LIFE

19 Agustus 2024

Slamet Rahardjo: Sang Aktor Legendaris Indonesia yang Semua Sudut Kehidupannya adalah Kesenian


Slamet Rahardjo: Sang Aktor Legendaris Indonesia yang Semua Sudut Kehidupannya adalah Kesenian

photography Arman Febryan

"Seorang Aktor Telah Lahir”. Bunyi judul berita di salah satu halaman koran yang terbit pada Oktober 1969 tersebut ditulis oleh Salim Said, seorang mantan redaktur Tempo sekaligus kritikus seni. Kalimat yang secara terang-terangan menyebut Slamet Rahardjo sebagai aktor, sebuah profesi yang kemudian menjadi predikat yang melambungkan namanya di seantero dunia perfilman. Seorang aktor, sutradara, penulis naskah, dan pengajar seni. Slamet kerap disebut sebagai salah satu aktor hebat Indonesia sepanjang masa dan sering dianggap sebagai tokoh paling berpengaruh dalam sejarah sinema Indonesia.


Slamet Rahardjo dibesarkan oleh keluarga kombinasi seni dan militer. Ia mengaku banyak belajar dari kedua orangtuanya. Dari ayahnya Djarot Djojoprawiro yang seorang tentara, Slamet memahami arti penting sebuah kedisiplinan dan sikap pantang menyerah. Sedangkan dari sang ibu Ennie Sulesni yang merupakan seorang pelukis, Slamet menjadi sangat dekat dengan dunia literatur, termasuk kesenian. Dari ibunya juga, Slamet diperkenalkan dengan berbagai tokoh penting seperti Ken Arok, Ken Dedes, serta diajarkan beragam cerita budaya asli Indonesia seperti misalnya, Siti Nurbaya dan Kabayan. Ketika tinggal di Yogyakarta bersama neneknya, Slamet menemukan banyak sanggar seni dan kerap melihat warga latihan menari, menyanyi, bermain gamelan, dan berlatih teater. Sedangkan di rumah, Slamet tak jarang mendapati neneknya sedang membatik. Dari ibunya, Slamet diperkenalkan pada sosok seniman-seniman besar Indonesia.

Tanpa benar-benar disadari, ternyata apresiasi seni sudah lama tertanam dan semua aktivitas berkesenian itu menarik buat Slamet kecuali pementasan teater. Ia tidak, belum lebih tepatnya, menemukan apa asyiknya menonton teater. Sampai akhirnya di usia 20 tahun, Slamet Rahardjo menonton drama TVRI berjudul Lagu Terakhir dan melihat sosok Teguh Karya dan Henky Solaiman sebagai pemainnya. “Mereka berakting bagus sekali. Itu dia baru teater!” sebuah opini yang mengubah cara pandang Slamet dalam melihat seni teater. Setelah tahu Teguh Karya adalah salah seorang pengajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Slamet mendaftar jadi murid bagian penata artistik. Ia merasa memiliki bakat melukis dan bisa menggambar sehingga punya alasan untuk jadi art director. Sampai akhirnya Slamet diikutsertakan dalam pementasan Teater Populer yang pada waktu itu, tahun 1968, secara rutin digelar di Hotel Indonesia, Jakarta.


Membicarakan Slamet Rahardjo memang agak sulit untuk melepaskannya dari figur Teguh Karya. Sosok yang mengajarkan Slamet berenang lebih jauh dalam dunia pementasan. Slamet dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh orangtua biologisnya. Namun ketika dewasa beliau dibimbing dan ditempa oleh dunia ajaib yang bernama teater oleh bapak spiritualnya, Teguh Karya, tokoh penting di dunia teater dan film. Relasi Slamet dengan Teguh Karya boleh jadi tak sengaja awalnya, tapi ada pengaruh besar dari nama tersebut dalam penampilan karya dan perjalanan keaktoran Slamet Rahardjo. Berawal dari teater yang dulunya dia benci, Slamet justru kini menjaga warisan Teguh Karya berupa Teater Populer.


