26 Juni 2025
Perempuan Menyelam Lebih Dalam: Konservasi Laut yang Inklusif di Pulau Kelapa Dua
PHOTOGRAPHY BY Biorock Indonesia

Pada pagi yang berangin tanggal 14 Juni, saya menaiki kapal kayu yang membawa saya menuju Pulau Kelapa Dua, salah satu gugus kecil di Kepulauan Seribu. Namun perjalanan ini bukanlah pelesiran tropis belaka. Saya datang sebagai satu-satunya jurnalis yang meliput secara langsung program Scholar Reef 2025, inisiatif kolaboratif antara Biorock Indonesia dan Accenture, yang bertujuan mengembalikan kehidupan terumbu karang—dengan perempuan sebagai ujung tombaknya. Sesampainya di pulau, saya menyaksikan bagaimana laut bukan hanya menjadi ruang biologis, tetapi juga ruang sosial tempat perempuan membangun peran baru.
Ketika Laut Memanggil Perempuan
Di dunia konservasi laut, perempuan kerap menjadi suara yang tak terdengar. Padahal, mereka adalah penyelaras alam yang kerap menjadi penjaga sumber daya pesisir dalam komunitasnya. Program Scholar Reef 2025: Coral Project Management for Women hadir untuk mengubah narasi ini. Selama dua bulan sejak April, sebanyak 50 perempuan dari berbagai penjuru Indonesia mengikuti pelatihan daring yang dirancang untuk memberdayakan mereka menjadi pengelola proyek konservasi laut. Dari jumlah tersebut, 23 peserta terpilih melanjutkan pelatihan lapangan langsung di Pulau Kelapa Dua.
“Pemulihan terumbu karang selama ini terlalu maskulin: cepat, teknokratis, dan tidak memperhitungkan inklusi,” ungkap Prawita Tasya Karissa, Direktur Eksekutif dan Co-founder Biorock Indonesia, ketika kami berbincang di tepi dermaga. “Padahal, keberlanjutan menuntut strategi jangka panjang yang menyerap pengalaman dan perspektif perempuan—mereka yang hidup paling dekat dengan dampak krisis lingkungan.”
Tasya berbicara tidak hanya dari pengalaman profesionalnya lebih dari dua dekade di bidang ini, tetapi juga dari kegelisahan mendalam: dunia sedang kehabisan waktu. Menurut sejumlah studi ilmiah, 100% terumbu karang dunia terancam punah pada 2050 jika tidak ada upaya pemulihan besar-besaran dan menyeluruh.
Antara Pasir, Karang, dan Mimpi
Pulau Kelapa Dua menjadi panggung pelatihan langsung yang sarat makna. Dalam balutan wetsuit dan pelampung, para peserta—yang sebagian besar belum pernah menyelam sebelumnya—belajar membangun dan mencangkok karang di struktur tempat menempel dan tumbuhnya karang. Mereka menyelam bukan hanya ke dasar laut, tetapi juga ke lapisan-lapisan pemahaman baru akan tanggung jawab ekologis.
“Saya dari jurusan komunikasi, dan sebelumnya tidak pernah membayangkan bisa melakukan hal seperti ini,” ujar Khairunnisa Geo Pastrina, lulusan baru dari Depok yang menjadi salah satu peserta. “Program ini benar-benar membuka mata dan hati saya. Lewat mentoring, saya merasa seperti ‘berkeliling Indonesia’—mendengar kisah-kisah para perempuan hebat yang ingin menyelamatkan laut dengan cara mereka sendiri.”
Pengalaman Nisa mencerminkan kekuatan dari pendekatan Scholar Reef yang tidak menitikberatkan pada latar belakang akademis semata, melainkan pada semangat belajar dan keberanian untuk berkontribusi. Data internal menunjukkan bahwa 84% peserta menyatakan lebih siap memulai karier di bidang konservasi laut setelah mengikuti pelatihan ini—sebuah capaian yang menjanjikan dalam misi memperluas spektrum pelaku konservasi.
Terumbu Karang: Penjaga Garis Hidup
Mengapa pemulihan terumbu karang menjadi begitu mendesak? Karena ia bukan sekadar rumah bagi ribuan spesies laut, tetapi juga penopang kehidupan jutaan manusia. Terumbu karang melindungi garis pantai dari abrasi, menjadi sumber pangan dan ekonomi bagi komunitas pesisir, serta menyimpan potensi besar untuk pengobatan masa depan. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pemanasan global, pencemaran, dan aktivitas manusia telah menggerogoti struktur alami ini.
