LIFE

22 Juni 2024

Kilau Karisma Jakarta Pasca Ibu Kota


Kilau Karisma Jakarta Pasca Ibu Kota

text by Indah Ariani; photo DOC. Getty Images

Kendati status Daerah Khusus Ibu Kota telah beralih menjadi “hanya” Daerah Khusus saja, Jakarta diyakini akan tetap berperan penting sebagai pusat bisnis dan teknologi di Indonesia.


Pada medio Februari 2024 silam, di sela santernya berita pemilihan umum 2024 beserta berbagai kontroversinya, lamat-lamat terdengar kabar tentang dimulainya pembahasan Undang-undang Daerah Khusus Jakarta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang diikuti pengesahan Undang-undang tersebut pada 25 April 2024. Status baru sebagai “hanya” Daerah Khusus saja menyertai Jakarta, sementara status Ibu Kota Negara telah dialihkan pada Nusantara, calon Ibu Kota baru yang tengah di bangun di dua kabupaten, Kutai Kertanegara dan Panajam Paser Utara di Kalimantan Timur.

Jakarta telah melewati berbagai zaman dengan beragam nama, status dan beribu kisah sejarah yang bergulir di sekelilingnya. Menjelang usianya yang ke-497 pada Juni 2024, Jakarta memulai babak baru sebagai Daerah Khusus yang tak lagi menyandang status Ibu Kota. Pengesahan Undang-undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan Undang- undang No. 21 Tahun 2023 yang yang meyempurnakannya, menjadi regulasi penanda beralihnya status Ibu kota Negara ke Nusantara yang berada di dua kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Timur tersebut.

Perubahan status ini, bukan baru pertama kali dialami Jakarta. Kita dapat meneropong kembali, bagaimana perjalanan sejarah dan fungsi yang diemban kota ini melalui sekelumit cerita berdasarkan data yang tercatat dalam situs resmi pemerintah daerah khusus Jakarta.

Bermula dari sebuah perkampungan pelabuhan kecil di muara Sungai Ciliwung, Jakarta sejak awal telah menjadi pusat perniagaan global yang amat dinamis. Sunda Kelapa, nama awal pelabuhan itu, diubah namanya menjadi Jayakarta oleh Pangeran Fatahillah setelah berhasil mengalahkan pasukan Portugis pada 22 Juni 1527. Tanggal ini pula yang kelak di kemudian hari, ditahbiskan sebagai hari ulang tahun Jakarta.

Di masa penjajahan Belanda, Jayakarta bersalin nama menjadi Batavia. Kondisi geografis Batavia yang menyerupai negari Belanda, membuat pemerintah kolonial membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir seperti di Belanda. Pusat pemerintahan kolonial yang sedianya berada di Kawasan Pelabuhan, dipindahkan ke dataran yang lebih tinggi dengan nama Weltevreden. Kawasan ini merupakan daerah tempat tinggal utama orang-orang Eropa kala itu. Letaknya membentang di sekitar daerah Sawah Besar, Jakarta Pusat, dari sekitar area Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto hingga Museum Gajah.

Sejak masa ini, Batavia telah menjadi “pusat”, baik bagi pemerintahan kolonial, juga bagi perjalanan pergerakan dan perjuangan kemerdekaan. Persatuan bangsa dirumuskan dalam dua kongres pemuda yang digelar di Batavia pada 1926 dan 1928. Nama Jakarta sendiri baru mulai digunakan di masa pendudukan Jepang, antara 1942 hingga 1945.

photography by Ryan Tandya for ELLE Indonesia June-July 2024; styling Alia Husin.

Ketika Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Jakarta serta merta menjadi pusat kegiatan politik dan pemerintahan. Kendati pusat pemerintahan sempat berpindah sementara ke Yogyakarta antara 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949, Jakarta kembali menjadi Ibu Kota Negara. Sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta tak hanya menjadi sekadar kota tempat pusat pemerintahan, tapi juga menjadi pusat perekonomian dan diplomasi, di mana segenap kedutaan besar negara sahabat berpusat.

