8 September 2025
Lola Amaria Menggurat Dunia Sinema selayaknya Ruang Becermin Kehidupan
PHOTOGRAPHY BY Zaky Akbar

styling Sidky Muhamdsyah; fashion Pamela Usanto; grooming Ryan Ogilvy; hair Rury Padwa; syling assistant Alexandra Y. Luberizky; retoucher Satriya Wildan
Dua belas tahun silam, tanpa pengumuman resmi, Lola Amaria memutuskan pamit dari depan layar lebar. Film Kisah 3 Titik rilisan tahun 2013 menjadi karya terakhir yang merekam sosoknya bermain peran. Sejak itu, derap kreativitas sang aktor lebih nyaring bergaung lewat balik layar. “Terlibat dalam berbagai produksi film mendorong gairah muda saya untuk bereksplorasi menggeluti dunia sinema tak hanya di muka. Saya ingin lebih menyelami kompleksitas proses dalam melahirkan sebuah karya sinema,” ujarnya menelusuri landasan keputusan kala itu. Sampai pada tahun 2025, dunia kembali menyaksikan kehadiran Lola Amaria di panggung sinema dalam lakon Gowok: Kamasutra Jawa besutan Hanung Bramantyo. “Terus terang saya sebenarnya sudah tidak membayangkan akan kembali berakting. Saya merasa perjalanan saya memahami dunia peran dari balik layar masih jauh dari selesai,” katanya seraya melukis senyuman, “Pun begitu, adalah suatu kebohongan kalau saya bilang tidak pernah sekalipun merindukan berakting.”
Pernyataan rindu akan bermain peran diungkapkan Lola tatkala kami bertemu pada bulan Juli silam. “Saat Hanung menawarkan peran di Gowok, saya sedang dilanda kelelahan yang luar biasa usai menyelesaikan Eksil. Rasanya dunia balik layar, yang biasanya memberi saya semangat berekspresi, justru menguras seluruh energi,” Lola berujar, “Lalu saya pikir, kembali menempatkan diri sebagai pemeran—alih-alih komandan—bisa menjadi sarana penyegaran. Sebuah kesempatan untuk kembali memahami seni keaktoran menciptakan karakter orang lain.” Di atas segalanya, ia juga mengaku penasaran mengetahui bagaimana jadinya narasi Gowok dikisahkan di tangan laki-laki.
Setelah bertahun-tahun bergerak di balik layar, kembali berdiri di depan kamera bukan perkara sekejap mata bagi Lola. Ia nyaris tak pernah meninggalkan lokasi selama satu bulan proses syuting di Yogyakarta, bahkan ketika ada jeda libur beberapa hari, ia memilih tetap tinggal di sekitar set. “Saya khawatir Nyai Santi lepas dari genggaman saya,” ujar Lola. Proses adaptasinya juga mencakup kesadaran untuk benar-benar hadir hanya sebagai pemain. “Tidak bohong, saya sangat menahan diri untuk turut campur di belakang layar, hahaha. Berkali-kali saya membatin dalam diri, ‘Ini bukan film saya… bukan film saya…’” gelak tawa Lola pecah, “Saya kembali belajar menjadi pendengar. Tentu kalau ada hal yang kurang saya pahami, atau saya punya masukan, saya sampaikan dengan baik; Hanung juga cukup terbuka untuk diajak berdiskusi. Walau begitu, pada akhirnya, sebagai pemain saya harus percaya pada visi sang sutradara.”
fashion STELLARISSA (gown).
