10 Desember 2025
Nicholas Saputra Menggariskan Takdir Di Atas Kegigihan
PHOTOGRAPHY BY Vicky Tanzil
styling Ismelya Muntu; fashion Zegna, grooming Pingky Oliv
Nicholas Saputra terus melaju. Suatu hari di tahun 2016, bandara internasional Dubai yang biasanya ramai tiba-tiba senyap. Penumpang berhenti lalu-lalang dan panggilan keberangkatan ditahan. Sebuah pesawat yang baru saja mendarat terbakar. Tim penanganan krisis dan keselamatan jiwa turun ke landasan untuk mengevakuasi penumpang. Ketika Anda berpikir suasananya sudah begitu mencekam, mesin pesawat kemudian meledak. Beruntungnya seluruh penumpang berhasil selamat.
Dari balik jendela lounge bandara, Nicholas menyaksikan peristiwa tersebut terpampang di depan matanya. Kala itu ia sedang dalam perjalanan transit menuju destinasi tujuan. “Saya baru saja mendarat dan duduk saat peristiwa itu terjadi. Syukurlah tidak ada korban jiwa karena sempat berhasil evakuasi,” ceritanya. Sembilan jam setelahnya, panggilan keberangkatan untuk agenda penerbangan lanjutannya mengudara. Nicholas bangkit dari tempat duduknya, dan pergi menuju gerbang keberangkatan. Tidak ada perasaan gentar. “Kekhawatiran itu ada, tapi tidak berlarut-larut hingga menguasai diri saya. Mungkin sebagian karena saya cukup mengerti cara kerja pesawat, sehingga saya pikir, hal itu memberikan rasa tenang,” ujarnya. Pemahaman menciptakan kesadaran yang tak jarang membantu menumbuhkan ilusi kendali dalam diri seseorang.

fashion Zegna.
Pada awal Oktober tahun 2025, Nicholas kembali terlibat dalam sebuah kecelakaan pesawat yang menegangkan. Kali ini, ia tidak lagi duduk sebagai penonton dari lounge. Ia menyelami pengalaman selaku penumpang. Kendati tak menempuh perjalanan udara sesungguhnya, melainkan melalui narasi film adaptasi besutan Mouly Surya dari buku berjudul sama karya penulis Valiant Budi, Tukar Takdir, di mana Nicholas memerankan satu-satunya penyintas kecelakaan. Di antara menyaksikan ia merangkak keluar badan pesawat, dan bisikan para penonton perihal performa sang aktor yang menggemakan bioskop, benak saya terusik sekelumit pemikiran: apakah takdir sifatnya kemutlakan Ilahi, atau buah pilihan manusia? Nalar saya memandang keduanya saling bersinergi. Katakanlah garis hidup seseorang memang telah tersurat sejak awal, mungkinkah alurnya selalu berjalan linear. Realitas kehidupan kerap menghadapkan kita pada persimpangan, yang jumlahnya bisa tak terhingga. Persimpangan berkorelasi erat dengan pilihan. Di titik itu manusia punya andil; menentukan jalan mana yang ingin dilalui, entah ujungnya berakhir sama atau pun membawa perubahan. Tukar Takdir sebetulnya lebih mengupas persoalan trauma dan duka. Namun entah mengapa perenungan saya berkelana meresapi lapisan ide di luar plotnya—barangkali inilah daya magis sinema.
“Saya tidak pernah benar-benar memikirkannya,” Nicholas berujar, “Sejujurnya, saya tidak pernah memandang takdir sebagai sebuah variabel yang perlu dipertimbangkan dalam menjalani hidup.” Suaranya halus dibalut pembawaan yang santai, tapi penuh perhitungan. Kami bertemu di sebuah residensial di bilangan Jakarta Selatan, tempat ia melakukan sesi pemotretan untuk majalah ELLE. Alih-alih seputar membahas narasi film, saat menemui Nicholas hari itu, diskusi kami akan gagasan takdir berkembang menyentuh aspek kehidupan lebih luas. Bagi laki-laki kelahiran Jakarta tahun 1984 itu, “hidup adalah tentang berusaha.” Berserah diri pada keadaan bukanlah watak Nicholas. Saya mengetahuinya, sebab ia berkata demikian, “Mungkin karena saya pribadi tidak pernah benar-benar mampu sekadar pasrah sepenuhnya terhadap sesuatu. Rasanya kalau terlalu memikirkan takdir malah…” Nicholas diam sejenak untuk mencari kata yang tepat. Seperti jalan di tempat; tidak bergairah; menyerah; kosong; dan hidup tanpa tujuan? saya menimpali. Ia mengangguk, “Seperti terpaku pada mindset. Setidaknya jika memang sudah ada rancangan-Nya, sebagai manusia kita tetap harus berusaha untuk menggariskan takdir kita sendiri.”
