LIFE

7 Oktober 2025

Sheila Dara Mantap Menambatkan Gairah Artistiknya pada Seni Peran


PHOTOGRAPHY BY Andre Wiredja

Sheila Dara Mantap Menambatkan Gairah Artistiknya pada Seni Peran

styling Alia Husin; makeup Aditya Vagueskin; hair Eka; styling assistant Nebrisca Elvaretta & Syavilla Ramadhani

Berapa kali Anda bangkit mengulang hidup untuk menjalani hari yang sama? Pertanyaan saya dalam membuka percakapan kami sontak memecahkan tawa Sheila Dara. “Perihal itu benar-benar jadi perdebatan, ya. Saya sungguh tidak tahu! Saking seringnya, saya kehilangan perhitungan saat syuting; dan saya yakin, begitu pula Yandy,” jawabnya belum berhenti tergelak. Ia cukup sigap menangkap tendensi pertanyaan saya bukan tentang falsafah kehidupan, melainkan narasi film Sore: Istri Dari Masa Depan. Sejak dirilis pada 10 Juli 2025, karya Yandy Laurens (sutradara sekaligus penulis naskah adaptasinya) yang dibintangi oleh Sheila Dara bersama Dion Wiyoko tersebut berhasil menjadi film cult. Perolehan jumlah penonton bioskopnya mencapai lebih dari tiga juta penonton. Di dunia maya, tidak terhitung berapa banyak meme dan konten yang meromantisisme dialog Sore. Kami berjumpa di tengah gegap gempita penayangannya, sehingga tidaklah mungkin untuk tidak ikut larut di dalam topiknya. “Tetapi ayah mertua saya sempat mengirimkan catatan pribadinya,” ujar perempuan yang resmi menikahi Vidi Aldiano sejak 15 Januari 2022 itu melanjutkan, “Papa rupanya mulai menghitung setelah dua kali menonton filmnya.” Ia kemudian memperlihatkan sebuah foto di galeri ponselnya. Foto itu berisi perincian tiap adegan yang menampilkan pengulangan narasi dalam alur penceritaan Sore. Hasil rekapitulasi ayah mertua Sheila mencatat ada total 54 repetisi narasi kehidupan berulang—yang merangkum kali rentang “ratusan,” bilamana mengutip sepenggal dialog Sore.

Plot Sore digarap dengan mengusung konsep time loop. Sheila tampil berperan sebagai sang istri dari masa depan, yang mencurangi waktu dan terus mengulang kehidupan demi melepaskan cinta sejatinya dari cengkeraman kematian. Suatu bentuk kegigihan yang sulit dicerna kerasionalan—terlepas dari moral kemanusiaan di balik kisah filmnya yang menghanyutkan. “Saat membaca naskah Sore untuk pertama kalinya, saya ingat berdiskusi dengan Yandy perihal apa yang mendorong manusia rela bertindak sedemikian rupa?” ungkap Sheila. Menggali latar emosional sebuah karakter ialah salah satu langkah penghayatan peran bagi peraih Piala Citra kategori Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik tahun 2024 (untuk penampilannya di film Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film) itu. “Saya percaya bahwa cara pandang manusia, berikut setiap keputusan yang diambil berakar pada pengalaman dan peristiwa di masa lalu, yang membentuk karakteristik serta cara pandangnya dalam mengambil langkah.”

fashion Fendi.

Penuturan Sheila terdengar sarat akan makna mendalam, saya pikir. Saya kembali melontarkan gagasan pertanyaan yang mengawali perbincangan ini kepada Sheila, namun, kini dengan konteks di luar narasi film; menyangkut siklus jatuh bangun yang menuntut ketahanan dan keteguhan hati. “Barangkali saya juga akan melakukan apa yang dilakukan Sore, bila ada di posisinya. Tapi, saya benar-benar salut dengan kegigihan Sore, hahaha,” Sheila berujar ringan sebelum melanjutkan, “Saya rasa, setiap orang memiliki daya tahan masing-masing, yang didorong oleh berbagai alasan personal. Tidak bisa disamakan antara satu dengan yang lain. Saya sendiri adalah tipe orang yang cenderung berjalan selaras dengan energi kehidupan. Saya membuka diri terhadap segala pengalaman, tanpa berusaha mematok standardisasi yang spesifik bagi diri sendiri. Cukup menjalaninya dengan kelapangan hati disertai pikiran terbuka. Sebab terkadang menetapkan target bikin kita lupa menikmati proses. Saya pikir, justru segala yang terjadi dalam proses itulah yang penting, yang pada akhirnya akan mengantarkan kita menemukan tujuan akhir.” Sheila Dara memilih bergerak selayaknya air mengalir. Langkah kakinya menelisik ke mana arus membawa ia mengarungi kehidupan yang penuh ketakpastian. Di antara segala kemungkinan, jejaknya tampak menapak pada sebuah alur yang konstan: kesenian. Kendati demikian, arahnya tidak langsung menuju dunia sinema. Kiprah berkesenian Sheila justru dirintis dari panggung musik.