Bulan Juli itu, Gowok: Kamasutra Jawa masih bertahan di sejumlah bioskop Indonesia, meski masa penayangannya telah melampaui sebulan. Di tengah euforia ini, pemeran Nyai Santi itu lantas bernostalgia mengisahkan titik awal keterlibatannya dengan seni peran, hingga menemukan dunia sinema yang kini menjadi ‘rumahnya’ tercinta. Prolog cerita dibuka oleh suatu tindak iseng-iseng. Tahun 1997, Lola berkelakar mendaftar pemilihan model yang diselenggarakan majalah Femina. Di luar dugaan, keisengannya malah berbuah manis. Ia terpilih masuk jajaran finalis Wajah Femina, bahkan dianugerahi penghargaan juara Busana Nasional Terbaik. “Kagetnya bukan main. Pada waktu itu, pemahaman saya terkait modeling, sebatas mengetahui model di majalah atau panggung mode. Mereka terlihat sangat glamor. Saya bingung, bagaimana anak tomboi seperti saya bisa lolos seleksi modeling? Apalagi sampai juara kategori Busana Nasional Terbaik, sungguh di luar ekspektasi, mengingat gerak saya yang kaku nyaris selalu mendapat teguran dalam setiap sesi kelas modeling bersama Denny Malik selama masa karantina finalis,” kisahnya tergelak, “Lalu saya pikir, barangkali modeling bukan sekadar perawakan cantik, melainkan karakter yang selaras pakaian yang dikenakan. Namun jujur tidak pernah terbesit keinginan dalam benak saya untuk menjadi model.” Lantas apa keinginan Lola Amaria, yang kala itu berusia 20 tahun? Dalam berbagai kajian aspek psikologi dan sejumlah budaya masyarakat modern, konon, manusia cenderung berperilaku eksploratif manakala fase usia 20-an. Perihal itu rupanya bukan pengecualian bagi perempuan berdarah Palembang-Sunda kelahiran 30 Juli 1977 ini.
Jauh sebelum hidup menggiring Lola pada panggung hiburan, perempuan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi jurusan Public Relations ini sempat mengemukakan asa berkarier menjadi diplomat dan melalang buana. Ia merupakan anak ketiga dari sembilan bersaudara. Sejak usia 12 tahun, ia diketahui tumbuh besar di bawah asuhan orangtua angkat—yang masih memiliki hubungan kerabat dengan keluarganya. Selain itu, tidak banyak catatan mengenai latar belakang keluarga Lola yang beredar di ranah publik. Pun ia sendiri jarang mengupas perihal kehidupan pribadinya. Namun, sesekali ia mengizinkan kita menyimak sekilas dunianya, “Seluruh keluarga saya adalah pekerja. Bapak saya memiliki usaha furnitur.” Dari tuturannya, saya menarik simpulan bahwa naluri seni yang kini lekat akan identitas Lola Amaria bukanlah warisan garis darah, melainkan tumbuh seiring pembentukan jati diri.
fashion Pamela Usanto (top, skirt, and obi).
Pengalaman modeling Wajah Femina memperantarai langkah Lola menapaki industri perfilman Tanah Air. Ia mulai menerima tawaran bermain sinetron (Penari dan Arjuna Mencari Cinta, adalah salah dua judul di antaranya), hingga menjejak layar lebar memasuki awal tahun 2000-an. Peran suster rumah sakit jiwa dalam film Beth menandai debut penampilannya. Namun sosok Lola Amaria baru dikenal secara luas oleh publik melalui karya sutradara Nia Dinata, Ca-bau-kan, yang dirilis tahun 2002. Lola memerankan tokoh Tinung, seorang penari cokek yang berjuang hidup dari keterjajahan di tanah Batavia. “Saya baru saja menyelesaikan syuting proyek film Merdeka 17805—yang sayangnya tidak tayang di Indonesia—di mana saya berkenalan dengan penata artistik Iri Supit. Dari beliaulah saya mendapat rekomendasi untuk mengikuti audisi terbuka Ca-bau-kan yang diadakan Nia Dinata. Di antara tes pengadeganan serta berdialog, saya ingat, salah satu tes kameranya mengharuskan kami mengenakan kebaya. Lagi-lagi saya lolos,” kenang Lola. Untuk menghidupkan Tinung, ia mendorong upaya berperannya ke titik maksimal. Setiap hari selama sebulan, ia berbusana dibalut kain; ia juga mempelajari dialek Betawi; menyanyi sesuai tangga nada; dan menghafal gerak tarian cokek. “Belajar bahasa dan segala talenta di luar kecakapan individual saya demi kebutuhan berperan kerap saya lalui di proyek-proyek sebelumnya. Lalu saya menyadari rupanya menjadi aktor menuntut penguasaan atas begitu banyak keterampilan. Pekerjaan ini benar-benar memperkaya diri pelakunya. Sebab artinya setiap kali menciptakan karakter, selalu ada wawasan baru yang harus dipelajari seorang aktor,” ujarnya.
