anggia.
Itulah yang membuat film-film Visinema yang ia produseri selalu terasa personal sekaligus universal. Dari NKCTHI yang membuat penonton berdialog tentang luka keluarga, hingga Panggil Aku Ayah yang mengajak audiens merayakan cinta tanpa syarat, Anggia membuktikan bahwa film bisa menjadi ruang penyembuhan.
Kehilangan ayah membuatnya lebih selektif dalam memilih proyek. “Saya ingin mengerjakan cerita yang bisa menemani orang dalam sunyi mereka. Karena saya percaya, di balik layar gelap bioskop, selalu ada hati yang mencari penghiburan, atau sekadar merasa tidak sendirian,” ungkapnya.
Lewat Panggil Aku Ayah, ia bukan hanya mempersembahkan film yang hangat dan menghibur, melainkan juga sebuah tribut: ungkapan cinta seorang anak untuk ayahnya yang telah tiada. Dan di sanalah letak kekuatan sejati sinema—bukan sekadar di layar lebar, tetapi di ruang-ruang hati penontonnya.
Untuk memahami lebih jauh perjalanan kreatif sekaligus dimensi personal yang membentuk karya-karya Anggia Kharisma, ELLE berbincang dengan sang produser. Berikut petikan wawancara yang mengungkap gagasan, refleksi, hingga pesan emosional di balik film-filmnya:
Dari seorang dokter gigi hingga menjadi produser film. Bisa diceritakan bagaimana perjalanan itu terjadi dan apa momen yang membuat Anda jatuh cinta pada dunia film?
“Sejujurnya, sejak kecil ruang paling dekat dengan saya dan keluarga lahir dari momen sederhana seperti membaca buku dan didongengin oleh orangtua saya, menonton bersama, dari film bioskop sampai era rental VHS dan rental Laserdisc. Ada satu momen yang begitu membekas, selesai menonton sebuah film, biasanya saya selalu membayangkan proses pembuatannya dan kreatif di belakang layarnya seperti apa, Di titik itu saya sadar bahwa film bukan sekadar hiburan, tapi medium untuk bercerita tentang banyak hal, menciptakan karakter yang relevan dengan audiensnya serta bentuk perjalanan untuk memahami diri sendiri dan orang lain juga. Ketika cerita yang baik terbentuk dan dijahit menjadi gambar bergerak di layar perak dan bisa memeluk penontonnya, disitulah rasanya saya jatuh hati untuk menjadi seorang pencerita serta impactful. Perasaan itulah yang akhirnya membuat saya yakin dan berani serta fokus untuk menekuni dunia film sepenuhnya.”
Apa filosofi pribadi Anda dalam memilih proyek-proyek film yang akan Anda produksi?
“Saya percaya film keluarga yang baik bukan hanya menghibur, tapi juga membuka diskusi dengan diri sendiri juga dengan keluarga. Di tengah derasnya hiburan yang serba instan, ruang untuk cerita keluarga yang hangat dan relevan masih luas peluangnya. Kami di Visinema Studios memiliki komitmen untuk menciptakan evergreen IP yang cerita dan karakternya bisa menemani dan memeluk banyak hati lintas generasi. Kami percaya cerita yang kami buat adalah cerita untuk kita semua, anak-anak kita dan anak-anak di dalam diri kita.”
Sebagai pemimpin Visinema Studios, bagaimana Anda menyeimbangkan antara visi pribadi dengan strategi studio dalam membangun karya-karya yang konsisten dan berpengaruh?
“Bagiku, keduanya tidak berdiri terpisah. Target market selalu jadi kompasnya. Visi kreatif pribadi selalu jadi titik refleksi pemantik ideationnya tapi harus diterjemahkan lebih artikulatif ke dalam strategi studio yang lebih besar. Tantangannya adalah menjaga agar setiap karya tetap punya DNA kehangatan dan relevansi, sekaligus selaras dengan visi Visinema sebagai IP creator. Jadi prosesnya pun harus bisa terukur antara idealisme pribadi, kebutuhan pasar, dan misi studio. Dengan begitu lahir karya-karya yang memiliki impact lebih luas lagi bahkan bisa menjadi sebuah gerakan yang bisa membuat ekosistemnya bukan hanya bertahan tetapi juga evolve dengan apa terjadi di dunia hari ini.”