“Dulu sewaktu TK sempat bercita-cita ingin menyanyi, barangkali karena sering mendengar ibu memutar musik di rumah,” cerita perempuan kelahiran Bandung tahun 1992 itu. Ibunya, Linda Melinda, adalah mantan pemusik yang beralih profesi mengelola usaha salah satu waralaba Sanggar Ananda. Semasa kanak-kanak, Sheila merajut naluri kian dalam terhadap musik di bengkel seni kelolaan ibunya tersebut. Ia belajar piano sekaligus mengasah talenta berolah vokal. Pada usia 8 tahun, impiannya terwujud. Ia merilis sebuah album anak-anak di bawah nama grup vokal Trio Arvaby. Sang bintang kecil lantas mengorbit. Hingga tahun 2004, ia beranjak remaja dan mulai menjalani kehidupan sekolah menengah. Pendidikan dominan sebagai fokus pilihan hidupnya.

fashion Gucci.

Tahun 2008, Sheila kembali naik panggung pertunjukan dengan merilis album Cinta Terlarang. Karya musik beraliran pop yang menandai kiprah perempuan dewasa muda. Performa musiknya dilanjutkan proyek kolaborasi musik Nikki vs Sheila yang diluncurkan tahun 2013 oleh label rekaman Wanna B Music production (label yang sempat membidani karier musik Afgan dan Budi Doremi). Sampai pada suatu hari, ia bertemu seorang manajer artis—kini jadi manajernya—yang mengajak ia menjajal seni peran. “Kami berkenalan saat saya terlibat proyek musik bersama Wanna B. Ia bertanya apakah saya tertarik berakting? Ketika itu, selayaknya mahasiswa yang baru lulus kuliah, saya menatap masa depan dengan pikiran terbuka,” ungkap Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini mengenang titik pergeseran kariernya. Lalu dimulailah perjalanan Sheila Dara: sang aktor.

Seni peran sesungguhnya bukan ranah asing bagi Sheila. Tatkala menjalani hari-hari selaku bintang kecil, ia sempat terlibat produksi sinetron Bidadari musim pertama (2000-2002) dan Petualangan Ratu Malu & Jendral Kancil (2003-2004). “Lebih dari satu dekade telah berlalu sejak terakhir saya mengecap dunia akting. Apalagi porsi berperan saya semasa kanak-kanak dulu tidaklah intens. Sungkan rasanya disebut pengalaman,” ujarnya. Tahun 2013 menjadi babak baru eksplorasi Sheila terhadap seni peran. Ia berangkat dengan gejolak jiwa muda tinggi; tampil di berbagai judul film televisi, beredar melalui tayangan sinetron, dan bahkan ambil bagian dalam film besutan sutradara Monty Tiwa, Romantini—karya yang menandai debut layar lebar Sheila. “Saya cukup beruntung dapat bekerja sama dengan rumah produksi yang mengerjakan film-film untuk televisi sekaligus layar lebar. Terkadang mereka juga menawarkan kesempatan untuk audisi proyek film,” kisahnya. Kiprah Sheila terus bergulir. Meski porsi peran yang dibawakan belum sepenuhnya menonjol, namun frekuensi kemunculannya di layar televisi serta bioskop menunjukkan konsistensi.