Dalam perkembangannya, Jakarta yang secara resmi disahkan sebagai Ibu Kota Negara pada 1966 ini, berkembang amat pesat, menjadi sebuah megapolitan yang memiliki dua sisi mata uang. Kemajuan ekonomi dan gemerlap gaya hidup di satu sisi, serta ketimpangan dan berbagai persoalan masyarakat di sisi lainnya. Dua sisi mata uang ini pula yang dibawa serta ketika pemekaran wilayah Jakarta kemudian merambah ke wilayah-wilayah penyangganya, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Kendati demikian, status Daerah Khusus Jakarta itu baru berlaku apabila pemerintah, melalui Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) seperti yang dijelaskan dalam ketentuan peralihan pada Pasal 63 disebutkan bahwa pada saat UU DKJ diundangkan, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tetap berkedudukan sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai dengan penetapan Keputusan Presiden mengenai pemindahan Ibu Kota NKRI dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berubahnya status Jakarta menjadi Daerah Khusus ini mendapat beragam respon dari masyarakat dengan respon positif dan afirmatif yang lebih mengemuka. Respon optimistis, misalnya, muncul dari kalangan birokrasi dan bisnis. Sylviana Murni, birokrat yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) mengatakan, salah satu sisi positif Jakarta tidak lagi menjadi Ibu Kota adalah berkurangnya berbagai beban yang ditanggung oleh Jakarta semasa menjadi Ibu Kota di berbagai bidang. “Seperti misalnya, lingkungan hidup, kepadatan jalan, persampahan, tata ruang dan sebagainya. Hal ini justru dapat menjadi suatu keuntungan bagi pembangunan berkelanjutan di Jakarta,” katanya.

Sementara itu, menurut Sylviana, perputaran ekonomi yang dinamis sudah menjadi ciri khas Jakarta sejak dahulu. Pilar-pilar ekonomi, dikatakannya, sudah tertanam kuat di Jakarta sehingga tidak akan banyak berpengaruh dengan berpindahnya ibukota. Dengan perkataan lain, ritme kehidupan Jakarta akan tetap bergerak cepat seperti saat Jakarta menjadi Ibu Kota. “Dengan disahkannya Undang- Undang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ), menjadikan Jakarta tidak hanya sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global, tetapi juga menjadikan Jakarta lebih tumbuh berkembang sebagai kota utama megapolitan di tingkat nasional, regional, dan global serta kawasan aglomerasi dengan penopang daerah penyangga yang terintegrasi,” katanya lagi.

Demikian pula halnya dengan para pelaku usaha. Menurut Shinta Kamdani, pengusaha yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), para pelaku usaha menghormati proses yang berjalan terkait dengan penetapan status baru Jakarta dalam UU DKJ. “Kami sangat berharap, apa pun bentuk UU tersebut nantinya, bila Jakarta ingin tetap dijadikan sebagai sentra kegiatan ekonomi, UU DKJ harus bisa menciptakan iklim usaha dan investasi yang sangat kompetitif. Setidaknya “ease of doing business” di Jakarta harus sama mudahnya, dan sama efisiennya dengan saat ini, dan di masa mendatang harus bisa ditingkatkan sesuai dengan perubahan tuntutan kemudahan berusaha di lapangan,” kata Shinta.

Hal tersebut, menurutnya, tentu memberi konsekuensi terhadap kewenangan Jakarta dalam menentukan aspek-aspek iklim usaha di daerah seperti berbagai perizinan usaha seperti perihal lahan, penggunaan air, manajemen sampah dan keberlanjutan lingkungan, ketenagakerjaan serta pengupahan, dan lain-lain. “Kami berharap kewenangan tersebut tetap ada secara otonomi tapi sifatnya terbatas, dalam arti kewenangan otonomi Jakarta dalam menentukan aspek-aspek iklim usaha itu tidak boleh melanggar ketentuan yang sifatnya nasional. Ini sangat penting untuk menciptakan certainty atau kepastian berusaha yang lebih tinggi,” ujar Shinta sembari memberi contoh tentang aturan pengupahan di Jakarta yang harus mengikuti formula perhitungan kenaikan upah yang disepakati secara nasional.

photography by Ryan Tandya for ELLE Indonesia June-July 2024; styling Alia Husin.

