LIFE

20 Juli 2023

ARAHMAIANI: Perempuan, Seni dan Kebebasan


PHOTOGRAPHY BY GETTY IMAGES

ARAHMAIANI: Perempuan, Seni dan Kebebasan

Sebagai perempuan yang merasa memiliki hak kebebasan untuk berekspresi namun hidup di lingkungan dengan sistem patriarki yang masih kuat seperti di masyarakat kita pada umumnya, memang bukanlah hal yang mudah. Suara perempuan cenderung dibungkam atau kalaupun sanggup bersuara, seperti tak ditanggapi secara serius. Dan apabila ditanggapi biasanya kerap berupa serangan atau ancaman dan bahkan pelecehan. Hal seperti ini saya pribadi pernah mengalami sendiri―ketika saya mencoba secara jujur dan terus terang mengekspresikan opini secara kritis.


Dengan menggunakan media seni kontemporer saya mencoba untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan kreatif. Seperti mempertanyakan masalah kesetaraan gender, keadilan sosial, masalah kerusakan lingkungan hidup dan makna kemerdekaan serta maksud atau tujuan politik identitas. Bagaimana kelompok minoritas dan yang dianggap salah cenderung dimarjinalkan, juga mempertanyakan persoalan bagaimana agama dan kebudayaan dimanipulasi dan dijadikan alat kekuasaan selain dijadikan komoditas untuk tujuan keuntungan material.


Sebagai praktisi seni rupa kontemporer yang sudah berjalan beberapa dekade (dimulai sejak awal tahun ’80-an) saya memahami bahwa media seni adalah media yang sangat fleksibel. Yang bisa berfungsi sebagai alat untuk mengeksplorasi kreativitas sekaligus mempertemukan berbagai disiplin ilmu. Yang merangsang imajinasi, membangkitkan kesadaran, dan menggugah inspirasi sehingga manusia bisa menemukan solusi kreatif dan inovatif atas berbagai permasalahan kehidupan yang harus dihadapi. Tidak terperangkap di dalam pola pikir dan gaya hidup kaku yang tidak kreatif dan dikendalikan oleh kelompok elit penguasa yang hanya mementingkan keuntungan pribadi atau kelompoknya. Entah dikemas dalam bentuk ideologi ataupun pemahaman keyakinan yang bersifat dogmatis.


Pada 1983 ketika saya masih kuliah di Seni Rupa ITB, saya membuat karya seni performans di jalanan – tepat di hari kemerdekaan tanggal 17 Agustus di kompleks UPI di Bandung. Di hari libur yang agak sepi saya menulis puisi dan menggambar di jalan aspal, dengan menggunakan media kapur tulis. Pada dasarnya puisi saya mempertanyakan situasi dan kondisi negara yang dianggap sudah merdeka. Yang dihiasi gambar-gambar senjata dan tank baja. Begitulah kebimbangan dan keresahan saya menyaksikan praktek kediktatoran rezim militer Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto di masa itu. Namun sialnya karya itu diakhiri dengan penyitaan dan penangkapan saya (juga teman-teman yang membantu membuat dokumen) oleh pihak militer.


Setelah melalui proses interogasi siang-malam selama lebih satu bulan, saya mendapat kesempatan menemukan seseorang yang akhirnya membantu membebaskan saya. Sementara teman-teman ditahan selama sekitar 2 minggu namun mendapat perlakuan kasar dan sempat dipukuli. Memang mereka semua laki-laki walaupun kemudian dibebaskan lebih awal karena mereka dianggap hanya membantu saya (yang menginisiasi dan mencentuskan idenya). Orang yang membantu membebaskan saya adalah seorang aktivis politik yang ternyata juga bekerja sama dengan penguasa dan menjadi mata-mata. Ya, saya beruntung ia mau menolong membebaskan saya dengan cara membuatkan surat pernyataan dari seorang dokter militer. Yang menyatakan bahwa saya menderita gangguan jiwa!


Demikianlah pengalaman hidup dengan kegiatan eksplorasi ruang kreatif memang bisa beresiko – terutama jika menggangkat isu politik dan sosial secara kritis. Dan ternyata terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Dan yang cukup mengejutkan serta menakutkan terjadi pada tahun 1994 ketika saya berpameran tunggal di Studio Oncor di Jakarta. Dua buah karya saya yang berhubungan satu dan lainya, yaitu “Lingga-Yoni” dan “Etalase” menimbulkan permasalahan serius. Karya-karya ini berhubungan dengan kritik pada sistem ekonomi global yang dihubungkan dengan isu penjajahan (masa lalu ataupun masa kini yang diistilahkan sebagai: neokolonialisme) dan manipulasi politik identitas (utamanya yang berhubungan dengan kaum Muslim). Dan anehnya kemudian saya malah diancam akan dibunuh oleh kelompok Islam garis keras.


Sebuah pengalaman menegangkan dan bahkan menakutkan yang bisa dialami oleh seorang seniman perempuan ketika menyuarakan isi hati dan pikiran kritisnya. Resiko yang harus dihadapi kadang tidak mudah dan bahkan mendorongnya untuk “mengungsi” ke luar negeri dan hidup sebagai nomad, supaya bisa bertahan hidup dan terus lanjut mengolah kreativitasnya. Berjuang untuk menjadi diri sendiri secara mandiri dan merdeka. Dan akhirnya perjuangan panjang pun mendapat penghargaan. Pada tahun 2018 karya “Lingga-Yoni” kembali ke Indonesia dan dikoleksi oleh Museum MACAN di Jakarta. Dan versi keduanya dikoleksi oleh Herberth Johnson Museum di Ithaca, Amerika, sementara karya “Etalase” kini menjadi bagian dari koleksi Gallery Nasional Singapura.