Lima tahun selang awal meniti karier keaktoran, kiprah Sheila melaju dengan mapan. Puluhan judul karya tercatat mengisi portofolionya. Kendati demikian, ia justru merasa jauh dari perkembangan. “Sempat ada masa di mana saya berturut-turut melakoni karakter dalam alur penceritaan serupa. Tidak ada perbedaan, selain nama dan profesi yang diganti. Dan situasi itu berlangsung bertahun-tahun,” ceritanya. Ia kerap ditempatkan sebagai protagonis kesayangan penonton, atau pendamping pemeran utama yang selalu optimis. Kejemuan sejatinya kerap lahir dari kondisi stagnasi. Sheila merasa langkahnya mengalir tanpa riak berarti. Tentu saja geraknya tak selalu mulus, tapi juga tanpa gelombang. Alhasil, pikirannya berkelana membayangkan bagaimana jika gelombang hadir mengguncang arusnya, apakah ia mampu berdiri tegak? “Sempat terbesit pikiran untuk menyudahi saja, tapi kemudian saya merefleksi kapasitas diri sendiri,” katanya, “Saya disadarkan oleh pendapat seorang sahabat, bahwasanya dunia ini bergerak dalam jalinan keterhubungan. Ia menyarankan, ‘Put yourself out there more,’ dan berada di antara jalinannya. Sebuah proses yang sesungguhnya sangat ‘menyiksa’ buat pribadi introver seperti saya.” Bicara dengan Sheila, Anda akan kerap kali menemukan kelakar bersifat self-deprecating seperti ini terselip di antara kalimat.

Menggenggam misi pengembangan diri, Sheila mulai aktif menghadiri berbagai acara kesenian—khususnya yang berhubungan dengan ranah sinema. Harapannya: agar dapat mengenal lebih banyak orang di dunianya, dan di samping itu, acara kesenian juga bisa menjadi ruang belajar untuk memperkaya skill. Suatu hari, ia mendapat undangan dari sutradara Angga Dwimas Sasongko untuk menghadiri kelas penulisan skrip yang digelar oleh Visinema Pictures. “Waktu itu penulis kartun Rugrats datang sebagai pembicara,” kenang Sheila, “Saya tidak berniat jadi penulis naskah, tapi saya pikir tak ada salahnya mengetahui skill-nya.” Usai kelas, Sheila tidak buru-buru pulang. Ia menyempatkan waktu duduk bersama Rachel Amanda dan Rio Dewanto—yang juga hadir dalam kelas. Tidak ada yang tampak luar biasa dari interaksi ketiganya. “Kami hanya mengobrol santai,” kata Sheila. Namun jalinan interaksi mereka rupanya memukau perhatian Angga Dwimas Sasongko yang saat itu tengah dalam pencarian pemeran film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. “Tahu-tahu, kami dapat tawaran main film,” ceritanya.

fashion Max Mara.

Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini mengisahkan dinamika hubungan rumah tangga yang dibelenggu trauma kehilangan. Sheila berperan sebagai Aurora, anak tengah berwatak mandiri yang kerap diabaikan keluarga hingga dihinggapi rasa kesepian. Perolehan screentime Sheila tidak begitu banyak, seakan-akan menerjemahkan esensi karakternya. Meski begitu, kemunculannya selalu berhasil menguras emosi penonton dengan permainan peran yang intens, bahkan saat ia hanya diam dan berbicara lewat ekspresi wajah. Film yang dirilis tahun 2020 silam itu turut melambungkan nama Sheila Dara ke dalam jajaran nominasi Aktris Pendukung Terpilih Piala Maya.

“Saya akan jujur pada Anda, minat untuk mengulik seni peran secara mendalam sejatinya saya temukan ketika terlibat film Sabtu Bersama Bapak. Sebelum itu, bermain peran tidak lebih dari sekadar pekerjaan buat saya. Saya audisi, dapat panggilan, kemudian datang ke lokasi, terima naskah, syuting adegan, lalu pulang. Begitu saja alurnya,” aku Sheila. Sabtu Bersama Bapak (2016) memaparkan ia pada alur berbeda: proses reading. “Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan sutradara, penulis naskah, serta pemain film duduk bersama dan berdiskusi. Pengalaman itu memberi saya pemahaman tentang pendalaman peran. Bagaimana aktor perlu mengenal karakter selayaknya manusia, dituntut menggali dan menata emosinya, hingga menjelmakan entitas yang mampu meyakinkan penonton,” katanya.

