24 Oktober 2025
Menggagas Babak Baru, Prilly Latuconsina Sambut Kembali Festival Film Indonesia 2025 Dalam Spirit Inklusivitas
Text by Syavilla Ramadhani ; (photo: Doc. Festival Film Indonesia)
Festival Film Indonesia 2025 kembali hadir dengan semangat baru melalui tema besar Puspa Warna Sinema Indonesia, yang menyoroti keberagaman sebagai kekuatan utama sinema Tanah Air. Tema besar ini diusung guna mengangkat kekayaan Indonesia yang tak ternilai, yaitu keberagaman yang mewarnai sejumlah suku bangsa, bahasa, budaya, hingga lanskap alam yang membentang di seluruh Nusantara. Nilai-nilai inilah yang turut mewarnai sinema Indonesia, tercermin dalam lokasi, tema, hingga estetika produksi yang beraneka rupa. Sejak pertama kali digelar pada tahun 1955, Festival Film Indonesia telah menjadi saksi perjalanan panjang perfilman nasional—melewati pasang surut zaman dan terus beradaptasi dengan dinamika industri yang kian modern. Tahun ini, Malam Anugerah Piala Citra akan kembali diselenggarakan pada November mendatang, menandai babak baru dan memperluas akses serta inklusivitas bagi seluruh pelaku film di Tanah Air.
Salah satu langkah nyatanya diwujudkan melalui pengembangan program Road to Festival Film Indonesia, yang kini bertransformasi menjadi berbagai bentuk kolaborasi bersama festival film lokal di sejumlah daerah, mulai dari Aceh, Bali, hingga Kalimantan. Melalui inisiatif ini, Festival Film Indonesia berupaya memberi ruang bagi sineas daerah untuk menampilkan karya yang sarat nilai budaya dan identitas lokal. Di balik berbagai program tersebut, sosok Prilly Latuconsina, selaku Ketua Bidang Program FFI, menjadi penggerak lahirnya semangat baru—mengupayakan agar ajang ini bukan sekadar panggung penghargaan, melainkan juga ekosistem pembelajaran yang inklusif bagi seluruh insan perfilman. Tahun ini, Festival Film Indonesia merangkum esensinya dalam tiga makna: Keberagaman yang menampilkan warna-warni kisah dalam film, sinema yang berfokus pada kekuatan film Indonesia, dan kita yang merepresentasikan seluruh insan perfilman di Tanah Air.
Bersama ELLE Indonesia, Prilly Latuconsina meluangkan waktunya untuk berkisah tentang pergerakan FFI yang kian esensial di tahun ini.
Apa pertimbangan terbesar Anda ketika memutuskan menerima amanah sebagai Ketua Program FFI 2025? Apakah ada keraguan pribadi sebelum akhirnya mengambil peran ini?
“Pertimbangannya pada saat itu jujur berat sekali. Sebelumnya, posisi Ketua Komite FFI dipegang oleh Kak Reza Rahadian. Karena saya cukup dekat, saya melihat langsung bagaimana sibuk dan kompleksnya tanggung jawab yang dijalankan. Saat itu kami tengah terlibat dalam proyek film yang sama, dan saya benar-benar menyadari betapa besar komitmen yang dibutuhkan untuk posisi tersebut. Saya juga pernah dua tahun menjadi Duta FFI. Maka ketika Kak Ario Bayu bersama pihak Kementerian Pendidikan mempercayakan saya menjadi Ketua Pelaksana sekaligus Ketua Program, perasaan saya campur aduk—antara terhormat dan ragu. Saya tahu tanggung jawab ini tidak mudah, terutama karena keseharian saya sudah dipenuhi kegiatan syuting, produksi, dan bisnis. Kekhawatiran saya sederhana: apakah saya bisa tetap disiplin dan berkomitmen pada peran ini. Namun setelah berdiskusi dengan Kak Ario Bayu, kami membangun sistem kerja yang efisien bagi anggota komite yang juga memiliki kesibukan masing-masing.
