9 Desember 2025
Budaya Tidak Tahu Malu: Saat Empati Tak Lagi Penting
Selama ini, bentuk paling nyata dari istilah “tidak tahu malu” kerap tertangkap di ranah politik. Namun sekarang, hal tersebut seolah sudah menyebar ke mana-mana—dari lapangan olahraga profesional hingga pesta pernikahan miliarder. Hiruk-pikuk media sosial yang tidak pernah tidur memunculkan satu pertanyaan di benak Lotte Jeffs: apakah kita semakin tone deaf, atau justru memang sudah berhenti peduli?
Orang-orang superkaya tidak lagi hanya butuh penasihat keuangan. Mereka butuh seseorang yang bisa membaca situasi—semacam chief optics officer, orang yang memahami kapan harus menahan, atau berani mengucapkan, “Mungkin sebaiknya jangan.” Tapi suara-suara bijak itu tampak sudah menghilang. Tidak ada lagi sosok yang berani menegur. Mereka yang berpengaruh, kini bebas berbuat apa saja, bahkan sering didorong untuk melampaui batas.
Bila Anda punya cukup uang, status, dan pengaruh—memedulikan pandangan publik terasa membosankan. Terlalu biasa. Mengapa Jeff Bezos dan Lauren Sánchez dipertanyakan saat “mengambil alih” Venesia untuk mengadakan pesta pernikahan senilai 50 juta US dolar? Mengapa Katy Perry dipertanyakan saat pergi ke luar angkasa? Mengapa Brooklyn dan Nicola Peltz-Beckham dipertanyakan saat memperbarui janji pernikahan dalam pesta mewah yang tidak dihadiri oleh satupun anggota keluarga Beckham—padahal baru tiga tahun menikah? Dan apa salahnya mengumbar konflik di depan umum—seperti Aryna Sabalenka yang menyinggung rivalitasnya dengan Amanda Anisimova di Wimbledon, atau Lana Del Rey yang menulis lagu sindiran untuk Ethel Cain?
Nyatanya, kita tengah hidup di dunia di bawah pemerintahan yang segala hal terasa bisa dibenarkan dan dinormalisasi. Layaknya yang diucapkan salah satu karakter di serial Netflix The Hunting Wives, “Saya bisa melakukan apa pun yang saya mau, karena orang lain hanya bisa menerima.”

Selamat datang di era di mana rasa malu tidak lagi menjadi bagian dari budaya selebritas—sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Dunia sedang berantakan, tapi orang-orang dengan kekayaan berlebih justru sibuk memamerkan kemewahan mereka di media sosial. Atlet dan ikon pop culture mengumbar keluh kesah pribadi di ruang publik. Sementara itu, aktor-aktor lawas seperti Leonardo DiCaprio—yang kini berusia 50—tidak lagi repot menjaga citra. Dalam wawancara terbarunya, ia mengaku secara emosional masih merasa seperti berumur 32 tahun. Mungkin itu alasannya mengapa ia hanya berkencan dengan perempuan yang berumur setengah usianya.
Masa-masa di mana para miliarder merasa perlu menyembunyikan kekayaan mereka kini telah lewat, atau selebritas yang berpura-pura hidup sederhana. Kini, bahkan politisi pun tak malu berlibur menggunakan dana publik—seperti JD Vance, wakil presiden Amerika Serikat, yang musim panas lalu terlihat menikmati liburan di Cotswolds seolah itu properti pribadinya.
Lalu, apa dampak dari meningkatnya sikap tone deaf ini bagi kita yang menonton dari jauh?
Saat para miliarder sibuk memilih filter terbaik untuk menonjolkan kilau berlian mereka, kita justru menahan diri. Foto sederhana segelas matcha latte bisa terasa tidak pantas. Banyak orang berhenti membagikan hal-hal kecil karena takut terlihat tidak peka. Instagram pun berubah: bukan lagi tempat mengunggah foto lokasi sarapan pagi, melainkan menjadi ruang penuh pernyataan—refleksi diri, aktivisme, atau bahkan konten gaya hidup yang memakan biaya produksi setara pembuatan iklan.
Dalam artikel The New Yorker berjudul Are You Experiencing Posting Ennui?, Kyle Chayka menulis bahwa selama protes Black Lives Matter pada 2020 silam, banyak akun pribadi dan perusahaan berhenti mengunggah hal di luar aktivisme. Ia mencatat, perasaan tersebut muncul lagi di tengah perang Israel–Gaza dan kebijakan imigrasi keras di era Trump. Perbedaan kontras antara krisis global dan unggahan pribadi menciptakan semacam “kejutan emosional” bagi banyak orang.
Ketimpangan inilah yang membuat unggahan para miliarder terasa semakin tone deaf. Sebagian berpendapat, mereka hanya membagikan kenyataan hidup mereka—bagian dari “kontrak sosial media” yang dijalani semua orang. Namun rasanya sulit untuk tidak jengah ketika kenyataan mereka begitu jauh dan tidak terhubung dari dunia kebanyakan orang.

