4 Juli 2025
Syifa Hadju Runtuhkan Tembok Tinggi yang Membatasi Ambisi
PHOTOGRAPHY BY Hilarius Jason

styling Ismelya Muntu; fashion Chanel; makeup Rommy Andreas; hair Yez Hadjo
Apa yang istimewa dari generasi muda yang tumbuh di tengah derasnya arus industri hiburan digital. Di tengah dunia yang serba cepat, mereka belajar sejak dini bagaimana mengelola sorotan, menjaga diri dari bias publik, dan tetap hadir secara utuh dalam karya. Dari sekian nama yang menghiasi layar kaca dan layar lebar dalam satu dekade terakhir, Syifa Hadju muncul sebagai salah satu yang bertahan, bahkan berkembang. Perempuan kelahiran 13 Juli 2000 ini membuktikan bahwa ketekunan, konsistensi, dan kemauan untuk terus belajar adalah ‘mata uang’ paling berharga dalam dunia yang kerap berubah haluan.
Syifa memulai langkahnya di dunia hiburan saat usianya baru menginjak tiga tahun—sebuah awal yang mungkin hanya akan dikenang sebagai anekdot masa kecil, bila ia tak melanjutkannya dengan kerja panjang dan kesungguhan. Setelah sempat vakum untuk menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, panggung hiburan kembali memanggilnya. Pada usia remaja, ia mulai meniti karier dari iklan komersial hingga menjadi model. Namun titik baliknya hadir di tahun 2014, saat ia menjajal dunia akting lewat sinetron Bintang di Langit.
Nama Syifa mulai menarik perhatian publik secara luas ketika ia membintangi sinetron Mermaid in Love di tahun 2016. Sinetron ini, yang kemudian berlanjut ke musim kedua, menjadi titik loncatan popularitasnya. Bagi sebagian penonton, peran ini memperkenalkan Syifa sebagai wajah segar yang menjanjikan di layar televisi. Namun di balik popularitas tersebut, proses tumbuh dan belajar terus berlangsung, dan bagi Syifa, tiap karakter yang ia perankan membawa sesuatu yang baru. “Saya merasa perjalanan ini adalah proses panjang yang sangat berarti,” tuturnya dalam wawancara. “Dari kecil sampai sekarang, saya tumbuh bersama peran-peran yang saya mainkan. Bukan hanya soal akting, tapi juga soal mengenal diri sendiri, memahami emosi, dan belajar beradaptasi di berbagai situasi.”
Setelah mengokohkan eksistensinya di dunia sinetron, Syifa perlahan meluaskan langkah ke layar lebar. Perjalanan film layar lebar pun dimulai pada 2016 lewat Beauty and the Best. Tiga tahun kemudian, ia didapuk sebagai pemeran utama dalam The Way I Love You, dan di tahun yang sama, bergabung dalam Bebas, sebuah film ensemble garapan Riri Riza yang menghadirkan narasi lintas generasi. Di film ini, Syifa berperan sebagai Mia, anak dari tokoh Vina yang diperankan Marsha Timothy. Peran tersebut diraihnya setelah menjalani empat kali proses casting—sebuah catatan yang memperlihatkan dedikasi di balik layar.
Namun Syifa tak membatasi dirinya pada satu genre. Tahun 2019 menjadi debutnya di film horor lewat Danur 3: Sunyaruri. Sebuah langkah yang menantang, mengingat genre ini menuntut eksplorasi emosi yang intens dan tak jarang ekstrem. “Tantangan terbesarnya mungkin adalah bagaimana saya bisa menampilkan rasa takut yang autentik tanpa terasa berlebihan,” ujarnya. “Tapi saya berusaha fokus pada karakter dan memahami latar belakang emosinya. Saya juga banyak diskusi dengan sutradara dan pemain lainnya, bahkan sampai ikut private acting coaching.”