Sheila tidak pernah mengecap pendidikan akting secara formal. Ia belajar autodidak di lapangan, dan rekan sineas adalah gurunya. Di Sabtu Bersama Bapak, ia berjumpa dengan Acha Septriasa—sosok yang disebut Sheila berperan besar dalam mengubah perspektifnya memandang seni peran sekaligus profesi keaktoran. “Berkesempatan melihat Acha berperan dari dekat adalah pengalaman yang luar biasa. Acha tidak hanya menciptakan suatu karakter, ia membangun dunia karakternya secara utuh,” ujar Sheila, “Tentu, Acha bukan satu-satunya sosok panutan. Bagi saya, setiap sineas yang pernah bekerja sama memberi pengalaman berharga yang membantu saya mempertajam kemampuan.” Tak jarang, ia secara sadar berinisiatif memilih proyek-proyek yang menghadapkannya pada kesempatan bekerja sama dengan sineas-sineas baru—yang belum pernah bersinggungan sebelumnya.

fashion Max Mara.

Ia menjajal arahan Kimo Stamboel di Ratu Ilmu Hitam. Keluar dari zona nyamannya demi bertransformasi jadi sosok witty nan menyebalkan penggerak narasi Teka-Teki Tika (2021) besutan Ernest Prakasa. Percaya pada visi sutradara muda Sabrina Rochelle Kalangie yang menampilkannya sebagai perempuan idaman lain untuk remake karya legendaris Noktah Merah Perkawinan (2022). Permainan perannya di antara Marsha Timothy dan Oka Antara dalam film tersebut menuntun Sheila Dara meraih nominasi Festival Film Indonesia pertamanya. Sheila memenangkan Piala Citra pertamanya pada tahun 2024 silam, kali kedua ia menerima nominasi Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik—saat itu untuk kepiawaiannya memerankan sosok editor film yang begitu menjiwai (“Saya berterima kasih kepada para editor film yang banyak memberi arahan tentang profesi mereka”) dalam karya Jatuh Cinta Seperti di Film-Film garapan Yandy Laurens. “Di awal karier, Yandy adalah salah satu orang yang memperlihatkan pada saya betapa membahagiakannya proses membuat film. Kami bertemu sekitar tahun 2017-an atau 2018-an, waktu itu kami terlibat proyek film pendek untuk kampanye sebuah brand. Ceritanya sederhana, namun hangat, dan kehangatan itu terasa selama proses syutingnya,” cerita Sheila. Sejak itu, keduanya kerap kali berkolaborasi menghasilkan karya bersama. Sebelum Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, ada serial web Yang Hilang Dalam Cinta (2022); setelahnya 1 Kakak 7 Ponakan (2025); dan yang teranyar Sore: Istri Dari Masa Depan.

Dalam menerima sebuah proyek film, Sheila selalu mempertimbangkan elemen-elemen yang meliputinya. Elemen itu bukan sekadar ditentukan jalan cerita, atau seberapa ‘berat’ karakternya, tapi juga kru dan pemain yang terlibat, sebagaimana diskusi kami mengalir panjang. Ia juga menekankan pentingnya, “Ketersediaan ruang untuk saya bertumbuh; harus ada skill set baru yang bisa saya pelajari dari prosesnya.” Entah itu menguasai kinerja editor film; menyelidiki budaya rokok kretek (Gadis Kretek); memahami estetika seni murni (Nanti Kita Cerita Hari Ini dan Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang); atau memperkaya komunikasi dengan berbahasa Kroasia secara fasih demi melakoni Sore. “Tentu saja, kemampuan ‘fasih’ saya sebatas dialog Sore, hahaha. 10 sesi kursus tidaklah cukup untuk membuat kita jadi native. Tapi setidaknya saya paham bagaimana membedakan pelafalan sejumlah huruf diiringi aksen yang khas,” ujarnya.

Kami sampai di penghujung percakapan, sebab ia harus bertolak ke sisi suaminya yang akan menggelar pertunjukan dalam beberapa jam mendatang. Sebelum pergi, ia menyampaikan kabar bahwa Sore tengah mempersiapkan pemutaran internasional yang dijadwalkan mulai bulan September 2025 di sejumlah bioskop luar negeri, meliputi Brunei Darussalam, Malaysia, serta Singapura. Gempita Sore belum usai. Namun pada titik ini, menurut saya, Sheila Dara bukanlah lagi Sore. Ia selayaknya fajar yang menyingsing hari dengan sinar terang.