Brian Moylan, pengamat budaya pop dan penulis The Housewives: The Real Story Behind The Real Housewives, mengatakan, justru selebritas yang paling tidak tahu malu yang terlihat paling autentik. “Itulah yang membuat bintang reality show menarik,” ujarnya. “Penonton bisa mencium kepalsuan. Bayangkan kalau Lauren Sánchez menikah di kantor catatan sipil—kita pasti akan berkomentar, ‘Serius? Dia hanya melakukan itu?’”
Apakah kita akan lebih kecewa jika para selebritas berpura-pura sederhana? Apakah Khloé Kardashian yang terbuka soal operasi plastiknya itu tidak tahu malu, atau justru jujur? Dan ketika semakin banyak figur publik terang-terangan mengaku menggunakan Ozempic, apakah itu keangkuhan atau kejujuran?
Mungkin, tanpa sadar, kitalah yang membuat mereka menjadi tidak peduli. Kita menuntut mereka sempurna, tapi ketika mereka mencoba berbuat baik, kita justru menertawakannya. Saat kebakaran hebat melanda Los Angeles, misalnya, banyak selebritas dianggap tidak peka karena cara mereka membantu. Mandy Moore dikritik setelah membagikan tautan donasi. Dan siapa bisa lupa momen ketika Gal Gadot dan Natalie Portman menyanyikan Imagine di awal pandemi? Niatnya tulus, tapi hasilnya menjadi bahan olok-olok global. Kalau begitu, untuk apa peduli, kalau setiap niat baik akan tetap disalahkan?
Faktanya, kita memang menikmati melihat kehidupan para elite. Kita marah, tapi juga terhibur olehnya. Semua itu pada akhirnya hanyalah konten. Narasi “eat the rich” bahkan melahirkan deretan tontonan luar biasa—Succession, The White Lotus, dan yang terbaru, Mountainhead.
Namun, seperti yang ditulis jurnalis Marina Hyde, genre “eat the rich” kini mulai terasa lebih sombong ketimbang orang kaya yang jadi sasarannya. Sulit untuk tidak setuju, terutama ketika tren quiet luxury—menghadirkan sandal seharga £650 yang hanya dimengerti kalangan tertentu—terasa lebih menjengkelkan daripada gaya yang disebut Brian Moylan sebagai “boobs besar, baju kecil,”. Tren baru yang kembali merebut perhatian publik.
Kebangkitan estetika Dynasty era 1980-an—yang kini bisa kita lihat di sosok Lauren Sánchez, Sabrina Carpenter, atau gaya showgirl Taylor Swift—mengingatkan pada masa ketika Donald Trump sedang berada di puncak karier bisnisnya.
Pada masa itu, kemewahan dan kesuksesan dirayakan secara terang-terangan, sama seperti sekarang. Bedanya, dunia yuppie 1980-an hidup di masa tanpa internet—ketika pamer status tidak semudah mengunggah di media sosial, dan kemewahan belum begitu mudah menembus kehidupan orang biasa. Jarak antara kelas menengah dan elite belum sejauh sekarang. Mereka yang bekerja di industri media, misalnya, masih punya peluang untuk hidup nyaman—sesuatu yang kini terasa hampir mustahil bagi banyak orang.
Kini, di tengah krisis biaya hidup dan meningkatnya pengangguran, ada lapisan kegetiran baru dalam cara kita memandang kehidupan mewah para elite. Tapi mungkin, pada akhirnya, hal tersebut lebih mencerminkan permasalahan yang ada pada diri kita sendiri daripada kesalahan mereka.

Penulis Zadie Smith pernah mengucapkan bahwa rasa malu punya fungsi. “Menurut saya, itu emosi yang berguna,” ujarnya dalam wawancara tahun 2018. “Rasa malu mengoreksi perilaku tertentu. Karena tidak tahu malu bisa menjadi senjata makan tuan.” Ia juga menambahkan bahwa rasa malu kini dianggap kuno karena sering diasosiasikan dengan moral agama. “Saya selalu menganggapnya cukup produktif,” lanjutnya, “karena menyadarkan kita bahwa manusia tak pernah benar-benar suci. Kesadaran bahwa kita tidak sehebat yang kita kira—menurut saya, itu pikiran yang berguna.”
Namun rasa malu berhenti menjadi sesuatu yang produktif ketika perasaan ini justru menahan kita untuk jujur, berusaha, atau tampil apa adanya. Sekarang, setiap upaya untuk terbuka sering dianggap canggung—bahkan memalukan. Penulis Ocean Vuong pernah mengatakan hal serupa lewat pengalamannya mengajar menulis kreatif. “Mahasiswa sekarang terlalu sadar akan dirinya sendiri,” ujarnya. “Ada budaya pengawasan di media sosial. Mereka takut terlihat sedang berusaha, takut tampak terlalu ingin sukses. Karena takut dihakimi, mereka memilih bersikap sinis. Padahal, di dalam diri mereka ada kerinduan besar akan ketulusan.”
Dan mungkin, memang itu yang hilang dari budaya kita hari ini—ketulusan. Orang biasa takut terlihat terlalu jujur, karena ketulusan kini mudah disalahpahami sebagai ketidakpekaan. Sementara itu, para miliarder, selebriti, dan influencer—yang entah sedang berpesta busa di kapal pesiar atau meluncur ke luar angkasa—hanya ingin terlihat menarik tanpa harus “dihukum” karenanya.
“Masalahnya dengan rasa malu,” kata Brian Moylan, “Adalah kenyataan bahwa kita masih membutuhkannya, agar pelanggaran terhadap norma tetap bermakna. Sekarang, bentuk pelanggaran itu mulai hilang karena perilaku berlebihan sudah jadi hal biasa dan dinormalisasi. Saya khawatir, tanpa pelanggaran, tak akan ada seni yang hebat. Rasa malu memberi kita batas, dan batas itu penting untuk dilampaui.”
Dan mungkin, di situlah inti masalahnya. Semua kembali pada konteks—sesuatu yang perlahan hilang dari genggaman para individu kaya dan terkenal. Mereka mungkin belum memiliki bunker di Selandia Baru, tapi merasa sudah memiliki kehidupan yang seolah dunia tidak bisa menyentuh mereka. Terlindungi oleh kekayaan, dan lebih dari itu, oleh kita. Karena sebenarnya, kitalah yang membangun tembok itu: budaya yang, pada saat yang sama, memuja dan menertawakan ketidaktahuan malu mereka—dengan gairah yang sama.