Selepas mencicipi berbagai genre dan karakter dalam film dan sinetron, Syifa membuka lembar baru lewat medium digital yang mempertemukan dunia akting dan musik. Serial web berjudul Kisah untuk Geri bukan hanya menegaskan eksistensinya di platform digital, tapi juga menjadi awal dari eksplorasi musikal yang ia lakoni bersama Angga Yunanda lewat lagu Cinta Hebat. Dunia musik memang bukan wilayah baru baginya. Pada 2016, ia menyanyikan lagu untuk sinetron Aladin & Putri Yasmin, dan dua tahun kemudian, merilis single Jangan Pernah Berubah ciptaan Melly Goeslaw. Kehadirannya di dunia musik bukanlah pelarian dari akting, melainkan perluasan ekspresi diri yang terus ia latih.
Meski telah mengisi perjalanan karier dengan berbagai bentuk ekspresi seni, Syifa tak membatasi ruang belajarnya hanya dalam ranah kreatif. Ia justru memperluas cakrawala intelektualnya lewat pendidikan formal—memilih jurusan Hubungan Internasional di Universitas Pelita Harapan, keputusan yang menyiratkan visi yang jauh melampaui dunia hiburan. “Hubungan Internasional membuka perspektif baru buat saya,” ujarnya. “Kalau ternyata ada banyak isu global yang perlu disuarakan. Hal ini juga memperluas cara pandang saya dalam memilih peran dan menyampaikan pesan lewat karya.”
Wawasan yang ia dapatkan di bangku kuliah seakan memperkuat cara pandangnya dalam menghadapi dinamika dunia hiburan. Salah satunya tercermin dari bagaimana Syifa merespons sorotan publik terhadap kehidupan pribadinya. “Saya selalu percaya bahwa ada batasan antara kehidupan pribadi dan profesional,” ujarnya. “Hal-hal yang saya rasa bisa menginspirasi atau memberi energi positif, saya tidak keberatan untuk berbagi. Tapi untuk momen-momen yang lebih personal, saya biasanya lebih memilih untuk simpan semuanya untuk diri sendiri dan orang-orang terdekat.”
Sikap dewasa yang ia pelajari dari pengalaman satu dekade berkarier di depan begitu banyak mata. Ia menyadari bahwa ekspektasi publik bisa membentuk persepsi yang tidak selalu utuh. “Salah satu hal yang sering disalahpahami adalah orang lebih fokus pada kehidupan pribadi saya daripada karya saya,” katanya. “Padahal, saya ingin dikenal karena hasil kerja saya dan kontribusi saya di industri ini.” Syifa juga tak menutup kemungkinan untuk melangkah lebih jauh di luar dunia seni peran. Ia menyimpan mimpi untuk membuat shelter hewan terlantar dan membangun yayasan sosial untuk anak-anak.
Setelah menapaki satu dekade perjalanan yang penuh warna, Syifa merenung sejenak. Ketika ditanya apa yang ingin ia sampaikan kepada dirinya yang berusia 13 tahun—gadis yang baru pertama kali melangkah ke dunia seni peran—jawabannya sederhana namun menyentuh: “Kamu sudah berada di jalur yang tepat. Jangan takut untuk bermimpi besar dan jangan pernah menyerah meskipun jalannya tidak selalu mudah.”
Barangkali, di situlah kunci dari perjalanan seorang Syifa Hadju: keberanian untuk tumbuh perlahan, menyelami proses, dan tetap setia pada diri sendiri dalam dunia yang terus berubah. Dalam tiap peran, dalam tiap lagu, dalam tiap pilihan hidup yang ia buat, Syifa tidak sedang mencari sorotan semata, melainkan ruang untuk menyampaikan sesuatu—tentang rasa, tentang mimpi, tentang kemanusiaan. Dan di situlah, barangkali, kita bisa mengenal sosoknya yang sebenarnya. Tidak dengan menilai, tapi dengan mendengar. Tidak dengan menebak, tapi dengan menyimak.