Bermain peran di depan kamera menyuguhkan tantangan nan menyenangkan buat Lola. Kendati demikian, seni peran bukan satu-satunya hasrat yang tumbuh di dalam diri sang aktor muda. Ada dorongan untuk larut dalam gegap-gempita dimensi kreatif yang diam-diam menggerakkan seluruh narasi kehidupan peran dari belakang kamera. “Rasanya, dunia di balik layar itu tampak lebih bebas. Orang-orangnya yang hidup di sana terlihat sangat substansial,” kata Lola, “Saya bukan sedang berkata kehidupan depan layar sebagai sesuatu yang dangkal. Hanya saja, dunia di baliknya menawarkan ruang bernapas yang lebih lapang. Jauh dari sorotan; bebas dari ekspektasi yang terus membayang-bayangi seorang aktor, atau public figure, untuk selalu paripurna di berbagai kesempatan.” Ia paham tuntutan untuk kerap ideal oleh karena diperhatikan banyak orang sejatinya merupakan bagian dari dunia public figure. Dan bukan Lola tidak mampu menjalankannya, namun, “terkadang bisa jadi cukup melelahkan.”
fashion STELLARISSA (jumpsuit), Pamela Usanto (obi-belt).
Mulai tahun 2003, sembari terus bermain peran, perlahan Lola berjalan menuju sisi lain panggung sandiwara. Langkahnya bermula dengan menjadi produser film Novel Tanpa Huruf ‘R’. Dua tahun berikutnya, ia mengambil alih komando penyutradaan. Proyek perdananya hadir lewat film Betina (2006). “Pada masa itu, kursi sutradara dunia sinema Indonesia dominan diduduki oleh laki-laki. Kehadiran perempuan masih sangat jarang. Saya melihat kondisi tersebut selayaknya kesempatan untuk turut terlibat. Saya ingin berkontribusi menghadirkan cerita yang mendalam, terutama berkaitan erat dengan perempuan, dan dari perspektif perempuan,” ungkap Lola. Peralihan peran aktor ke balik layar sebetulnya bukan di luar lazim. Banyak yang telah melakukannya—didorong oleh semangat mengeksplorasi atau berbagai misi kreatif lainnya—tetapi sedikit di antaranya yang melaju berbekal keberanian seperti Lola. Ia mengambil alih narasi tanpa latar belakang formal bidang seni peran maupun perfilman. Visi artistiknya berangkat mentah, dan sepenuhnya ia asah lewat proses autodidak, sebagaimana pengujarannya, “Dengan menonton film berulang-ulang untuk membeda tekniknya; serta belajar langsung dari kru di lapangan. Pengalaman pernah berdiri di atas panggung juga memberi keuntungan tersendiri—membantu saya memahami lebih dalam soal kapasitas keaktoran.” Wajar bilamana kehadirannya segera menarik perhatian banyak kalangan. “Ada pihak-pihak yang kerap mengetes kemampuan saya. Perihal itu saya anggap bagian dari proses. Sebagai anak baru, tantangan semacam itu justru menjadi motivasi agar tak cepat berpuas diri dan senantiasa memberikan yang terbaik,” ungkapnya tanpa terbawa perasaan berlebihan. Alih-alih tertekan merasa harus memberi pembuktian diri kepada orang lain, Lola memilih memusatkan energi pada satu hal: menggali narasi artistiknya kian dalam.