Dalam lebih dari satu dekade berkarier, proyek atau pencapaian mana yang paling Anda anggap sebagai tonggak penting dalam perjalanan Anda?
“Sejujurnya, sulit memilih satu karena setiap film memiliki artinya sendiri. Cahaya dari Timur: Beta Maluku salah satunya. Keluarga Cemara menjadi film box office Visinema yang pertama, film NKCTHI membuka percakapan tentang luka keluarga, JUMBO merayakan imajinasi dan keberanian, sementara Panggil Aku Ayah menjadi ruang pribadi untuk memeluk duka kehilangan. Semua adalah tonggak, karena setiap film bukan hanya milestone, tapi juga potongan perjalanan personal dan emosional yang saya rasa pengalaman itu layak dibagikan dengan cara-cara bercerita yang dihadirkan oleh karakternya. Setiap cerita yang lahir selalu memberi saya pelajaran baru, tentang keluarga, cinta, kehilangan, dan keberanian untuk terus bercerita lebih baik lagi.”
Anda dikenal konsisten mengangkat tema keluarga dalam banyak produksi. Apa yang membuat isu ini begitu penting dan relevan bagi Anda secara personal maupun profesional?
“Buat saya, cerita keluarga selalu punya kekuatan luar biasa secara dinamikanya dan juga timeless. Saya percaya film keluarga yang baik bukan hanya menghibur, tapi bisa menjadi pemantik diskusi, membuka ruang untuk saling memahami. Di Visinema, kami merasa ini saat yang tepat untuk mengisinya bukan hanya dengan tawa atau air mata, tapi dengan cerita yang bisa menyentuh hati lintas generasi. Seperti film Panggil Aku Ayah misalnya, film adaptasi dari Korea yang kami harap bisa jadi percakapan tentang arti keluarga sesungguhnya. Begitu juga film NKCTHI yang mengajak penonton berdialog tentang hubungan antara orang tua dan kakak beradik serta memaknai pola pengasuhan, atau film JUMBO yang merayakan kisah petualangan, persahabatan, perbedaan dan keberanian dalam format Animasi yang kami percaya membuat ekosistem animasi Indonesia bertumbuh dan bisa bersanding dengan karya animasi lainnya secara global. Semua dimulai dari pertanyaan kenapa cerita ini penting dibuat lalu diolah oleh kami menjadi cerita yang bisa menemani penontonnya bertumbuh dan memberikan refleksi baru terhadap dirinya dan harapannya bisa mendekatkan lagi keluarga Indonesia.”
Seberapa jauh keterlibatan Anda dalam setiap detail proses produksi? Apakah lebih banyak berada di ranah ide besar atau Anda juga ikut turun ke hal-hal teknis?
“Saya percaya seorang produser harus punya clear vision sejak awal, bukan hanya soal development penciptaan cerita dan karakternya saja, tapi sampai ke detail kecil yang membangun dunia filmnya… Jadi saya memang hands-on dengan banyak detailnya. Dari proses pre-production, production dan post-productionnya, bahkan terlibat juga untuk diskusi distribusinya, sampai brainstorming dengan tim marketing dan promotion serta ikut terlibat dalam proses bisnis developmentnya. Buat saya memproduksi film bukan sekadar memilih tim yang tepat dan menggerakkan tim kreatif untuk bisa bekerja sama, tapi memastikan setiap dari kita memiliki belonging yang sama terhadap filmnya. Saya terbiasa terjun langsung di ruang diskusi dengan penulis, director, sampai departemen artistik, supaya cerita yang kami bangun menghidupi mediumnya. Proses yang buat saya sangat menyenangkan seperti merangkai puzzle: setiap detail, sekecil apapun, harus terhubung agar penonton merasa, “ini nyata, ini dekat dengan hidupku.”
