Busana: Ermenegildo Zegna
"Saya memiliki empat talenta; sebagai
presenter, aktor,
entrepreneur, dan produser.
God gives me four talents. Seumpama saya tidak mengoptimalkan empat talenta itu, keberadaan saya sama saja dengan sebuah
smartphone 4G yang hanya digunakan untuk SMS-an dan main
game Snake, " ucapnya tergelak tanpa ada nada sombong sedikit pun kala saya bertanya tentang profesi apa yang hendak ia
maintain kedepannya. Suatu kewajaran bila saya bertanya demikian, mengingat film yang baru saja ia perankan pecah di pasaran.
A Man Called Ahok, sebuah film besutan sutradara Putrama Tuta yang dirilis November silam. Karya visual berdurasi 1 jam 42 menit =mengisahkan kehidupan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, semasa tinggalnya di Belitung Timur. Daniel Mananta yang lekat dikenal sebagai seorang
presenter (walau nyatanya ia pun telah berkarier sebagai aktor sejak lebih dari sepuluh tahun), mengikuti
casting bersama empat orang kandidat kuat lainnya.
[caption id="attachment_6045" align="aligncenter" width="685"]

Busana: Ermenegildo Zegna[/caption]
Dari kelima aktor tersebut, Putrama Tuta mampu menyebut Daniel sebagai satu-satunya kandidat yang "
half begging" demi mendapatkan peran sebagai pak Ahok. Daniel meruntuhkan harga diri karena sukses menggagalkan
casting pertamanya kemudian memohon demi diberi kesempatan kedua.
"Sebenarnya,
presenting dan
acting itu dua hal serupa. Karena selama jadi
MC di panggung atau di depan kamera, saya punya mimik wajah
'template' yang tidak memperbolehkan saya untuk menunjukkan emosi selain being
joyful.
No matter masalah apa yang sedang saya hadapi saat itu, saat bekerja saya harus memperlihatkan wajah sumringah. Dan hal ini telah saya lakukan selama sepuluh tahun. Jadi kebiasaan ini yang menggagalkan saya di
casting pertama. Rasanya saat itu saya hanya menjadi seorang
presenter yang sedang berakting, seorang
presenter yang sedang marah-marah dengan suara serak.
And it was a disaster," ia mejelaskan hari kekalahannya, yang sekonyong-konyong membawanya ke periode satu bulan penuh yang dipadati latihan maksimal untuk menjiwai peran sebagai pak Ahok yang akan ditampilkan di kesempatan
casting kedua. "Saya bilang ke Tuta saat itu, tolong kasi saya kesempatan lagi. Kasi saya satu bulan. Kalau nanti tetap merasa saya tidak cocok berperan sebagai pak Ahok,
it's fine."
Selama satu bulan, Daniel berbusana, berjalan, dan menata rambut layaknya pak Ahok. Ia menyempatkan sepuluh menit setiap hari untuk berbicara dengan intonasi serupa pak Ahok. "Seminggu pertama, rasanya agak aneh. Tapi masuk ke minggu kedua,
things started to sound normal to me," ingatnya. Ia juga melatih diri bersama seorang aktor yang juga Acting Coach, Yayu Unru, yang memaksanya untuk mampu 'membunuh karakter VJ Daniel'. "
We needed to kill the character of VJ Daniel in me, sehingga wajah
'template' panggung saya bisa hilang supaya saya bisa mengeluarkan dan menampilkan emosi." Dan satu bulan kemudian,
he got the part.
[caption id="attachment_6046" align="aligncenter" width="685"]

Busana: H&M (suit)[/caption]
Sebuah kesempatan luar biasa bagi Daniel untuk dapat mengunjungi pak Ahok saat itu di Mako Brimob. Lewat kunjungannya, ia mendengar pak Ahok bernostalgia tentang hidupnya di Belitung Timur. Masa di mana ia tumbuh besar dalam 'gemblengan' Kim Nam, sang Ayah, yang juga menjadi peran signifikan di film itu. Mengenal pak Ahok lebih dekat, ia makin yakin akan keterlibatannya dalam film ini, walau ada beberapa
scene yang dianggapnya sulit untuk dieksekusi.
Seperti saat ia berargumen dengan aktor Chew Kin Wah yang berperan sebagai Kim Nam. "Sebagai keturunan Tionghoa, untuk berbicara balik pada bapak saat sedang berargumen itu sangat tabu. Sedangkan di naskah banyak sekali skenario yang mengharuskan saya berdebat dengan Kim Nam. Dan ternyata setelah bertanya pada pak Ahok, ia mengatakan bahwa keluarganya bukan tipikal keluarga Tionghoa pada umumnya. Kalau pak Ahok merasa argumennya
valid, ia akan memperdebatkan hal itu
no matter what. Dan memang nilai berprinsip itu yang diajarkan oleh Kim Nam pada anaknya," Daniel menjelaskan dengan senyum.
Namun prosesnya berperan dalam film ini tak selalu menghantar senyum. Ada kala semasa periode
reading, Daniel berniat mundur. "Saat itu saya sangat takut dibanding-bandingkan dengan pak Ahok. Memikirkan tanggapan orang-orang saat mereka sudah menonton film ini. Apakah saya hanya akan jadi olok-olokan berbanding dengan figur besar pak Ahok? Saya sampai tidak bisa tidur,
I was so overwhelmed,
I got anxiety attack, saya bilang ke manajer saya untuk menggantikan saya saat itu juga dengan aktor lainnya. Orang tahu saya adalah
a great presenter, tapi saya harus akui bahwa saya adalah
a weak actor. Yang membuat saya mampu memerankan pak Ahok seperti ini adalah semata karena saya percaya akan bantuan Tuhan yang mendampingi saya," kenangnya.
[caption id="attachment_6047" align="aligncenter" width="685"]