Lewat Minggu Pagi di Victoria Park—film yang mengantarkannya meraih nomine Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2010, sekaligus Pemeran Utama Wanita Terpuji Film Bioskop Festival Film Bandung 2011—Lola Amaria memaparkan realitas kehidupan TKW di Hong Kong. Ia menumpahkan gagasan terkait kekelaman panggung politik yang ramai korupsi, skandal, hingga perebutan kekuasaan, dan bagaimana kulminasi kebobrokan pemerintah meluluhlantakkan rakyat kecil di Negeri Tanpa Telinga (2014). Dalam drama Jingga yang naskahnya ia tulis bersama Gunawan Raharja—dan terpilih sebagai nomine Film Terpuji Festival Film Bandung 2016—Lola memperdengarkan suara para tunanetra. “Saya adalah seorang observer. Bagi saya, bagian paling menyenangkan dalam proses membuat film yaitu ketika tahap riset. Pada fase itu saya kerap menemukan wawasan yang tak selalu tersedia dalam literatur akademis, dan buat saya itu merupakan bentuk penceritaan yang sebenarnya. Jadi sebisa mungkin saya selalu menarasikan apa yang saya temukan secara utuh dan mendalam kepada banyak orang,” ujar Lola.
fashion Studio Moral (top, skirt,blazer, and bustier).
Salah satu karyanya yang melalui tahapan riset panjang adalah Eksil. Sebuah film dokumenter yang merekam kisah para mahasiswa Indonesia yang tidak bisa pulang ke Tanah Air karena terperangkap oleh arus sejarah politik 1965, yang memaksa mereka hidup di luar negeri selama lebih dari tiga dekade, dan menjadi eksil. “Butuh waktu 12 tahun untuk saya menggarap dokumenter ini sampai selesai. Film ini barangkali salah satu karya paling personal yang pernah saya buat. Tidak ada intervensi,” katanya. Apa kendala terbesarnya, saya bertanya, selain fakta bahwa ia harus keliling dunia untuk menemukan setiap narasumber, serta meyakinkan mereka membuka luka sepanjang usia. “Tidak dipungkiri, Eksil menuntut biaya produksi yang sangat besar,” jawab Lola, “Tidak mudah menemukan investor untuk film-film sejenis ini. Bukan berarti tidak ada, tapi hanya sedikit yang benar-benar sejalan visi—dan bersedia mengesampingkan pertimbangan bisnis demi sebuah karya seni.”
Sinema menyandang konotasi yang kuat bagi Lola Amaria. Ditempatkan lebih dari sekadar sajian hiburan, karya sinemanya menjelma selaku reflektor kehidupan; ruang ekspresif bagi suara-suara yang kerap terpinggirkan hingga bahkan terabaikan; sebuah dialog tentang rasa serta asa. Sebuah idealisme artistik yang ia pegang teguh selama lebih dari dua dekade berkarya. Sebuah visi, yang tidak dipungkiri, kerap berseberangan dengan asas keseimbangan industri hiburan. “Modal utama saya sejak awal hanya satu: keyakinan. Percaya pada kemampuan diri saya, dan bahwa gagasan yang saya genggam membawa manfaat bagi masyarakat luas. Setiap niat baik, pada akhirnya, akan menemukan jalannya. Walau begitu, saya tidak lantas antipati dengan keseimbangan. Bagaimanapun hal itu diperlukan untuk mengakomodasi berbagai lapisan masyarakat” kata Lola. Apakah ia akhirnya setuju berkompromi? Perempuan yang sempat menempuh studi Humaniora dan Bisnis di Kaplan College New York itu menggagas langkah strategis sebagai jalan tengah. “Saya membentuk rumah produksi baru, yang fokus utama produksinya menggarap karya-karya menjangkau pasar penonton secara lebih luas. Sebuah rumah produksi yang berdiri dengan visi artistik mandiri, sementara saya terus melanjutkan apa yang selalu saya yakini,” pungkas Lola.