Panggil Aku Ayah menjadi sangat personal karena terinspirasi dari ayah Anda. Bisa diceritakan bagaimana pengalaman kehilangan ini memengaruhi proses kreatif Anda?
“Buat saya, film ini adalah ruang untuk mengolah duka. Saya mulai syuting hanya tiga minggu setelah ayah meninggal, jadi setiap prosesnya terasa seperti perjalanan pribadi. Saya sengaja memasukkan detail-detail kecil yang mengingatkan saya pada beliau dari gaya berpakaian Mang Dedy yang mengenakan jaket jeans dan kemeja kotak-kotak, sampai foto ayah yang saya tampilkan di kredit akhir. Saat foto itu muncul di layar, ibu saya sampai terharu sekali, karena rasanya seperti beliau masih hadir di tengah-tengah kami. Ada juga momen di set yang dijadikan ritual oleh Kang Benny Setiawan director film Panggil Aku Ayah untuk memutar lagu favorit Ayah saya, “Our House” dari lagu Crosby, Stills, Nash & Young di setiap kami akan mulai syuting dan selesai syuting.”
Sejauh mana proses porduksi film ini menjadi sebuah “coping mechanism” bagi Anda, dan bagaimana Anda ingin penonton merasakan kedalaman emosi yang sama?
“Sejujurnya banyak ya, karena proses pembuatannya yang emosional dan personal banyak sekali detail yang saya hadirkan tentang Ayah, salah satunya juga diskusi saya dengan Ifa Fachir dan Adrian Martadinata selaku Music director untuk menghadirkan instrumen harmonika karena ayah sekali senang sekali bermain harmonika, rasanya buat saya pribadi jadi terasa dekat seolah Ayah hadir juga di dalam filmnya.”
Dalam film ini Anda bekerja sama dengan sutradara Benni Setiawan. Bagaimana dinamika kerja kalian dan apa kontribusi terbesarnya dalam menghidupkan visi cerita?
“Kolaborasi kami dengan Kang Benni terasa sangat menyenangkan. Saya baru tahu bahwa beliau adalah penulis Sahabat Pilihan, serial yang saya tonton waktu kecil dan membentuk cara pandang saya tentang persahabatan dan keluarga. Rasanya seperti semesta mempertemukan kami di momen yang tepat. Kang Benni punya sentuhan yang lembut dan detail, mampu mengubah hal yang pahit jadi momen manis di layar. Dia memberi kebebasan improvisasi terhadap pemainnya, yang membuat banyak adegan terasa alami.”
Sebagai adaptasi dari film Korea Pawn karya CJ ENM, apa tantangan terbesar dalam menerjemahkan cerita ke konteks Indonesia agar tetap otentik tapi juga relevan bagi penonton lokal?
“Sejak awal, kami sepakat bahwa yang kami adaptasi adalah premisnya, bukan sekadar menempelkan judul atau format dari versi Korea. Pawn punya inti cerita yang kuat, dan itu kami pertahankan terutama emosi dan titik balik yang menyentuh. Di Indonesia, konsep keluarga itu luas sekali. Kita tumbuh dalam budaya yang guyub, di mana tetangga bisa jadi seperti saudara, dan seseorang bisa menjadi “orang tua” meski tak melahirkan kita. Itulah yang membuat cerita Pawn terasa sangat relevan di sini. Tantangannya adalah menemukan cara bercerita yang jujur, membumi, dan dekat dengan keseharian penonton Indonesia, supaya maknanya justru semakin kuat. CJ ENM memberi kami keleluasaan penuh untuk melakukan lokalisasi ini, jadi prosesnya terasa organik dan personal. Ini merupakan film adaptasi yang memiliki value yang sangat kuat. Tantangannya adalah menemukan cara bercerita yang jujur, membumi, dan dekat dengan keseharian penonton Indonesia,tapi juga bersetia dengan cerita aslinya, yang juga challenging adalah menemukan pemain anak kecil untuk memerankan karakter Intan Gemilang ‘Pacil’.”
