9 Oktober 2025
Kerri Na Basaria Panjaitan Menghidupkan Kembali Warisan Batak lewat Tobatenun

photo DOC. Kerri Na Basaria Panjaitan
Kegigihan Kerri Na Basaria Panjaitan menelusuri masa lalu tidak membuatnya terjebak nostalgia, melainkan justru mendorongnya mencipta masa depan. Sejak muda, ia dikenal sebagai sosok perempuan yang haus pengetahuan, dengan minat yang dalam terhadap sejarah dan warisan budaya. Jejak akademiknya menjadi bukti: gelar sarjana Sejarah ia raih di University of St. Andrews, kemudian melanjutkan S2 Arkeologi di University of Sydney, Australia. Bagi Kerri, setiap disiplin ilmu bukan sekadar titel akademis, tetapi jendela untuk memahami manusia, komunitas, dan warisan yang mereka tinggalkan.
Ketertarikannya pada sejarah dan budaya itu menemukan bentuk nyata pada 2018, ketika bersama Melvi Tampubolon, ia merintis Tobatenun—sebuah social enterprise dengan misi melestarikan sekaligus merevitalisasi kain tenun tradisional Batak. Di tangan mereka, Tobatenun bukan hanya wadah pelestarian budaya, melainkan juga sarana pemberdayaan komunitas. Melalui pendekatan berkesinambungan, Tobatenun membangun ekosistem dari hulu hingga hilir: mulai dari kapas yang ditanam, benang yang dipintal, warna yang diracik dari botani sekitar Danau Toba, hingga motif yang ditenun dengan tangan-tangan perempuan perajin. Di setiap tahap, keadilan, keberlanjutan, dan kebanggaan pada identitas menjadi prinsip utama.
Yang membuat Tobatenun berbeda adalah keberpihakan yang jelas pada perempuan. Mayoritas penenun—atau Partonun—adalah perempuan, yang lewat tenun bukan hanya menopang ekonomi keluarga, tetapi juga menjaga warisan leluhur agar tidak lenyap dimakan zaman. Melalui Jabu Bonang, “Rumah Benang,” para Partonun didampingi dengan pelatihan teknis, literasi keuangan, hingga edukasi kesehatan, menjadikan mereka bukan sekadar perajin, melainkan pelaku utama dalam ekosistem kreatif. Di sisi lain, Jabu Borna, “Rumah Warna,” menghidupkan kembali pengetahuan pewarnaan alami, menghadirkan palet biru dari salaon, merah dari kayu angsana, hingga hitam dari buah itom—seluruhnya diolah dengan cara ramah lingkungan yang terhubung dengan standar internasional.
Di persilangan antara tradisi dan inovasi itulah Tobatenun berdiri. Ia menjadi bukti bahwa warisan budaya tidak harus dipertahankan dalam ruang museum, melainkan bisa dihidupi, diperkaya, dan dijadikan medium pemberdayaan sosial. Dalam perjalanan Kerri, menenun bukan lagi sekadar praktik turun-temurun, melainkan sebuah tindakan politis: mengangkat suara perempuan, merawat identitas, dan menegaskan bahwa keberlanjutan hanya mungkin tercapai ketika kita berani merajut kembali hubungan antara manusia, budaya, dan alam.
Kerri mengingatkan kita bahwa warisan tidak untuk dipuja dari kejauhan, melainkan untuk dihidupi, dirawat, dan diteruskan. Dengan Tobatenun, ia menegaskan bahwa menenun bukan sekadar pekerjaan, melainkan tindakan politis; bukan sekadar tradisi, melainkan strategi keberlanjutan; bukan sekadar estetika, melainkan identitas. Pada akhirnya, perjalanan Kerri Na Basaria bukan semata kisah tentang kain, melainkan tentang keberanian seorang perempuan untuk menenun ulang warisan. Ia berdiri di titik persilangan antara tradisi dan modernitas, antara akar dan sayap. Dari tangan-tangan perempuan penenun, ia belajar bahwa kekuatan sejati lahir dari kesabaran, konsistensi, dan cinta pada detail yang sering tak kasat mata. Dari ulos, ia belajar bahwa benang bisa menjadi bahasa. Dan lewat Tobatenun, Kerri membuktikan bahwa perempuanlah yang paling piawai menulis masa depan dengan tenunan.
Anda menempuh pendidikan yang sangat beragam—dari sejarah di St. Andrews, lalu kini arkeologi.Bagaimana latar belakang akademik ini membentuk cara Anda memandang budaya dan warisan tekstil Batak?