Di sinilah Biorock Indonesia memainkan perannya. Organisasi ini memadukan teknologi, pengetahuan lokal, dan partisipasi masyarakat untuk menghidupkan kembali karang-karang yang sekarat. Teknologi Biorock sendiri telah digunakan di lebih dari 16 lokasi di Indonesia, dengan tingkat keberhasilan pertumbuhan karang hingga 5 kali lebih cepat dibandingkan metode alami.
Namun, teknologi hanyalah alat. Yang membedakan adalah siapa yang menggunakannya, dan dengan tujuan apa.
Ketika Dunia Korporasi Turun Tangan
Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan inisiatif seperti Scholar Reef. Accenture, perusahaan global yang selama ini dikenal di bidang teknologi dan manajemen, memilih untuk turun ke dasar laut—secara harfiah—melalui kemitraannya dengan Biorock Indonesia. Dukungan mereka bukan hanya dalam bentuk finansial, tetapi juga dalam desain program pelatihan yang mengedepankan keberagaman, inklusi, dan keberlanjutan.
“Di Accenture, kami percaya bahwa masa depan yang berkelanjutan hanya bisa dicapai jika seluruh pihak bergerak bersama. Termasuk memastikan perempuan memiliki ruang untuk berkontribusi dan memimpin,” ujar Christopher Ricky sebagai perwakilan Accenture Corporate Citizenship Indonesia yang turut hadir dalam kegiatan tersebut.
Melalui Scholar Reef 2025, Accenture menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya berada di ruang rapat atau layar presentasi, tetapi juga di perairan pesisir yang rentan dan menanti uluran tangan.
Masa Depan yang Disemai di Dasar Laut
Pemandangan para perempuan muda menanam karang di bawah laut, di tengah sinar matahari sore yang menembus permukaan air, menyuguhkan harapan yang nyata—bahwa pemulihan ekosistem bukanlah mimpi utopis. Bahwa generasi baru konservasionis, terutama perempuan, sedang lahir di tempat-tempat yang tak terduga.
Biorock Indonesia kini membuka peluang lebih luas bagi korporasi, lembaga, dan komunitas untuk bergabung dalam upaya ini—mendukung pelatihan dan restorasi yang tidak hanya menyelamatkan lingkungan, tetapi juga membangun ketahanan sosial.
Konservasi bukan hanya tentang menyelamatkan ikan dan karang. Ini tentang menyelamatkan kehidupan. Dan ketika perempuan diberi ruang untuk menyelam lebih dalam, bukan tidak mungkin mereka akan menemukan cara-cara baru untuk menjaga laut—dan dunia—tetap hidup.
Saya pun pulang dari Pulau Kelapa Dua bukan sekadar membawa catatan liputan atau dokumentasi visual, melainkan sebuah pelajaran batin yang membekas: bahwa laut dan daratan sesungguhnya tak pernah benar-benar terpisah. Keduanya terhubung dalam siklus ekologis yang saling memengaruhi dan menentukan kelangsungan hidup kita semua. Limbah yang kita buang, plastik yang kita pakai, hingga pola konsumsi yang kita anggap sepele, semuanya bermuara ke laut dan mengubah kehidupan di dalamnya. Sebaliknya, laut yang rusak akan kembali menghantam daratan sebagai krisis: naiknya permukaan air, rusaknya pesisir, hilangnya mata pencaharian, dan terganggunya rantai pangan.
Di tengah krisis iklim global, kita tak bisa lagi memisahkan isu lingkungan dari cara kita hidup sehari-hari. Pemulihan terumbu karang bukan sekadar kerja teknis di dasar laut, melainkan panggilan untuk menata ulang cara pandang kita sebagai manusia—tentang relasi kita dengan alam, dengan sesama, dan masa depan. Menjaga laut bukan hanya tugas para penyelam atau ilmuwan, tetapi tanggung jawab kolektif yang dimulai dari kesadaran paling mendasar: bahwa keberlanjutan adalah soal pilihan hidup yang bermakna.
Catatan Redaksi:
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai program Scholar Reef 2025 atau untuk bergabung sebagai mitra kolaborasi, kunjungi laman resmi Biorock Indonesia di www.biorock-indonesia.com.