10 November 2025
Laki-laki dan Kesehatan Mental: Sunyi yang Menggerogoti
text by Hermawan Kurnianto (photo: Nathan (2ICONS) photography by Ikmal Awfar for ELLE Indonesia November 2024; styling Alia Husin; grooming Ranggi Achman; nails Capriques.)
Pada 11 Agustus 2014, Robin Williams ditemukan meninggal dunia karena gantung diri di kamar pribadinya. Seorang aktor dan komedian Hollywood kenamaan dengan kiprah lintas dekade yang mengemban suatu misi mulia: membuat orang bahagia dengan tertawa. Williams diketahui mengidap Lewy Body Dementia, penyakit degeneratif yang menyebabkan penurunan fungsi otak, dan juga parkinson. Orang-orang di sekeliling Williams mengetahui bahwa ia mengalami depresi, tapi tidak ada yang tahu persis mengenai kondisi kesehatan mentalnya. Williams lebih suka merahasiakan keresahannya. Ia pernah berucap, “Orang yang paling bahagia justru menyembunyikan kesedihannya.”
Ada pula Chris Cornell. Salah satu vokalis rock terbaik sepanjang masa yang telah melejitkan nama Soundgarden dan Audioslave. Ia berjuang melawan depresi di hampir sepanjang hayatnya dan akhirnya meninggal karena gantung diri di sebuah kamar hotel pada 18 Mei 2017. Sekitar dua bulan kemudian, vokalis Linkin Park, Chester Bennington, juga tutup usia setelah gantung diri di rumahnya. Pemicunya sama seperti yang dialami Williams dan Cornell, yaitu depresi.
Beberapa waktu lalu ada konten yang sempat marak berseliweran di media sosial, yaitu “Laki-laki tidak bercerita”. Dalam berbagai versinya, mulai dari yang serius sampai yang membuat cekikikan, laki-laki digambarkan sebagai sosok pendiam, tidak banyak bicara, tetapi sebenarnya begitu riuh isi pikiran dan perasaannya. Yang dilakukan hanyalah memendam. Ia bisa duduk bengong berjam-jam di kursi minimarket sambil ngopi. Ia bisa berjalan kaki sendirian menyusuri taman. Ia juga bisa hang out bersama teman-temannya, walau tatapannya kosong dan tawanya dipaksakan.
Boleh jadi Williams, Cornell, dan Bennington adalah salah tiga dari “laki-laki tidak bercerita” itu, dan masih banyak lagi lainnya di luar sana. Konten-konten itu seolah menyingkap keberadaan mereka. Mengetuk pintu kesadaran banyak orang bahwa ini seharusnya lebih dari sekadar perkara yang taken for granted. Memang sudah dari dulu dan sudah dari sananya laki-laki seperti itu. Setelan pabrik. Padahal tidak berceritanya kaum laki-laki bukan berarti mereka tidak apa-apa. Bukan tidak mungkin kesehatan mental mereka sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.
Ini bisa jadi wake-up call untuk memberikan perhatian lebih dan melakukan tindakan untuk perubahan. Karena dalam kesunyian, ada detak hitung mundur bom waktu. Jangan sampai kita tidak melakukan apa-apa dan akhirnya ledakan berupa masalah kesehatan mental itu memorakporandakan banyak hal.

Brandon Jawato photography by Prayogo Yoedo Prawiro for ELLE Indonesia November 2025; styling Ismelya Muntu; grooming Acha Mono.
KERAPUHAN ITU NYATA
Berbagai hasil studi dan data statistik mengungkapkan bahwa masalah kesehatan mental pada laki-laki adalah hal yang nyata. Laki-laki adalah makhluk perkasa yang tahan banting? Menurut laporan WHO tahun 2023-2024, ternyata laki-laki 2-3 kali lebih berisiko melakukan bunuh diri dibanding perempuan. Masih dalam skala internasional, penelitian bertajuk 2025 Canadian Men’s Health Report yang dilakukan oleh Canadian Men’s Health Foundation menunjukkan banyaknya laki-laki yang melaporkan tingkat stres tinggi, kurangnya dukungan sosial (terutama mereka yang masih melajang), dan hanya sedikit dari mereka yang mencari bantuan dari layanan profesional.