Dari situ, saya akhirnya menerima amanah ini. Tahun pertama menjadi fase pembelajaran—memahami sistem kerja, merancang program, dan menangkap aspirasi sineas serta publik. Dari riset yang saya lakukan, kesadaran publik terhadap FFI masih rendah; banyak mahasiswa bahkan belum tahu apa itu FFI. Karena itu, saya menggagas program Road to Campus untuk menumbuhkan kembali kecintaan terhadap film Indonesia melalui lokakarya, diskusi, dan pemutaran film pemenang FFI. Kini, memasuki tahun kedua, semua terasa lebih tertata. Bersama tim yang solid dan berpengalaman, kami bekerja lebih efektif dan mulai menyiapkan agenda, seperti Road to Film Festival Lokal di Aceh, Kalimantan, dan Bali. Meski jadwalnya luar biasa padat, saya bersyukur dapat menjalankan amanah ini dengan tim yang menyenangkan dan penuh dedikasi.”
Sebagai figur yang berada di depan layar sekaligus di balik layar, apa blind spot terbesar yang Anda temukan ketika harus merancang program sebesar FFI?
“Sebenarnya pada tahun pertama, semuanya terasa blind—benar-benar seperti buta, tidak tahu harus melakukan apa. Jadi yang saya lakukan pertama adalah mencari tahu, tim pelaksana itu job desk-nya apa. Lalu, sebagai tim program, program seperti apa yang kira-kira diharapkan oleh publik dan juga oleh industri. Saya kemudian melihat job desk dari tahun dan periode sebelumnya, merekrut tim, lalu mengadakan rapat. Setelah itu, kami mencoba membuat program dan mengikuti prosesnya sampai benar-benar bisa berjalan. Awalnya memang semuanya masih terasa seperti meraba-raba.”
Banyak kritik menyebut festival film sering hanya jadi perayaan untuk kalangan dalam industri. Bagaimana strategi Anda agar FFI 2025 terasa inklusif dan relevan, khususnya bagi penonton awam maupun generasi muda di luar ekosistem perfilman?
“Sebenarnya ini juga menjadi tantangan bagi Komite dan tentu saja, bagi saya sebagai Ketua Program. Dua tahun terakhir, tema FFI memang selalu berangkat dari kata kunci inklusivitas. Tahun ini, melalui tema Puspa Warna Sinema Indonesia, kami ingin menunjukkan bahwa perfilman Indonesia tidak sebatas film panjang saja. Ada begitu banyak sineas lokal yang berkarya lewat film dokumenter, animasi, hingga film pendek. Karena itu, dua tahun terakhir kami berupaya menjangkau daerah-daerah yang sebelumnya belum pernah terlibat dalam kegiatan FFI. Di tahun pertama, kami mengunjungi Kupang dan bekerja sama dengan Festival Film Flobamora, lalu berlanjut ke Makassar, Padang, hingga Jakarta—yang ternyata mahasiswanya pun banyak yang belum terpapar dengan kegiatan FFI. Kami juga menggandeng berbagai institusi pendidikan lintas jurusan agar mahasiswa non-film pun bisa berperan di dalamnya.
Tahun ini, kami memperluas kolaborasi dengan festival-festival lokal. Misalnya, di Palangkaraya kami menemukan banyak masyarakat adat yang membuat film pendek tentang budaya setempat. Di Bali, banyak mahasiswa non-jurusan film mencoba membuat karya mereka sendiri. Bahkan di Aceh—yang tidak memiliki bioskop—ada festival film besar yang sangat aktif. Fenomena seperti ini ingin kami rangkul sebagai bentuk kolaborasi agar FFI tidak dianggap milik ‘geng industri’, tetapi menjadi ruang bagi semua orang dengan kesempatan yang sama.
Selain itu, FFI berbasis submission, jadi inklusivitas juga bergantung pada partisipasi sineas lokal untuk mengirimkan karya mereka. Melalui roadshow, kami mendorong semua pembuat film—pendek, dokumenter, maupun panjang—untuk berani submit. Kami juga terus menyempurnakan sistem penjurian agar film yang terpilih benar-benar layak dan mewakili keberagaman cerita. Saya percaya, semua isu memiliki nilai pentingnya masing-masing. Tidak hanya isu perempuan, tetapi juga isu laki-laki, anak, kebudayaan, keluarga, bahkan politik. Karena itu, kami tidak ingin FFI bersifat tematik tiap tahun. Semua isu layak mendapat tempat dalam sinema Indonesia.”