Eksistensinya di panggung sinema sampai hari ini pun merefleksikan falsafahnya terkait kehidupan. Karier Nicholas dibentuk oleh kombinasi atas bakat, hasrat, keberuntungan, disertai ketenaran, dan pilihan-pilihan yang substansial. Ketaksengajaan berpaspasan dengan seorang wartawan majalah remaja tatkala ia tengah bermain baseball di daerah Senayan, Jakarta, mencuatkan sebuah nasib mujur. Waktu itu ia menerima ajakan berfoto untuk laman majalah redaksi sang wartawan. Selang waktu berlalu, entah bagaimana jalannya, majalah yang menampilkan potret Nicholas sampai ke tangan Mira Lesmana. Sang produser Miles Films, yang kala itu tengah dalam pencarian aktor pemeran Rangga untuk karya Ada Apa dengan Cinta? kemudian memanggil Nicholas mengikuti audisi. (Belakangan terungkap, sebelum ditunjuk memerankan Rangga, Nicholas Saputra semula menjalani audisi untuk peran Borne.) And the rest is history.
Film yang dirilis tahun 2002 itu mencetak fenomena dan melambungkan figur para pemainnya. Nicholas Saputra tak luput jadi ikon populer. Masyarakat jatuh hati pada mata hijaunya yang lembut sekaligus ‘liar,’ serta aura misterius perawakannya; sementara rekan sineas memuji penampilan perannya hingga ia masuk dalam jajaran nomine Pemeran Utama Laki-Laki Terbaik ajang Festival Film Indonesia. “Keberadaan saya di dunia sinema merupakan buah kesempatan dan usaha,” katanya penuh kerendahhatian, “Saya diberi kesempatan untuk menapaki ranahnya. Tapi saya dapat bertahan hingga lebih dari 20 tahun tetap berada di dunia ini adalah karena saya tidak berhenti berusaha.”
Nicholas naik panggung sinema tanpa latar pendidikan seni peran yang formal, bahkan setelah ia menetapkan asa menekuni seni peran sebagai jalan hidup, sejak hari pertama masuk set. “Kita belajar untuk bekal hidup, supaya bisa menjembatani dari tidak tahu menjadi tahu. Bekerja sebagai aktor telah memberikan saya pengetahuan seni peran. Lalu saya pikir, mengapa tidak belajar sesuatu yang belum saya ketahui, yang bisa semakin menambah mutu diri sendiri. Esensi berperan kan sejatinya dilandasi kekayaan akan pengalaman hidup,” lulusan Universitas Indonesia ini berkisah, “Ditambah dulu orangtua juga berharap saya masuk bidang teknik.” Sebuah permintaan yang membuat ia berkompromi untuk jadi anak berbakti tanpa melepaskan gairah berkesenian. “Saya pilih teknik yang—saya rasa—paling banyak terpapar elemen ilmu yang berkaitan dengan seni: arsitektur,” ujarnya, “Belakangan saya menyadari ada kemiripan antara film dan arsitektur. Keduanya sama-sama mencakup metodologi penciptaan. Mempelajari arsitektur bikin saya lebih mudah paham proses kerja film.”

fashion Zegna.
Sang aktor muda mengasah naluri berperan secara autodidak. Lokasi syuting adalah ruang belajarnya. Ketika ketenaran mengganjar lewat Ada Apa Dengan Cinta? dan panggung hiburan seolah-olah menempatkan ia pada jalur karier tertentu, Nicholas secara sadar membangun ‘jalan keluar’. Ia mengurasi portofolionya dengan berbagai karakter peran, terutama yang menantangnya merengkuh skill baru. Di antaranya, sebagai pemain biola (Biola Tak Berdawai); aktivis dan pencinta alam di biopik Gie—yang membawanya naik-turun ekspedisi pendakian gunung; pendekar silat dalam Pendekar Tongkat Emas, di mana ia mempelajari wushu dan karate; dokter yang tunawicara juga tuli (What They Don’t Talk about Love); polisi densus 88 (Sayap-Sayap Patah); chef (Aruna & Lidahnya, dan serial web Secret Ingredient). “Saya tidak menghindari. Namun saat diberi pilihan—dan kebetulan ada pilihannya—saya akan memilih. Tapi tidak dengan tujuan mencari sesuatu yang spesifik berbeda. Naskah selalu jadi bahan dasar. Bila ide cerita dan elemen-elemen filmnya menarik, atensi saya pasti tertarik. Sebagai manusia, kan, kita tidak pernah berhenti tumbuh; begitu pula prinsip saya dalam bermain peran,” katanya.