Rendahnya kecenderungan laki-laki untuk mencari bantuan dalam mengatasi gangguan kesehatan mental didorong oleh masih begitu menancapnya norma maskulinitas tradisional bahwa laki-laki harus kuat, tidak menangis, dan tidak menunjukkan kerentanan. Hal ini tertuang dalam hasil studi bertajuk Men’s Mental Health Matters: The Impact of Traditional Masculinity Norms on Men’s Willingness to Seek Mental Health Support. Studi lainnya yang bertajuk Born to be Tough: Traditional Masculinity Ideology and Help-Seeking Attitude in Chinese-Indonesian Men juga mengangkat maskulinitas tradisional sebagai faktor signifikan yang memengaruhi sikap laki-laki dalam mencari bantuan profesional saat mengalami masalah kesehatan mental. Hal ini membuat mereka menjalani dua sisi kehidupan yang bertolak belakang. Pada display yang terlihat secara kasat mata, misalnya di unggahan media sosial, mereka tampil dengan casing yang dipenuhi hal-hal yang diidamkan banyak orang: karier sukses, keluarga harmonis, kehidupan percintaan yang bahagia, living life to the fullest dengan terwujudnya bucket list. Namun, di sisi lain yang tersembunyi, mereka diam-diam berjuang setengah mati dengan depresi dan stres. Inilah yang disebut smiling depression atau high-functioning depression, yaitu kondisi ketika seseorang tetap tampak berfungsi normal, tetapi sebenarnya menderita secara batin.
Fakta bahwa laki-laki lebih jarang mencari bantuan untuk masalah kesehatan mentalnya, sehingga gejalanya sering tidak terlihat sampai akhirnya sudah dalam kondisi yang benar-benar parah, melahirkan fenomena yang disebut silent crisis. Mereka memiliki masalah besar, tetapi memilih untuk memendamnya sendiri dalam sunyi. Menahan emosi dan perasaan bisa jadi coping mechanism jangka pendek. Namun, jika berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, maka akan menimbulkan stres kronis, depresi berat, dan gangguan psikologis serius lainnya.
Pada laki-laki yang sedang mengalami masalah kesehatan mental, tanda-tanda yang lebih mudah terlihat antara lain adalah perubahan perilaku (lebih pendiam, lebih mudah marah, kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya disukai), gangguan performa pada studi atau pekerjaan (produktivitas menurun, kehilangan motivasi), perubahan pola tidur dan makan (susah tidur atau tidur berlebihan, nafsu makan menurun atau makan berlebihan), perubahan dalam hubungan (menghindari keluarga atau pasangan dan lebih sering menyendiri).
Sementara tanda-tanda tersembunyi yang sering kali tidak disadari oleh orang sekitar maupun diri sendiri adalah perasaan kosong atau mati rasa, kesulitan mengekspresikan emosi, pikiran negatif yang berulang, masalah fisik (sakit kepala, gangguan pencernaan), terisolasi secara emosional, hingga sering berbicara soal kematian.

Andre Tantono & Justin Matula (Future) photography by Zaky Akbar for ELLE Indonesia November 2023; styling Sidky Muhamadsyah; grooming Acha Mono; hair Meri Kla; styling assistant Shafiyah Kalla; location Casa Italia Living.
MERUNTUHKAN STIGMA
Di satu sisi, media sosial menjadi medium yang melestarikan toxic masculinity. Citra maskulinitas nan konservatif sesuai dengan ekspektasi dan tuntutan sosial yang cenderung kaku dan sempit. Seperti tidak ada jatah engagement bagi para laki-laki yang sedang tidak baik-baik saja dari segi emosi, perasaan, dan mental. Apapun yang terjadi, tetaplah mengunggah hal-hal yang tidak jauh dari pencapaian.
Namun di sisi lain, ada antitesis yang denyutnya semakin kencang. Dalam beberapa tahun terakhir, keterbukaan laki-laki dalam masalah kesehatan mental semakin berkobar. Khususnya laki-laki dari generasi Milenial dan Gen Z, tidak lagi merasa tabu untuk membicarakan dan mendiskusikan depresi, stres, burnout, toxic masculinity melalui kanal media sosial. Hal ini didukung oleh berbagai akun Instagram dan TikTok, podcast, komunitas yang memberikan perhatian khusus pada pentingnya kesehatan mental, tidak terkecuali bagi laki-laki.