Apakah ada pelajaran atau refleksi pribadi yang Anda harap penonton bawa setelah menonton film ini, terkait hubungan dengan orangtua atau keluarga mereka sendiri?
“Yang paling penting adalah film itu relevan, hangat, dan bisa memantik diskusi. Air mata memang kadang hadir sebagai respon emosional, tapi tujuan utamanya adalah membuat penonton merasa terhubung. Untuk film Panggil Aku Ayah, aku melihat banyak penonton yang setelah menonton justru pulang dengan banyak rasa dan memikirkan kembali arti keluarga, atau teringat akan pentingnya peran orangtua dalam hidup mereka.”
Bagaimana pengalaman personal, termasuk kehilangan ayah, memengaruhi cara Anda memimpin tim kreatif dan memilih proyek di masa depan?
“Kehilangan itu seperti kaca yang pecah, membuat saya melihat hidup dengan fragmen baru. Secara tidak langsung membuat saya lebih selektif lagi memilih cerita. Saya ingin mengerjakan cerita yang punya gema emosional, yang bisa menemani orang dalam sunyi mereka. Karena saya percaya, di balik layar yang gelap di bioskop, ada banyak hati yang mungkin sedang mencari penghiburan, atau sekadar merasa tidak sendirian dan merayakan hidup dalam ruang yang lebih personal. Besar harapan saya ini yang menjadi landasan saya memantik ide di ruang kreatif bersama tim untuk berkesadaran mendengarkan dengan lebih seksama lagi dengan hati untuk menghadirkan cerita yang bukan hanya penting untuk kami garap namun memanusiakan cerita itu sendiri.”
Setelah lebih dari satu dekade berkarya, bagaimana Anda melihat posisi Anda dalam lanskap perfilman Indonesia, khususnya dalam mengangkat tema keluarga?
“Saya hanya berusaha konsisten dan belajar lebih baik lagi menjadi pencerita tentang hal-hal yang dekat di hati terutama keluarga yang kemudian menjadi legacy untuk anak saya, Mungkin itu kontribusi kecil dan langkah kecil saya menghadirkan film yang bisa menjadi teman berdialog bagi penontonnya tentang arti rumah, tentang dinamika hubungan, tentang kehilangan dan tentang imaji dunia anak-anak dan keluarga. Industri ini memiliki potensi untuk berkembang lebih baik lagi dan saya hanyalah salah satu bagian kecil di dalamnya. Tapi selama cerita yang saya buat bisa menemani seseorang di titik hidupnya untuk mereka bisa terhubung kembali dengan dirinya, dengan keluarganya dan dengan anak-anak di dalam dirinya, itu sudah lebih dari cukup buat saya.”
Apa proyek atau visi baru yang ingin Anda wujudkan di Visinema Studios, khususnya yang bisa membawa dampak sosial atau emosional bagi penonton?
“Tentu ada beberapa IP yang sedang kami persiapkan untuk itu, dari film live action, animation movie juga series dan puppet show. Tungguin ya persembahan kami selanjutnya. Jika harus merangkum filosofi Anda sebagai produser dalam satu kalimat, apa yang ingin selalu Anda pegang dalam setiap karya yang lahir dari Visinema? Ingin terus menghadirkan cerita yang bisa menemani anak dan keluarga Indonesia bertumbuh dan bertanggung jawab terhadap karya yang dihasilkan. Komitmen Visinema studios adalah menghadirkan Evergreen IP yang tidak hanya menghibur, tapi juga meninggalkan makna yang membuat audiencenya memeluk aftertaste setelah menonton karya kami untuk bisa mencintai lebih baik lagi. Saya percaya film bisa menjadi ruang refleksi yang paling personal juga lembut. Tapi intinya setiap film lahir dari pertanyaan sederhana tentang kegelisahan manusia itu sendiri, lalu diolah dengan rasa dan hati yang berkesadaran. Karena pada akhirnya, quality production value serta cerita yang paling membekas dan berkesan adalah cerita yang paling sederhana namun dekat.”