LIFE

3 Desember 2025

Menginspirasi dari Tanah Parahyangan, Kisah Perempuan Pengusaha Bandung


PHOTOGRAPHY BY Women Founders Indonesia

Menginspirasi dari Tanah Parahyangan, Kisah Perempuan Pengusaha Bandung

Sore di Plataran Bandung beranjak pelan menuju senja ketika perempuan-perempuan dari berbagai sudut kota memasuki ruang berkumpul WFI Equality Space. Di bawah naungan pepohonan Diponegoro yang teduh, pertemuan ini terasa seperti pulang ke rumah: hangat, berpihak, dan penuh kemungkinan. Untuk pertama kalinya, Women Founders Indonesia hadir di Bandung, kota yang sejak lama memelihara denyut kreativitas, merawat jiwa warganya, dan menjadi ladang tumbuhnya banyak pengusaha perempuan dengan karakter yang khas: lembut namun teguh, santun namun berani mengambil ruang.

Bandung, atau sering dijuluki kota yang tak pernah usang, memancarkan kombinasi unik antara semangat muda dan kebijaksanaan budaya Sunda. Bandung adalah ekosistem ide yang membentuk cara orang berpikir, bekerja, dan berkolaborasi. Tatanan nilai seperti silih asih, silih asah, silih asuh—yang berarti saling mengasihi, mengasah diri, dan saling membimbing—menjadi fondasi tak tertulis yang secara halus meresap dalam cara perempuan Bandung membangun bisnis: tidak terburu-buru, tidak bising, tetapi ajek, berakar, dan penuh makna. Nilai inilah yang diam-diam merawat tumbuhnya merek-merek lokal yang telah menjadi bagian dari lanskap kreatif Bandung.


Perempuan-perempuan di Balik Brand Lokal Kota Kreatif
Acara sore itu mempertemukan berbagai nama yang selama ini menggerakkan denyut industri kreatif Bandung, mulai dari food and beverages, modest wear, fashion, parfum, hingga personal care. Di antara mereka hadir:

              •            Nurdini Prastiti, pendiri Damakara, yang menawarkan modest wear dengan sentuhan keanggunan yang lembut namun modern.

              •            Addina Wangsaatmaja dari Blond Bakery, brand kuliner yang tumbuh dari dapur rumah hingga dikenal luas.

              •            Laksmi Utami Rahayu, sosok di balik Laidlunos, lini skincare yang meracik produknya seperti meracik kepercayaan diri perempuan.

              •            Adity Erlangi, pendiri Cajsa Shoe, yang menghidupkan kerajinan sepatu dengan karakter Bandung yang effortless.

              •            Aulia Wiryatmojo dari binarbinar, brand ready to wear yang mencerminkan estetika Bandung: tenang, minimal, tetapi punya daya tarik tersendiri.

              •            Wong Weny Patricia, pendiri Mooie Scentoria, membawa aroma dan memori lewat parfum sebagai medium ekspresi diri.


              •            Gita Natadiredja dari A Woman Gorgeous Indonesia, yang memperluas tafsir modest wear melalui siluet dan cerita personal.

              •            Tiga pendiri Pasar Guyub—Andina Juniar, Pramudina Narundana, dan Pramudina Narundana—yang membangun platform event lokal berbasis komunitas dan solidaritas.

              •            Farah Mauludyyna dari Joongla, brand F&B yang lahir dengan semangat eksperimental khas Bandung.

              •            Agustina Cipta Rahayu dengan brand personal care Botanina, yang mengembalikan ritual perawatan tubuh pada formulasi alam.


              •            Annisa Apriana, penggerak BRACI, lini food and beverages yang menyandingkan kreativitas dan kehangatan.

              •            Steviana Paskahlia dari Soiree Atelier, yang menghadirkan fashion dengan narasi keanggunan kontemporer.

              •            Mutia Noor Hafid, pendiri Mistyvori, modest wear yang memadukan kenyamanan dan estetika modern.

Keberagaman ini bukan sekadar daftar nama; mereka adalah wajah-wajah perempuan Bandung yang mengekspresikan diri melalui bisnis yang mereka bangun pelan-pelan, dengan kegigihan yang halus namun konsisten. Keberadaan mereka memperlihatkan luasnya spektrum industri kreatif Bandung dan betapa pentingnya ruang seperti Women Founders Indonesia: Equality Space untuk menampung suara-suara tersebut.


Perempuan dan Kota yang Membentuk Mereka
Dalam diskusi bertema “Menginspirasi dari Tanah Parahyangan: Kisah Perempuan Pengusaha Bandung”, para pembicara sepakat: Bandung bukan sekadar latar geografis. Ia adalah guru diam-diam yang membentuk cara mereka berpikir dan bekerja. Kota ini menantang untuk selalu orisinal, tetapi juga mengingatkan agar tidak kehilangan akar.

Salah satu anekdot yang muncul dari para pendiri brand kreatif Bandung menunjukkan hal itu. “Di sini, semua orang bisa membuat sesuatu yang ‘lucu’. Tantangannya bukan lagi membuat yang lucu, tapi membuat yang berarti,” ucap seorang pengusaha muda, memicu gelak setuju dari hadirin. Dari industri kuliner hingga desain, dari kerajinan tradisi hingga jasa digital, bisnis-bisnis perempuan Bandung tumbuh dari rasa ingin tahu yang tulus, lalu dipertajam oleh komunitas yang suportif.