Ini berarti, semakin meningkat upaya-upaya untuk lebih lantang menyuarakan dan mengamplifikasi isu kesehatan mental. Tujuannya tidak lain adalah meruntuhkan stigma yang melekat pada norma maskulinitas tradisional dan mengubah persepsi pada diri laki-laki maupun masyarakat tentang cara menyikapi masalah kesehatan mental. “It’s okay to not be okay” menjadi mantra yang menguatkan, sekaligus memberikan dukungan dan motivasi. Jangan takut untuk berkata, “Saya tidak baik-baik saja, dan tidak apa-apa kalau saya butuh bantuan.”

Brandon Jawato photography by Prayogo Yoedo Prawiro for ELLE Indonesia November 2025; styling Ismelya Muntu; grooming Acha Mono.
SEPI DAN TERISOLASI
Pada dasarnya, manusia memang makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Manusia butuh komunikasi dan interaksi dengan orang lain. Manusia butuh support system yang bisa memberikan dukungan emosional. Pertanyaannya, apakah dalam hal ini kuantitas memegang peranan penting? Apakah semakin banyak orang yang menjadi support system, maka manusia akan menjadi semakin kuat dan tangguh dari segi mental? Bisa jadi demikian.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Movember Foundation menunjukkan bahwa laki-laki cenderung memiliki jaringan pertemanan emosional yang lebih sempit dibandingkan perempuan. Laki-laki dewasa merasa lebih kesepian dan lebih sedikit memiliki sahabat ketimbang perempuan.
Banyak laki-laki dewasa yang hanya mengandalkan pasangan sebagai tempat curhat utama atau bahkan satu-satunya tempat curhat. Ini tentu menyimpan risiko. Saat hubungan itu berakhir, misalnya putus, bercerai, atau pasangan meninggal, maka laki-laki akan kehilangan satu-satunya support system. Mereka akan terisolasi secara emosional, meski orang lain melihatnya sebagai sosok yang aktif dan sukses. Padahal, mereka adalah lonely men di tengah keramaian. Apabila kondisi ini terus berlanjut, maka risiko depresi hingga bunuh diri bisa meningkat.

Justin Matula (Future) photography by Zaky Akbar for ELLE Indonesia November 2023; styling Sidky Muhamadsyah; grooming Acha Mono; hair Meri Kla; styling assistant Shafiyah Kalla; location Casa Italia Living.
TEKANAN DI RUANG KERJA
Ruang kerja memberikan penghasilan, tetapi juga menjadi arena pertarungan yang menghajar dari segala sisi. Ekspektasi dan tuntutan sosial bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama membuat banyak dari mereka menanggung beban finansial yang berat. Jam kerja yang panjang dan tidak menentu, persaingan yang ketat, performa yang harus di atas rata-rata untuk mengamankan posisi, target yang terus merongrong tanpa henti, desakan untuk peningkatan karier—semua bersatu padu memicu stres dan depresi.
Melihat kondisi ini, sejumlah perusahaan meluncurkan inisiatif berupa program Employee Assistance Program (EAP) yang bertujuan membantu karyawan dalam mengelola dan menangani masalah kesehatan mental, misalnya melalui konseling yang bersifat rahasia. Di Indonesia, inisiatif ini masih terbatas. Beberapa yang sudah mengaplikasikannya adalah perusahaan startup dan multinasional.
Kesehatan mental laki-laki bukanlah masalah individu, tetapi ini adalah isu sosial yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Harus ada gerakan yang sistematis untuk mengubah narasi maskulinitas bahwa kerapuhan bukan kelemahan, melainkan bagian dari perjuangan untuk menyuarakan dan melawan. Beri dukungan penuh agar laki-laki membangun jaringan persahabatan yang lebih luas dan dalam. Keluarga, tempat kerja, dan komunitas juga selayaknya menjadi ruang yang lebih nyaman bagi laki-laki untuk menumpahkan sejujur-jujurnya tentang masalah yang sedang mengguncang dirinya.
KOMUNITAS & LAYANAN KONSELING DI INDONESIA
Jika merasa tidak baik-baik saja, jangan ragu mencari bantuan dan menghubungi layanan profesional. Berikut beberapa komunitas dan layanan konseling di Indonesia yang bisa menjadi tempat pertama untuk membuka percakapan:
• Into The Light Indonesia: Komunitas pencegahan bunuh diri dan promosi kesehatan mental. (website: intothelightid.org)
• Ibunda.id: Platform konseling online dengan psikolog profesional. (website: ibunda.id)
• Pijar Psikologi: Layanan edukasi dan konseling online seputar kesehatan mental. (website: pijarpsikologi.org)
• Klee.id Platform konseling bersama psikolog via aplikasi. (website: klee.id)