JAKARTA PASCA IBU KOTA

Penetapan peraturan tersebut, boleh jadi akan membuat pengesahan Undang-undang (UU) No. 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta tak serta merta terasa dampaknya,jika melihat proses pembangungan IKN yang masih akan berjalan cukup panjang. Namun proses transisi terus dilakukan secara terarah, salah satunya dengan pembahasan mengenai pemekaran wilayah aglomerasi yang akan juga mencakup Kawasan Cianjur, untuk menambah wilayah lain yang telah lebih dahulu menjadi bagian integral dari pengembangan wilayah Jakarta, yaiktu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DKI Jakarta, Sylviana Murni, aglomerasi sejatinya bukanlah wacana atau isu baru karena sejak lama, konsep tersebut sudah ada dan bahkan sudah diterapkan, meski menurutnya, penerapan konsep tersebut dirasa kurang efektif akibat kurangnya wewenang badan yang menyelenggarakan kawasan aglomerasi tersebut. “Namun demikian, dengan terbitnya UU Daerah Khusus Jakarta, kelembagaan aglomerasi diperkuat, sehingga menimbulkan harapan baru untuk keberhasilan penyelenggaraannya di masa depan,” ujar Sylviana yang secara aktif terlibat dalam rapat-rapat pembahasan UU Daerah Khusus Jakarta bersama pemerintah dan Badan Legislatif DPR RI.

Sylviana berpendapat, ditambahnya Cianjur ataupun tidak, bila proses aglomerasi dilakukan dengan baik, dapat memberikan efek positif bagi Jakarta dan daerah satelitnya karena akan terjadi sinkronisasi pembangunan provinsi Daerah Khusus Jakarta. Dikatakannya, tidak hanya dengan Cianjur, tetapi juga dengan Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi, Jakarta bisa melakukan kerjasama yang sinergis untuk menemukan solusi bersama dalam berbagai permasalahan kota seperti transportasi, persampahan, kependudukan dan sebagainya.

Pemindahan Ibu Kota Negara ini diyakini tak akan terlampau memengaruhi roda bisnis di Jakarta. Shinta mengatakan, kendati tak lagi berstatus sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta masih tetap menarik bagi investor. Sebab menurutnya, hingga saat ini belum ada kota lain di Indonesia yang bisa memberikan sarana dan prasarana kegiatan ekonomi yang lebih holistik serta lebih kompleks untuk mengakomodasi berbagai bentuk kegiatan usaha dibandingkan Jakarta. “Pelaku usaha dan investor tentu masih lebih memperhitungkan daya tarik pasar, keberadaan sarana dan prasarana kegiatan ekonomi, daya saing, efisiensi, konektifitas serta kemudahan berusaha di Jakarta dibandingkan status ‘Ibu Kota’,” ujarnya.

Terkait sektor properti pun, Shinta dan kalangan bisnis pada umumnya, merasa tidak akan berpengaruh karena pasar properti amat dipengaruhi supply and demand terhadap permukiman, bukan status Ibu Kota. “Mungkin di beberapa wilayah, seperti misalnya lokasi yang dahulunya menjadi sentra-sentra pemerintahan, akan mengalami penurunan demand sehingga terjadi koreksi harga pasar. Tapi kami rasa penurunannya akan terkompensasi di kemudian hari bila daya saing iklim usaha di Jakarta sebagai sentra ekonomi bisa dipertahankan,” pungkasnya.

Namun Shinta juga tak menafikan kemungkinan akan terjadinya berbagai penyesuaian di beberapa lini bisnis. “Tentu saja ini tidak berarti bahwa semua kegiatan usaha akan cocok menetap di Jakarta. Tetap terbuka kemungkinan beberapa usaha akan pindah karena kebutuhan usaha yang berbeda, misalnya karena upah yang mahal. Tapi yang ingin kami sampaikan adalah bahwa pelaku usaha (investor) akan mengevaluasi Jakarta sebagai potensi usaha atau lokasi usaha berdasarkan parameter-parameter kebutuhan usaha yang sudah disebutkan. Status administratif bukan prioritas utama dalam perhitungan usaha kami,” Shinta menandaskan.