Beberapa peserta bercerita tentang titik balik perjalanan bisnis mereka: dari dapur rumah yang menjadi laboratorium, dari modal kecil yang diputar berkali-kali, hingga keberanian merintis usaha di tengah ketidakpastian. Ada yang mengenang bagaimana para kerabat membantu mem-packing pesanan pertama. Ada pula yang menyebut sesama pengusaha lokal sebagai mentor tak resmi yang mengajarkan strategi, tetapi juga cara bertahan secara emosional.

Di tengah segala kerumitan bisnis, makna “sukses” bagi banyak perempuan ini ternyata lebih personal daripada sekadar kurva pendapatan. Ada yang menyebutnya sebagai kemampuan bertahan dengan integritas, ada yang mengartikan sebagai dampak sosial kecil namun nyata, dan ada pula yang menyamakan sukses dengan keseimbangan hidup, sesuatu yang—ironisnya—sering hilang dari narasi wirausaha.


Ketika ditanya apa tantangan terbesar mereka sebagai perempuan, jawaban bervariasi—mulai dari bias gender, kurangnya akses modal, hingga tuntutan sosial untuk “mengurus semuanya”. Namun satu hal yang seragam adalah cara mereka mengatasinya: dengan keteguhan hati yang tidak meledak-ledak, tetapi konsisten seperti langkah kaki yang pasti.

Dalam bahasa akademik mungkin disebut resilience, dalam bahasa Bandung-sehari-hari disebut ngeunahkeun: kemampuan untuk membuat sesuatu yang sulit menjadi terasa lebih lembut, lebih dapat dijalani.

Komunitas: Energi yang Menghidupkan Ekosistem Bandung
Sejak dulu, sejarah pergerakan perempuan Indonesia tumbuh dari kebersamaan dan kekuatan komunitas. Dari koperasi yang dikelola ibu-ibu desa, organisasi sosial yang digagas perempuan, hingga komunitas wirausaha perempuan modern seperti Women Founders Indonesia. Seluruh pergerakan itu berakar pada solidaritas.

Kehadiran Women Founders Indonesia di kota ini terasa menemukan rumah kedua. Diskusi sore itu menunjukkan betapa jejaring perempuan dapat mengubah garis perjalanan bisnis seseorang. Ada cerita tentang kolaborasi dengan pengusaha kuliner di Dago, bekerja sama dengan pengrajin Tasik, hingga membantu sesama perempuan UMKM ketika pandemi melanda.

Beberapa peserta mengakui bahwa tanpa komunitas, banyak dari mereka tidak akan berani melompat sejauh ini. Intelijen kolektif, bukan hanya pengetahuan individual, yang menjaga mereka tetap bertahan.


Inovasi, Digitalisasi, dan Jiwa Kreatif Bandung
Bandung selalu bergerak. Dari masa kejayaan butik-butik Cihampelas, era distro Dago, ledakan coffee shop culture, hingga saat ini ketika ekonomi digital membuka jalan baru bagi pengusaha muda.

Di tengah arus cepat tren yang tak henti berubah, para perempuan pengusaha Bandung terus mencari cara menjaga orisinalitas tanpa terperangkap nostalgia. Strategi digital menjadi kunci, tetapi “jiwa Bandung” tetap dipertahankan: personal, lembut, humanis.

Beberapa pengusaha bercerita bagaimana mereka mengangkat cerita lokal—mulai dari motif Sunda, rasa-rasa tradisional, filosofi ngahiji—ke dalam produk modern yang dipasarkan hingga ke luar negeri. Tantangan terbesar bukan memasarkan Bandung ke dunia, tetapi menjaga agar kearifannya tidak hilang dalam proses pertumbuhan.


Mengapa Acara Ini Penting
Women Founders Indonesia: Equality Space bukan sekadar rangkaian diskusi sambil minum teh. Ia adalah cermin dari gerakan yang lebih besar: bahwa perempuan pengusaha di kota-kota seperti Bandung membutuhkan ruang aman untuk bertukar pikiran, menemukan perspektif baru, dan menyadari bahwa suara mereka penting.

Women Founders Indonesia—sebagai bagian dari misi ELLE Indonesia dalam memperjuangkan pemberdayaan perempuan—hadir sebagai jembatan yang menghubungkan gagasan, peluang, dan solidaritas. Bahwa dukungan holistik dan jejaring bukan kemewahan, melainkan kebutuhan mendasar dalam membangun ekosistem bisnis yang setara.


Seperti gerakan perempuan di berbagai belahan dunia yang lahir dari forum-forum kecil sebelum tumbuh menjadi perubahan sosial, Equality Space di Bandung menjadi babak awal yang menjanjikan. Kota ini memiliki semuanya—kehangatan komunitas, budaya kolaboratif, dan sejarah panjang inovasi—untuk menjadi ruang tumbuh pemimpin perempuan masa depan.

Ketika acara ditutup, ada perasaan kolektif yang tertinggal di udara: bahwa kisah-kisah perempuan pengusaha Bandung bukan hanya inspiratif, tetapi juga relevan untuk masa depan Indonesia.

Dari Tanah Parahyangan, inspirasi itu mengalir lembut namun kuat, mengajarkan bahwa keberhasilan tidak selalu harus berisik; bahwa kreativitas dapat bersanding dengan kelembutan; dan bahwa kemampuan perempuan untuk membangun sesuatu dengan hati adalah kekuatan transformatif yang tak pernah kehilangan relevansi.

Bandung telah memberikan panggung, Women Founders Indonesia memberikan ruang, dan perempuan-perempuan pengusaha memberikan cerita. Bersama-sama, mereka menuliskan bab baru tentang kepemimpinan, keberanian, dan kreativitas perempuan Indonesia.