Bagaimana memastikan keberagaman gender, etnis, dan generasi juga tercermin dalam proses nominasi dan penghargaan, bukan hanya di tema besar festival?
“Proses penjurian FFI melalui tahapan yang cukup panjang. Lebih dari 200 film yang submit, kemudian tim mengkurasi terlebih dahulu dan menyeleksi karya yang layak untuk masuk ke daftar 25 besar. Para juri pun berkomitmen menilai bukan berdasarkan tema tertentu, melainkan pada pemenuhan aspek-aspek yang menjadi standar penjurian—mulai dari kualitas cerita, kekuatan isu, hingga sinematografi. Jika diperhatikan, daftar shortlist berisi ragam genre dan perspektif: mulai dari animasi, horor, aksi, drama keluarga dan film yang mengangkat kebudayaan lokal. Keragaman inilah yang menjadi wujud nyata dari inklusivitas FFI.
Tahapan selanjutnya menjadi tanggung jawab Akademi Citra—para peraih Piala Citra sebelumnya yang menilai sesuai bidang keahliannya masing-masing. Aktor menilai aktor, sinematografer menilai sinematografi, begitu pula anggota asosiasi yang menilai berdasarkan bidangnya. Proses penjurian akhir dilakukan oleh 8 Dewan Juri yang juga mewakili berbagai latar belakang, mulai dari aktor, penulis, akademisi, hingga pakar budaya. Dengan begitu, karya yang terpilih bukan berdasarkan selera pribadi, melainkan hasil pertimbangan yang berlandaskan teori, standar, dan pertanggungjawaban akademis.”
Menghadirkan penghargaan dengan nama-nama legenda perfilman adalah bentuk penghormatan. Namun apakah FFI juga punya strategi agar generasi baru mengenal sosok-sosok tersebut bukan sekadar nama di atas panggung, melainkan warisan intelektual dan artistik yang hidup?
“Iya pasti, hal itu kami lakukan lewat cara berkomunikasi di media sosial, karena generasi Gen Z paling aktif di sana. Misalnya, ketika kami memperkenalkan siapa tokoh yang menjadi ikon tahun ini, kami tampilkan juga kisahnya—siapa beliau, perjalanan kariernya, dan alasan mengapa sosok tersebut pantas dijadikan nama penghargaan. Bukan hanya untuk kategori yang menggunakan nama tokoh, tapi juga untuk penghargaan-penghargaan baru seperti Antemas, yang kami berikan kepada film dengan jumlah penonton terbanyak. Lalu ada juga kategori Pilihan Penonton, di mana publik bisa ikut terlibat langsung dengan masuk ke situs resmi FFI dan memilih aktor serta film favorit mereka. Karena saya percaya, pilihan juri dan pilihan penonton bisa saja berbeda, dan keduanya sama-sama penting. Dengan cara ini, setiap orang punya kesempatan untuk merasa terlibat, dan setiap bentuk apresiasi dari publik pun memiliki arti tersendiri.”
Banyak film Indonesia akhir-akhir ini kembali mengangkat isu sosial, politik, bahkan identitas minoritas. Bagaimana FFI melihat peran film bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai “cermin bangsa”?
“Kita tahu betul bahwa film bukan hanya cerminan bangsa, tetapi juga medium yang sangat efisien untuk menyampaikan isu dan pesan penting. Sebagai produser, setiap kali ingin membuat film, saya selalu memulai dari pertanyaan: isu apa yang ingin saya angkat, dan mengapa isu itu penting untuk diangkat lewat film? Karena ada banyak cara untuk menyuarakan pesan, tetapi tidak semua media bisa memberi kedalaman seperti film. Ketika saya menemukan alasan kuat, biasanya karena isu tersebut akan lebih efektif disampaikan lewat visual dan cerita. Di situlah kekuatan film—ia bisa berbicara langsung kepada penonton tanpa harus menggurui. Lewat berbagai genre, entah itu sejarah, thriller, horror, atau drama, pesan sosial bisa diselipkan secara halus namun tetap mengena.