“Sejak kecil, orangtua saya sudah menanamkan kecintaan pada sejarah. Saya masih ingat, ketika tinggal di Singapura, ada tugas sekolah tentang Indonesia. Ibu bercerita panjang tentang masa penjajahan dan perjuangan bangsa—saat itu juga saya jatuh cinta pada sejarah. Orangtua saya selalu mengingatkan: jangan hanya berlibur, tapi pelajari pula budaya dan sejarah tempat yang kita kunjungi. Maka, ketika memilih kuliah sejarah dan arkeologi, saya tahu arah itu bukan kebetulan. Yang menarik, studi sejarah dan arkeologi bukan hanya soal peristiwa masa lalu. Ia melatih kemampuan menulis, berpikir kritis, dan menganalisis. Sebagai orang Batak, saya terdorong mendalami arkeologi dan sejarah Sumatra Utara—wilayah yang nyaris tak tersentuh riset. Ada rasa tanggung jawab: bila bukan kita yang meneliti, siapa lagi? Selain itu, saya memang sejak kecil gemar membaca biografi, sejarah, dan buku-buku sosial humaniora. Pola pikir saya memang condong ke arah itu. Jadi, bidang-bidang sosial bukan sekadar akademik, melainkan bagian dari cara saya memahami dunia.”
Apa tantangan intelektual sekaligus personal yang Anda rasakan?
“Ada ungkapan: history is written by the victors. Dan sering kali, ‘pemenang’ itu adalah laki-laki. Sejarah yang kita baca dipenuhi kisah perang, politik, dan militer—semuanya dari perspektif laki-laki. Maka muncul pertanyaan: di mana perempuan saat itu? Apa yang mereka lakukan? Ketiadaan perempuan dalam catatan sejarah membuat seolah-olah mereka tidak berkontribusi. Padahal, pengabaian itu terjadi karena mereka tidak diberi ruang dalam narasi. Bagi saya, tantangan terbesar adalah menarasikan kembali peran perempuan yang terhapus dari sejarah. Itu bukan sekadar kerja intelektual, melainkan juga perjuangan politis—mengembalikan perempuan ke tempat yang semestinya.”
Di tengah perjalanan akademis yang global, bagaimana identitas Batak dan tanah Toba tetap “memanggil” Anda pulang?
“Sejak umur 15 tahun, saya tinggal di Inggris. Lama berada di luar negeri memang menimbulkan krisis identitas. Mudah sekali menutup mata dari kampung halaman. Tapi saya memilih sebaliknya: pengalaman global justru harus kembali untuk membangun Tanah Air. Saya kembali ke akar: Batak. Dari ibu, saya belajar mencintai ulos—kain tenun sakral yang menyertai setiap fase hidup orang Batak, dari lahir hingga wafat. Ulos bukan sekadar kain, ia adalah doa yang ditenun. Tapi saya juga sadar, cinta saja tidak cukup. Ia harus diwujudkan dalam aksi nyata agar warisan itu tidak hanya dikenang, melainkan hidup.”
Apa momen yang akhirnya melahirkan ide mendirikan Tobatenun pada 2018?
“Setelah kembali ke Indonesia, saya dan ibu mulai mencari cara meningkatkan kesadaran publik tentang ulos. Kami membuat pameran dengan seniman dan Museum Tekstil, mengangkat filosofi cycle of life—bagaimana ulos hadir dalam setiap perjalanan hidup orang Batak. Namun, pameran saja tidak cukup. Bagaimana nasib penenun? Apakah hanya berhenti di narasi, atau ada aksi nyata? Saya sadar, saya bukan pebisnis. Maka saya menggandeng Melvi Tampubolon yang berpengalaman di bidang perbankan. Kami membagi peran: saya menggali aspek filosofi, kebudayaan, dan kreativitas; Melvi membangun sistem bisnis. Tahun 2018, Tobatenun lahir. Tak lama, pandemi datang—kami gunakan waktu itu untuk menyusun business plan. Kini Tobatenun bekerja dengan lebih dari 300 mitra, hampir semuanya perempuan. Mereka bukan sekadar penenun, melainkan bagian dari ekosistem: dari pewarna alami, perajin alat, hingga perajin motif.”
Apa tantangan terbesar saat memulai Tobatenun—baik dari sisi bisnis maupun sosial-budaya?