Busana: H&M[/caption]
"Saya jatuh cinta pada pesan-pesan yang disampaikan film ini," ia kembali menerawangkan nalar. "Film ini memiliki nilai-nilai positif yang menunjukkan karakter pak Ahok sebagai seseorang yang sangat takut Tuhan. Ia memiliki
compassion yang kuat terhadap orang-orang yang tidak mampu. Ia sangat berani menjadi
the voice of the voiceless,
very bold dan sangat berprinsip. Walaupun terkadang pendapatnya bukan lah pendapat yang populer di masyarakat. Tapi saat dia tau dia benar, dia tidak akan takut. Dan menurut saya nilai-nilai itu yang bisa diambil untuk pemimpin-pemimpin Indonesia di masa depan. Mungkin tidak terinspirasi dari pak Ahok pribadi, tapi justru terinspirasi karena sudah nonton film
A Man Called Ahok."
Mengetahui masyarakat menerima kehadiran film ini dengan tanggapan-tanggapan positif, Daniel merasa sangat puas dengan kualitas aktingnya. Ia memanjatkan rasa syukur. "Saya belum bisa bilang bahwa saya orang kaya. Tapi saya bisa bilang bahwa saya sukses. Pertama, Anda harus tahu
the definition of passion, yaitu
doing something you love the most yang kalau tidak dibayar pun tidak masalah,
yet you're doing it anyway. Tapi sekarang,
being able to do what I love most and get paid so much for it, itu baru sukses," ia tertawa saat menjabarkan sifatnya yang sangat realistis.
[caption id="attachment_6048" align="aligncenter" width="685"]

Busana: Tomorrowland at Lumine[/caption]
"Dulu saya melakukan semuanya untuk bikin bangga orangtua,
and for the fame. Takut sekali kalau
fame itu hilang, kalau tiba-tiba orang jadi bosan sama saya dan saya digantikan dengan
MC lain yang lebih tenar. Tapi sekarang, saya melakukan semuanya
with a purpose, yaitu
to spread peace, love, and joy. Dan saat ini saya bisa
boost purpose saya melalui
so many platforms. Misalnya, saya sedang
spread love melalui film
A Man Called Ahok yang mengekspos cinta seorang ayah pada anaknya. Lalu saya juga punya
clothing line yang bernama
Damn! I love Indonesia. Kemudian saat ini saya juga sedang menjadi Executive Producer di film
Love All yang mengisahkan tentang atlet badminton Susi Susanti. Jadi tujuan saya sekarang sudah bukan lagi untuk
fame, tapi untuk sebuah
purpose dan fokus pada
each own ways to boost that purpose."
Penjabaran Daniel tentang hasrat dan kesibukannya membawa saya ke sebuah pertanyaan akan sebuah
scene di film itu, dimana Ahok kecil bertanya pada Kim Nam tentang eksistensinya yang membingungkan; (mengutip dari film) "apakah kita ini orang Cina atau Indonesia?"
[caption id="attachment_6049" align="aligncenter" width="685"]

Busana: Ermenegildo Zegna[/caption]
"Saya akan menjawab apa yang ditanyakan oleh Ahok kecil. Ini jawaban saya, bukan jawaban pak Kim Nam," lafalnya tegas. "
Purpose yang saya lakukan di berbagai
platform yang saya kerjakan itu untuk Indonesia, untuk menuangkan rasa cinta saya pada Negeri ini.
Chinese Indonesian pun adalah orang Indonesia
and I'm just doing my best for my country, untuk negara tempat saya dilahirkan,
for the country that I call home. Memang semua proyek yang saya kerjakan ini
aligned,
again, karena saya mengerjakannya untuk sebuah
purpose dengan nilai prinsip yang saya utamakan, yaitu untuk
serve Tuhan dan Indonesia. Baru yang ketiga adalah untuk membuat profit. Jangan sampai profit jadi
value yang utama, karena kalau sudah begitu, Tuhan atau Indonesia malah dikompromikan, dan itu tidak boleh terjadi."
Nyata terpatri di kesan saya selama perbincangan ini bahwa Daniel adalah sosok yang tengah berevolusi dalam figur dan pola pikirnya; melalui ucapan-ucapan tegas yang tak pernah ditarik kembali, prinsip pada intonasi, dan mimpi-mimpi yang jauh dari mustahil untuk direalisasi.
"Mungkin
in the future, akting saya dapat nominasi Oscar atau film yang saya
produce akan
played along di Hollywood dan dibintangi oleh Joe Taslim.
It's an elevated kind of dream,
but I will surely still be doing what I love the most."
Hear hear, Daniel.
(
Photo: DOC. ELLE Indonesia;
photography HARIONO HALIM
styling SIDKY MUHAMADSYAH)