Penonton Indonesia juga sangat mudah tersentuh oleh film. Karena itu, bagi saya, lebih baik isu-isu penting disampaikan lewat karya sinema ketimbang hanya lewat media sosial yang sering kali cepat berlalu. Dengan film, pesan itu bisa dirangkum menjadi kisah yang membuat penonton memahami realitas yang mungkin luput mereka lihat sehari-hari. Dan di situlah FFI hadir—untuk memberi ruang bagi film-film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka mata dan menumbuhkan empati.”
Bagaimana Anda membayangkan FFI 2025 bisa menjadi “ekosistem belajar” bukan hanya festival penghargaan? Apakah ada inisiatif konkret seperti mentorship, residensi, atau kolaborasi internasional?
“Sebagai ruang belajar, hal itu tentu bisa direalisasikan di program. Karena itu, ketika kami berkolaborasi dengan festival film lokal, peserta yang datang kebanyakan mahasiswa yang ingin memahami dunia perfilman lebih dalam. Dalam diskusi tersebut, kami juga menghadirkan para duta yang telah lama berkarya di industri. Tahun depan, rencananya kami ingin membuat program yang lebih spesifik untuk mahasiswa—seperti workshop penulisan naskah, penyutradaraan, hingga keaktoran—bekerja sama dengan institusi pendidikan dan sineas yang pernah meraih Piala Citra. Harapannya, ruang belajar ini dapat menumbuhkan semangat mahasiswa untuk terjun ke industri film. Lewat workshop seperti itu, mereka tidak hanya memperoleh ilmu, tetapi juga kesempatan membangun jaringan dan berkolaborasi dengan para pelaku film lainnya.”
Apa ukuran sukses FFI 2025 menurut Anda secara personal? Apakah sebatas prestise, dampak sosial, atau keberlanjutan jangka panjang?
“Kalau saya, ukuran suksesnya bergantung pada problem statement yang ingin diselesaikan. Misalnya, dari sisi program dan pelaksanaan, di tahun pertama hingga kedua tantangan utamanya adalah rendahnya awareness FFI di kalangan anak muda. Banyak yang bahkan belum pernah menonton atau tahu tentang FFI, dan baru mengenalnya karena melihat unggahan saya di media sosial.
Artinya, tujuan utama saat itu adalah meningkatkan awareness agar semakin banyak yang tahu, terlibat, dan mengirimkan karya. Indikatornya bisa dilihat dari peningkatan jumlah submission, engagement di Instagram, serta jumlah peserta dan penonton di setiap program. Dari tahun lalu ke tahun ini, angka tersebut terus meningkat, bahkan kursi acara selalu terisi penuh. Itu menunjukkan minat terhadap FFI mulai tumbuh.
Selain itu, kami juga meluncurkan program podcast di YouTube FFI yang menghadirkan sosok inspiratif seperti Bang Joko, Widuri, dan para kreator animasi Indonesia. Dari sana, kami bisa menilai dari data: apakah jumlah penonton naik, engagement meningkat, dan bagaimana respons publik. Karena latar belakang saya juga di bidang marketing, saya percaya angka tidak pernah berbohong.”
Jika harus merangkum visi Anda tentang masa depan perfilman Indonesia dalam satu kalimat untuk generasi berikutnya, apa yang akan Anda katakan?
“Semoga industri film Indonesia menjadi wadah bagi talenta-talenta yang dapat berkarya dengan jujur dan memberi dampak bagi bangsa. Saya percaya film punya kekuatan besar untuk membuka mata dan mengubah cara pandang seseorang. Banyak penonton yang baru memahami isu penting seperti tragedi 1998, rasisme, atau kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki—setelah menontonnya di layar lebar. Karena itu, saya berharap industri ini terus melahirkan karya-karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menyadarkan dan menggerakkan masyarakat.”