28 November 2023
Bagaimana Sinema Mendefinisikan Laki-laki dan Sifat Maskulinitas dalam Karakter yang Memikat
text by Hermawan Kurnianto
Film bukan hanya medium penutur cerita dalam format audio-visual. Film bukan hanya karya seni yang membaurkan estetika dan hiburan. Lebih dari itu, film juga berfungsi sebagai sebuah “jendela” yang memungkinkan para penonton untuk mengobservasi sikap, perilaku, dan karakter manusia. Mereka bisa menangkap, mempelajari, bereaksi, hingga terhubungkan secara emosional oleh karakter-karakter yang tampil dalam sebuah film, baik protagonis maupun antagonis.
Disadari atau tidak, terjadi pembentukan pola pikir dari film-film yang kita saksikan. Karakter-karakter sebagai penggerak utama dari cerita, seakan mengajarkan kita bagaimana cara berbicara, bertingkah laku, dan menghadapi berbagai hal dalam kehidupan. Dalam film superhero, tokoh-tokoh ikonis seperti Superman, Batman, Iron Man, Spider-Man mewakili karakter individu yang dikaruniai oleh berbagai kelebihan dan selalu siap berjuang untuk membuat dunia menjadi lebih baik. Para superhero itu bukannya tidak memiliki kelemahan, tetapi mereka seakan memberikan pernyataan lugas: What doesn’t kill you, makes you stronger.
photo DOC. Warner Bros. Pictures.
Sementara dalam film horor, karakter-karakter di dalamnya berkubang dalam rasa takut. Mereka terlihat lemah dan tak berdaya dalam menghadapi musuh utama, entah dalam bentuk makhluk supranatural, monster, hingga psikopat. Namun, salah satu dari mereka akan muncul dengan kekuatan tidak terduga, dan berakhir dengan status sebagai pahlawan.
Berbicara tentang karakter, menarik melihat bagaimana sinema dan filmmaker menyuguhkan gambaran karakter utama laki-laki. Sebagai produk seni, budaya, dan industri; film tidak bisa terlepas dari konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Sosok yang lebih kuat, pengambil keputusan, dan penyelamat. Seiring perjalanan waktu, film semakin memperluas spektrum karakter laki-laki menjadi lebih bersifat multidimensional, karena memang manusia sesungguhnya dinaungi oleh berbagai macam emosi dan keterbatasan.
photo DOC. Warner Bros. Pictures.
A “REAL” MAN
Ketika diminta untuk menyebutkan film laki-laki terbaik, umumnya orang-orang akan melontarkan judul-judul film yang memiliki karakter utama laki-laki dengan tampilan dan kekuatan fisik yang prima, banyak letupan senjata dan ledakan dahsyat, dan tentu saja, love interest nan seksi. Dan ini bisa dimaklumi. Betapa banyak laki-laki muda yang belajar untuk menjadi “a real man” dengan menyaksikan aksi tangguh
John Wayne dan juga maskulinitas yang dingin dari seorang Clint Eastwood di film-film western yang dibintanginya. Mundur sejenak ke era film bisu, ketika itu sinema seakan menjadi sebuah panduan untuk mengenal gaya hidup Amerika. Para penonton dapat melihat bagaimana laki-laki Amerika berpakaian, bagaimana mereka bertegur sapa (dengan bersalaman, bukan dengan cipika-cipiki seperti halnya warga Eropa), dan kebiasaan maupun perilaku lainnya. Film bisu pun menjadi semacam medium untuk mengukuhkan sebuah stereotipe tentang karakter-karakter yang ditampilkan tanpa menggunakan dialog. Perempuan hampir selalu digambarkan sebagai sosok domestik, berperangai halus dan pasif, sementara laki-laki lebih terkesan ramah, kuat, dan aktif.
The Bridges of Madison County (1995); photo DOC. Warner Bros.
Kekuatan sinema untuk memengaruhi pola pikir pun bukan tanpa disadari. Pada era tahun 1930-an, industri film membuat sebuah peraturan untuk filmmaker dalam proses produksi, yaitu tidak memperbolehkan adanya unsur adegan mabuk, seks, upaya balas dendam, dan seluruh bentuk hal yang dianggap immoral. Saat itu tidak boleh ada film yang mengundang simpati penonton untuk memihak ke sisi yang dianggap negatif.
Sejarah film aksi boleh dibilang merupakan sejarah tentang maskulinitas modern. Ini tentang bagaimana seni merefleksikan definisi masyarakat mengenai laki-laki dan gambaran ideal masyarakat tentang sosok laki-laki yang sempurna. Laki-laki ditampilkan dalam sosok yang hebat, kuat, tangguh, jantan, dan sayang keluarga. Melalui film-film produksinya, Hollywood seolah mendoktrin tentang perilaku manusia (khususnya laki-laki) dalam konteks heroik ideal yang justru sulit ditemukan dalam kehidupan nyata. Pada akhirnya, tokoh protagonis laki-laki justru direpresentasikan secara “tidak tepat” (menghindari kata “buruk”) di film.
James Bond: Goldfinger (1964), photo DOC. Eon Productions/United Artists.
Misalnya saja karakter ikonik James Bond. Di film-film awal agen rahasia Inggris bersandi 007 ini, ia digambarkan sebagai figur maskulin yang benar-benar bergantung pada kemampuannya dalam menghadapi berbagai situasi. Hal ini disanjung sebagai bentuk keberanian, yang menciptakan persepsi di kepala penonton tentang definisi maskulinitas.