Lebih dari lima dekade, laki-laki kelahiran 21 Januari 1949 ini berkiprah dalam dunia lakon. Awal tahun 1970-an, Slamet Rahardjo resmi menjadi insan perfilman. Film Wadjah Seorang Laki-laki (1970) yang disutradarai Teguh Karya menjadi debutnya di layar sinema. Slamet memainkan puluhan drama dan film, beberapa di antaranya bahkan pernah memberinya label sebagai pemeran utama dan sutradara terbaik dalam beberapa festival film; Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Perkawinan dalam Semusim (1976), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1979), Di Balik Kelambu (1983), Kodrat (1986), Tjoet Nja’ Dhien (1988), Pasir Berbisik (2001), Laskar Pelangi (2008), Pendekar Tongkat Emas (2014), Filosofi Kopi (2015), Susah Sinyal (2017), Mahasiswi Baru (2019), Cinta Pertama, Kedua & Ketiga (2021), dan Siksa Kubur (2024).


Slamet tokoh unik dalam kesenian Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan teater, film, televisi, dan pendidikan seni. Dalam nasib semacam itu, Slamet adalah ikon yang tidak bisa dimasukkan hanya ke dalam kotak-kotak tertentu. Ia bukan orang yang semata-mata memusatkan perhatian hanya pada kegiatan teater. Slamet Rahardjo merupakan seorang pendidik, pengelola sanggar, pemain, sutradara, dan penulis naskah film. Di luar sepak terjang di bidang keaktoran dan perfilman, Slamet juga dengan ikhlas menjadikan dirinya bagian dari lembaga pendidikan formal, Institut Kesenian Jakarta. Ia selalu percaya akan fungsi pendidikan formal sebagai salah satu upaya menghidupkan kesenian dengan cara yang mungkin tidak bisa dibayangkan oleh jenis lembaga lain.


Berulang kali Slamet mengatakan sama sekali belum puas dengan apa yang dicapainya. Bagi Slamet dan mungkin juga diamini jutaan seniman lainnya, seniman tidak pernah mengenal pensiun. Slamet mungkin saja merasa lelah mengingat sudah bergeliat sejak lima dekade lamanya bergerak ke sana ke mari di dunia kesenian apabila ia menganggap berkesenian adalah bekerja. Namun ia menekankan bahwa dirinya bukan semata-mata sedang bekerja mencari nafkah melalui dunia seni, melainkan kesenian dan seni itu sendiri merupakan inti dari kehidupannya. “Saya menilai keaktoran dan penyutradaraan sebagai suatu proses penciptaan. Menciptakan adegan, menciptakan peranan. Kegiatan yang mustahil dirasa jenuh bagi mereka yang menjalaninya dengan banyak cinta dan hati yang penuh,” ujarnya.

Slamet Rahardjo kini tidak lagi muda, tahun ini usianya sudah 75 tahun. Tapi jangan pernah bertanya kapan sang aktor bakal pensiun dari panggung untuk menikmati masa tua dalam keheningan, sebab Slamet Rahardjo tidak akan mundur barang selangkah pun dari dunia keaktoran dan perfilman yang telah membesarkan namanya selama lebih dari lima puluh tahun.



Apa komentar Anda mengenai dunia seni peran saat ini?
“Pada zaman apa pun, seni peran prinsipnya selalu sama. Bahwa keahlian berakting tidak pernah berhasil jika hanya dilatih dengan hafalan. Dari dulu saya tidak pernah menghafal dialog, melainkan berusaha menceritakannya kembali. Sebab karya sinema harus menggambarkan gambaran kehidupan saat kapan dia dibuat. Kritik saya barangkali soal kurangnya pendalaman dalam seni akting. Apakah pengaruh budaya instan yang kini selalu digaungkan? Bisa jadi. Persoalan kecepatan ini rasanya memang berdampak pada pemindahan adegan dalam seni peran. Jadi kalau Anda menonton film-film saya di era ’80an dan ‘90an, maka Anda bisa melihat cara berpikirnya yang lain dengan film-film saat ini. Ada perbedaan, tapi tidak perlu dibanding-bandingkan karena setiap generasi ada kebenarannya masing-masing. Semua opsi kembali pada preferensi dan selera individu. Kalau saya sendiri lebih percaya dengan proses. Namun memang sebaiknya kita semua yang berkecimpung di dunia seni peran harus gotong royong sama-sama belajar jadi lebih baik.”