Dua bulan sebelum Tukar Takdir dirilis, Nicholas lebih dulu menyemarakkan layar lebar lewat karya Siapa Dia. Penampilannya di film bergenre musikal garapan Garin Nugroho itu memecahkan ekspektasi. Ia bermain peran sembari bernyanyi, dan menari. Sesuatu yang baru kita saksikan dari figurnya. “Saya maju-mundur kali pertama ditawarkan mas Garin, sampai meminta beliau untuk melakukan sesi tes vokal di studio rekaman,” ceritanya. Ketakyakinan pemeran Layar itu beralasan, pasalnya Nicholas bukan penyanyi dan penari profesional. Hasil tes rekaman memperdengarkan suaranya mampu mengharmonisasikan nada dengan baik. Kepercayaan dirinya meningkat. Meski demikian, ia tetap berlatih vokal secara mendalam dengan Mia Ismi; sementara kelenturan tubuh diasah melalui arahan Eko Supriyanto. Ia juga tanpa malu-malu berproses bersama para pemeran lain. Keuletan Nicholas berbuah manis. Ia diserukan sebagai nomine Pemeran Utama Laki-Laki Terbaik ajang Festival Film Indonesia 2025.

fashion Zegna.
Dalam narasi Siapa Dia, Nicholas melakoni karakter sutradara. Ada daya tarik tersendiri menonton ia mengomandani penciptaan sebuah karya. Well, he actually does. Kendati bukan selaku sutradara, ia sudah mencatatkan pergerakan artistiknya selama sekitar setengah dekade belakangan dengan duduk di kursi produser. Dua judul karya telah dilepas: film dokumenter Semes7a, dan yang baru-baru ini meramaikan bioskop adalah Rangga & Cinta. “Sejauh ini masih nyaman producing. Tapi siapa yang tahu bagaimana masa depan,” kata co-founder rumah produksi Tanakhir Films itu dengan mata yang tersenyum nakal. Lalu ia mulai berbicara tentang kebahagiaan proses mencipta karya dari scratch hingga menjadi sesuatu yang bermakna. “Producing is about your point of view. Ada sebuah gagasan yang ingin Anda ceritakan, atau bicarakan kepada dunia,” katanya. Apa yang ingin diceritakan Nicholas Saputra? “Sesuatu yang relevan, meliputi persoalan-persoalan yang mengelisahkan, yang terutama berangkat dari kegelisahan pribadi, tapi resonan jauh melampaui batas personal,” jawabnya. Lewat Semes7a misalnya, ia menyoroti isu perubahan iklim serta dampak kontribusi manusia dalam perjuangan mengatasinya. Sementara Rangga & Cinta memanifestasikan kerinduan akan kisah remaja yang dekat di hati, sekaligus ode terhadap karya musikal yang belum begitu banyak mewarnai sinema Indonesia.

fashion Zegna.
Hampir 25 tahun mengarungi jagat perfilman Indonesia, pemenang dua Piala Citra ini tak luput memerhatikan laju perkembangan industri tempat ia berkarya. Ia menilai, “Kuantitas peredaran film sekarang ini jauh lebih banyak ketimbang awal tahun 2000-an kala dulu saya memulainya.” Menyoal kualitas bukanlah kapasitasnya, setiap orang (baca: penonton film) memiliki pandangan prerogatif perihal apa yang bagus dan tidak. Tugasnya ialah berkontribusi memajukan dunia yang dicintainya.
Hari memasuki penghujung petang. Nicholas bercerita bahwa ia akan melakukan perjalanan ke sejumlah negara dalam beberapa waktu mendatang, Singapura dan Brasil, tapi yang paling dekat mengharuskannya beranjak sekarang juga adalah agenda meeting di kawasan Dharmawangsa. Sebelum ia pergi, saya bertanya tentang hasil usahanya dalam menumbuhkan ia sebagai seorang aktor yang jauh lebih baik. Ia tersenyum bersahaja, “Mudah-mudahan begitu, dengan pengalaman yang terus bertambah, baik emosional maupun intelektual.”