“Tantangan pertama tentu soal persepsi. Banyak orang melihat ulos hanya sebagai kain tradisional untuk upacara adat, bukan sesuatu yang bisa hadir dalam kehidupan sehari-hari. Membawa ulos ke ruang kontemporer tanpa kehilangan sakralitasnya butuh strategi komunikasi yang hati-hati. Tantangan kedua adalah konsistensi penenun. Menenun bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan keterampilan yang memakan waktu, tenaga, dan kesabaran. Saat permintaan meningkat, bagaimana memastikan kualitas tetap terjaga tanpa menekan penenun? Kami belajar membangun sistem produksi yang menghargai ritme mereka, bukan memaksa mereka mengikuti ritme pasar. Tantangan lainnya—dan ini sangat personal—adalah menghadapi keraguan. Sebagai perempuan muda, saya sering dipandang ‘terlalu idealis’ atau dianggap ‘sekadar hobi’. Namun, saya percaya, bila kita bisa menjembatani warisan budaya dengan kebutuhan zaman, hasilnya bukan hanya bisnis, melainkan juga gerakan sosial.”
Anda menyebut ekosistem Tobatenun mencakup 14 tahap dari hulu ke hilir. Bisa diceritakan lebih dalam?
“Banyak orang hanya melihat kain tenun sebagai produk akhir. Padahal, prosesnya sangat panjang. Mulai dari menanam kapas, memintal benang, membuat pewarna alami dari tumbuhan, hingga menyusun motif dan menenun. Setiap tahap melibatkan tangan perempuan—dari petani, pemintal, hingga penenun. Kami di Tobatenun berusaha membangun ekosistem ini secara menyeluruh. Artinya, kami tidak hanya membeli kain, tetapi juga memastikan rantai hulu ke hilir berjalan adil. Misalnya, ketika harga kapas naik, kami berdiskusi dengan penenun agar mereka tidak menanggung beban sendiri. Atau saat pewarna alami butuh waktu lebih lama, kami menyesuaikan timeline produksi. Prinsipnya sederhana: slow fashion for a sustainable life.”
Mayoritas penenun adalah perempuan. Apa arti pemberdayaan bagi Anda dalam konteks Tobatenun?
“Saya percaya, pemberdayaan bukan sekadar memberikan pendapatan tambahan. Pemberdayaan adalah ketika seorang perempuan merasa suaranya didengar, keahliannya dihargai, dan ia punya kendali atas hidupnya. Ada satu kisah yang selalu saya ingat. Seorang penenun berkata: ‘Dulu saya hanya menenun untuk memenuhi adat, bukan untuk hidup. Sekarang, dari menenun saya bisa menyekolahkan anak.’ Kalimat sederhana itu adalah bukti nyata bahwa warisan budaya bisa menjadi sumber daya ekonomi sekaligus kebanggaan. Lebih dari itu, menenun memberi perempuan ruang untuk tetap berada di rumah, menjaga keluarga, sambil tetap mandiri secara finansial. Jadi, pemberdayaan di sini bukan memisahkan perempuan dari akar mereka, melainkan memperkuat posisi mereka di dalamnya.”
Bagaimana Anda menjaga agar tenun Batak tetap sakral, tapi juga relevan bagi generasi muda?
“Kami percaya, sakralitas ulos ada pada nilai dan doa yang ditenun, bukan hanya pada bentuk fisiknya. Maka, dalam karya kontemporer, kami tetap mengusung filosofi itu. Misalnya, motif yang dipakai untuk koleksi ready-to-wear tetap diambil dari motif tradisional, hanya konteksnya yang disesuaikan. Kami juga mengedukasi publik lewat media sosial, pameran, hingga workshop. Anak muda diajak bukan hanya untuk memakai, tapi juga memahami cerita di balik kain. Saat mereka tahu, rasa bangga itu muncul. Dari situ, warisan budaya bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan bagian dari identitas hari ini.”
Apa visi jangka panjang Anda untuk Tobatenun?
“Visi kami sederhana namun besar: menciptakan ekosistem tenun Batak yang berkelanjutan, dari hulu ke hilir, yang memberi manfaat bagi semua pihak—penenun, petani kapas, pengrajin, hingga konsumen. Lebih jauh lagi, kami ingin menjadikan tenun sebagai bahasa diplomasi budaya. Sama seperti Jepang punya kimono dan India punya sari, Indonesia bisa mengangkat tenun sebagai simbol kebanggaan global. Ulos, dengan seluruh filosofi cycle of life di dalamnya, bisa menjadi pintu masuk dunia untuk memahami siapa orang Batak dan siapa Indonesia. Pada akhirnya, Tobatenun bukan hanya tentang kain. Ia adalah cerita tentang perempuan, tentang identitas, dan tentang keberanian merajut masa depan tanpa kehilangan akar.”