Padahal di kehidupan nyata, laki-laki adalah makhluk yang memiliki kompleksitas emosi. Laki-laki mengalami pergolakan emosi seperti halnya ketika mereka berhadapan dengan situasi yang membutuhkan kemampuan fisik. Menjadi sebuah stereotipe ketika lingkungan memberikan tekanan sosial bahwa laki-laki tidak boleh menggunakan perasaannya.
A REAL MAN
Pergerakan zaman turut memantik berbagai macam perubahan. Para filmmaker melakukan transformasi tentang bagaimana menampilkan sosok laki-laki di film. Dari hal-hal yang melekat pada diri laki-laki sebagai sebuah stereotipe, para penulis skenario terus mengembangkan karakter-karakter laki-laki yang lebih akurat merepresentasikan pengalaman hidup laki-laki di abad 21. Lewat sudah masanya anak muda laki-laki menonton film hanya untuk melihat karakter yang merepresentasikan jagoan, playboy, sosiopat, hingga penjahat. Kini, karakter laki-laki di film memiliki kepribadian dan perilaku yang lebih beragam.
Play It Again, Sam (1972), photo DOC. Paramount Pictures.
Sebenarnya, sejak dulu Hollywood sudah memberikan kejutan manis lewat kehadiran sejumlah film yang karakter utama laki-laki di dalamnya lebih mendekati sosok laki-laki di kehidupan nyata—tidak selalu hebat, kuat, dan baik. The Graduate (1967) menghadirkan figur seorang pemalas sejati yang diperankan secara mengagumkan oleh Dustin Hoffman. Sementara Woody Allen menyuguhkan nuansa komikal tentang ketakberdayaan laki-laki untuk menjadi seperti karakter utama laki-laki di film Hollywood era klasik di Play It Again, Sam (1972). Aktor-aktor legendaris seperti Paul Newman dan Steve McQueen mengambil peran antihero, yang membuat mereka dijuluki “Kings of Cool”.
Kemudian, masuk ke era 1980-an, film-film dibuat dengan memasang remaja, bukan orang dewasa, sebagai pahlawan. Film Back to the Future beserta kedua sekuelnya menyodorkan karakter utama Marty McFly yang terlibat dalam petualangan seru menjelajah waktu. Ia bukanlah sosok perkasa seperti Rambo. Ia adalah seorang remaja biasa berusia 17 tahun yang berusaha melakukan hal-hal yang menurut dirinya harus dilakukan.
Back to the Future (1985), photo DOC. Universal Pictures.
Di era 1990-an, kita diperkenalkan oleh karakter memorable, yaitu Mrs. Doubtfire dalam film bertajuk sama. Di situ, Robin Williams berperan sebagai seseorang yang mengalami kegagalan rumah tangga, tetapi dia tidak mau gagal untuk selalu dekat dengan anak-anaknya. Lalu di era 2000-an, film-film komedi garapan Judd Apatow mempresentasikan laki-laki dewasa yang sebenarnya adalah anak kecil yang terlalu cepat tumbuh. James Bond pun mendapat saingan yang tidak kalah memikatnya, yaitu Jason Bourne yang diperankan oleh Matt Damon. Melalui Jason Bourne, agen rahasia ternyata bisa tampil sebagai antihero yang tidak mengenal siapa dirinya.
Kecenderungan untuk lebih memanusiakan karakter utama laki-laki dalam sinema terus berlanjut hingga kini. Sosok laki-laki yang kompleks secara emosional telah mendapat porsi utama dalam penceritaan. Di film futuristik bernuansa sendu, Her (2013), karakter utamanya, Theodore (Joaquin Phoenix) digambarkan sebagai lelaki yang kesepian, tertutup, dan tertekan, yang menemukan kebahagiaan melalui hubungan romansa dengan AI bernama Samantha (disuarakan oleh Scarlett Johansson).
Her (2013), photo DOC. Warner Bros. Pictures
A Star is Born (2018) mengetengahkan hubungan antara bintang rock Jackson Maine (Bradley Cooper) dan penyanyi bar Ally (Lady Gaga), bukan hanya film dengan plot klasik tentang kisah percintaan, tetapi juga menyajikan isu kesehatan mental dan masalah adiksi narkoba. Film lainnya yang juga menyentuh hubungan yang rumit antara laki-laki dan persoalan adiksi adalah Beautiful Boy (2018). Berdasarkan kisah nyata dari Nic Sheff (Timothée Chalamet) yang mengalami ketergantungan terhadap metamfetamin, seiring upaya ayahnya, David (Steve Carell) untuk memahami mengapa terjadi relapse (kambuh) pada kecanduan tersebut.
Beautiful Boy (2018), photo DOC. Amazon MGM Studios.
Dalam perjalanan sinema, laki-laki telah bertransformasi menjadi sosok yang kian manusiawi dan autentik. Kendati penonton selalu menginginkan figur pahlawan, para filmmaker tidak hanya menawarkan karakter protagonis laki-laki yang serba hebat dalam segalanya, tetapi juga mengekspos sisi lain yang lebih realistis dan dekat dengan keseharian: kelemahan, kerentanan, serta kerapuhan. Penggambaran yang akan semakin memicu redefinisi maskulinitas.
L’Oréal-UNESCO For Women in Science National Fellowship 2024: Merayakan Kontribusi Perempuan Peneliti Indonesia untuk Solusi Berkelanjutan
Ikuti Perjalanan Seru Rolex Dalam Mendukung Ekspedisi Penjelajah National Geographic Steve Boyes di Sungai Kasai