Bagaimana mengatasi generation gap?
“Seorang aktor itu bukan hanya perlu mengerti dan memahami, tapi harus menjadi. Bayangkan saya menjadi kakek dari anak Gen-Z, terus saya tidak tahu apa-apa soal Gen-Z? Sudah pasti kacau balau. Ada kebiasaan dan budaya yang berbeda dari tiap-tiap generasi. Dan perbedaan itu tidak harus diperdebatkan. Anak muda minta honor yang besar barangkali karena mereka bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan bagus. Ingatlah, kunci dari setiap perbedaan adalah keihklasan untuk saling menghargai dan menaruh hormat satu sama lain. Tidak perlu kita merasa lebih hebat hanya karena usia lebih tua dan pengalaman lebih panjang, tapi kaum muda juga jangan kurang ajar alias tidak tahu sopan santun karena menganggap seolah-olah generasi lama tidak tahu apa-apa.”


Bagaimana Anda tetap menjadi relevan dalam perkembangan dan perubahan zaman?
“Setiap manusia rasanya ada keinginan akan pengakuan dan kita generasi lama sudah saatnya memberi kesempatan generasi muda untuk berkembang dengan cara mereka sendiri. Bahwa saya masih relevan barangkali karena saya menaruh respek pada anak muda dan menganggap keberadaan mereka, baik itu Gen-Z ataupun milenial, itu penting. Dalam agama kita diajarkan untuk menjaga tali silaturahmi karena memang penting sekali menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Kita hampir pasti akan terus berkelahi apabila kita tidak pernah berusaha memahami dan jarang sekali mau mendengar orang lain. Saya kebetulan seorang aktor dan tugas saya salah satunya adalah tidak pernah berhenti belajar, termasuk dalam hal beradaptasi pada zaman.”


Bagaimana Anda melihat perkembangan teater dan perfilman saat ini?
“Mendalami dunia film itu sebaiknya dimulai dari mempelajari teater karena segala macam ilmu perfilman berawal dari teater. Ada istilah namanya mise en scène dalam dunia teater dan perfilman. Ungkapan ini untuk menggambarkan aspek visual yang ditampilkan saat produksi film atau pertunjukan teater. Seperti misalnya setting, properti, aktor, kostum, lighting, dan lain-lain. Anda menaruh vas bunga di panggung, tapi sampai pertunjukan selesai, bunga itu tidak pernah dibicarakan. Jadi buat apa kita letakkan dia di sana? Hal-hal seperti ini dipelajari dari dunia teater. Ketika pendalaman karakter, kita harus menelisik sampai ke akar-akarnya. Mengapa dia jadi begitu? Kenapa dia bisa sampai sejahat itu? Saya melihat zaman sekarang itu maunya apa-apa serba cepat. Apa-apa tidak dibaca dan dipahami dengan sungguh-sungguh. Gawat sekali kalau kita lebih menekankan hasil ketimbang mementingkan proses. “


Belakangan cukup marak tren film yang mengangkat cerita dari buku dan remake film serta kisah-kisah viral di media sosial. Apakah ini merupakan pertanda industri film mulai kekurangan ide?

“Sebenarnya tidak ada yang salah dengan karya adaptasi. Orang Indonesia juga seharusnya tidak mungkin kekurangan ide karena negeri ini sendiri punya lebih dari 300 kelompok etnis dan suku bangsa. Ada banyak kisah dan narasi budaya yang bisa menjadi sumber gagasan. Masalahnya, hanya orang-orang yang percaya pada proses yang mau melewati jalan panjang. Kemauan untuk berproses menjadi faktor penting yang menentukan kualitas sebuah karya sinema. Lihat saja film-film bagus yang memborong banyak Piala Oscar, karya-karya yang dibuat oleh sutradara ternama sekalipun pasti melewati proses panjang dari A sampai Z,”


Anda salah satu tokoh film yang cukup sering terlibat di aktivitas yang tak jarang mengkritik pemerintah dan kekuasaan, mulai dari film “Marsinah” hingga acara TV “Sentilan Sentilun,” bagaimana Anda melihat peran seni terhadap perubahan sosial?
“Saya rasa seniman entah bagaimana caranya harus tetap kritis dan sensitif dengan keadaan sosial budaya. Tidak boleh terlalu nyaman apalagi terlena dengan keadaan. Seniman itu memang harus gila! Kita harus peka dengan keadaan dan jangan pernah berhenti untuk terus bertanya. Seperti di awal saya sampaikan, dunia seni peran dan profesi keaktoran bukan hanya tentang mengutamakan penampilan dan menghafal naskah, tapi lebih soal kemampuan untuk menjalani proses dalam memainkan emosi dan membawa kisah lewat pemaknaan atas hidup itu sendiri.”